Sampah Menggunung hingga Terumbu Karang Rusak

Awal April 2019, udara di belakang warung dekat Pantai Kampung Makassar Timur, Ternate, terasa sejuk. Di depan sebuah kos-kosan, dua orang wanita, Tina dan Jumiarti, duduk santai di bangku kayu sambil menikmati senja sore.

Tak berapa lama, dari depan kamar kos mereka tercium bau busuk menyengat. Namun, ibu-ibu rumah tangga itu seakan abai dengan bau tersebut.

“Kami di sini sudah biasa. Setiap hari cium bau dari lokasi itu,” ucap Tina, sambil menunjuk ke arah jembatan, depan kamar kos miliknya, di Kelurahan Makassar Timur, Ternate Tengah.

Sumber bau berasal dari bawah Jembatan Tapak II. Di lokasi itu ditemukan tumpukan sampah yang telah membusuk. Tina bilang, tak hanya bau busuk yang tercium, tumpukan sampah serta genangan air juga menimbulkan banyak nyamuk.

Aneka jenis sampah dari rumah warga di dataran tinggi, kata Tina, sudah ada sekitar awal Maret lalu. “Biasanya pas hujan baru (sampah) keluar ke sini,” tambah dia.

Sampah rumah tangga dari berbagai jenis itu terlihat menumpuk di bawah jembatan yang membatasi laut dan darat Kampung Makassar Timur. Di situ tampak styrofoam, bokor, ember plastik, gelas dan botol plastik bekas air mineral kemasan, karung, popok bayi, bantal, dan berbagai jenis lainnya. Bahkan sampah itu sudah bercampur dengan sedimen lumpur yang terbawa aliran air.

Penumpukan sampah yang terbawa hanyut di sekitar jembatan itu terjadi setiap hujan deras atau saat memasuki musim hujan di Ternate, Maluku Utara. “Penumpukan sampah ini karena masih banyak warga di dataran tinggi yang buang sampah sembarangan di barangka (kali mati dalam sebutan bahasa Indonesia),” kata Aditya Agoes, pengelola dan penyelam Nasijaha Dive Center Ternate, di Kelurahan Kotabaru, Ternate Tengah, Sabtu siang.

Penumpukan sampah tak hanya terjadi di antara batas laut dan daratan sekitar Jembatan Tapak II. Sebagian besar Kalimati, pesisir, dan pantai, pun ditemukan berbagai jenis sampah berserakan.

BACA JUGA  Asal Muasal Uang yang Disetor Terdakwa Korupsi ke Gubernur Maluku Utara

Aditya menyatakan, penumpukan sampah di Pulau Ternate ini karena minim penanganan dari pemerintah kota. “Belum ada ketegasan pimpinan di atasnya. Padahal masalah dasarnya sampah ini dibuang di sembarangan tempat,” ujar Aditya.

Karang rusak

Aditya mengatakan penanganan sampah di pusat kota berjuluk Bahari Berkesan itu, jika tidak ditangani dengan baik maka berdampak buruk terhadap ekosistem di laut setempat. Selain menimbulkan penyakit, sampah tersebut juga semakin mengancam hewan laut yang terpapar.

Pecinta laut Pulau Ternate dan Halmahera itu mengatakan sampah plastik sangat merusak ekosistem laut, termasuk ikan dan terumbu karang. Aditya yang hampir setiap hari menyelam di laut Pulau Ternate kerap menemukan sampah plastik di areal terumbu karang dan bawah laut sekitar pesisir dan pantai kota kecil itu.

“Bahkan kursi sofa, televisi, hanyut sampai ke laut. Keberadaan jenis sampah ini didominasi sampah yang berasal dari daratan. Semakin hari justru semakin banyak,” ujar Aditya.

Aditya menyarankan, pemerintah kota menutup pintu-pintu air menggunakan jaring atau sejenisnya untuk menghalau sampah yang akan terbawa ke laut. Selain itu, sampah-sampah kiriman yang terbawa hingga bawah jembatan segera diangkut agar tak membusuk serta terbawa ke laut.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Ternate, Risval Tribudiyanto menyatakan, kebiasaan masyarakat pusat kota membuang sampah sembarangan seakan membudaya. Setiap hujan banyak sampah ditemukan mengalir di drainase.

“Padahal fungsi drainase yang dirancang untuk mengalirkan air, (di Ternate) justru berbeda, drainase yang ada banyak mengalirkan sampah,” kata Risval.

Ia menyatakan persoalan penanganan sampah yang dilakukan Pemerintah Kota Ternate sudah maksimal. Dinas PUPR dan Dinas Lingkungan Hidup setiap saat melakukan pengerukan dan pengangkutan sampah ke lokasi TPA.

“Namun karena kebiasaan masyarakat membuang sampah di drainase dan barangka ini yang terus terjadi, sehingga banyak sampah yang keluar saat hujan melanda Ternate,” katanya.

BACA JUGA  Warga Resah Air Kemasan Sekda Halmahera Barat Beredar di Ternate

Butuh dukungan

Banjir dan genangan air di pusat kota Ternate terus terjadi saat musim hujan melanda, menurut Risval, penyebabnya bukan karena drainase yang buruk tapi tersumbat oleh sampah. “Banyak sampah dan material pasir yang ada di drainase menyebabkan air keluar melewati badan jalan. Bahkan beberapa kelurahan yang tadinya tidak pernah banjir menjadi banjir dan genangan air masuk sampai ke rumah-rumah,” ucap Risval.

Disadarinya, warga masyarakat Kota Ternate minim akan kesadaran membuang sampah di tempatnya. Sudah saatnya penduduk di pulau kecil bulat kerucut itu turut serta mengangani sampah dari rumah masing-masing.

“Paling tidak, bisa memilah mana sampah basah dan sampah kering. Kalau semua sudah dikemas dalam kemasan berbeda maka penanganan sampah ini akan semakin mudah. Selain membantu penanganan sampah juga menjaga kapasitas penampungan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir),” ujarnya.

Risval mengatakan penanganan sampah di Pulau Ternate membutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk pemerintah kelurahan, kecamatan, dan satuan kerja perangkat daerah terkait. “Kalau mengharapkan DLH saja susah. Itu tidak akan bisa. Apalagi semua wilayah pengerukan dibebankan hanya Dinas PUPR. Paling tidak harus ada penanganan bersama,” kata Risval.

Risval berharap, budaya babari (gotong royong) dihidupkan kembali untuk penanganan masalah sampah di Ternate. Menurutnya, penanganan dengan melibatkan peran aktif pemerintah kelurahan dalam mengajak setiap warganya ini merupakan tindakan terakhir yang harus dilakukan.

“Paling tidak dimulai dari lingkungan keluarga, RT dan RW di masing-masing kelurahan. Selama itu tidak ada, dengan fasilitas apapun yang kita punya akan tetap seperti ini, bahkan lebih parah dampaknya kedepan,” kata Risval.

Ridwan Lesy, Dosen Perikanan Universitas Khairun Ternate menyatakan, masalah sampah di Ternate selama ini menjadi problem besar yang tidak pernah selesai. Padahal Pemkot Ternate sudah punya Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.

“Tapi belum berjalan dengan baik. Law enforcement-nya juga kurang berjalan sehingga sampai sekarang orang yang buang sampah sembarangan tidak dikasih hukuman, juga orang yang mengelola sampah tidak dikasih award,” kata Ridwan.

BACA JUGA  Kejati Maluku Utara Didesak Periksa Rektor IAIN Ternate

Ridwan menyarankan, Pemerintah Kota Ternate agar memberikan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi dampak sampah yang berakibat banjir dan berbagai jenis penyakit agar masif dilakukan.

“Kalau ini rutin dilakukan, saya kira sampah dan genangan air yang terjadi di pusat kota akan semakin berkurang,” katanya.

Selain itu, lanjut Ridwan, semua pihak harus punya kesadaran tentang lingkungan. Kalau tidak maka kerusakan ekosistem laut, banjir dan genangan air di darat akan terus terjadi.

“Rata-rata penduduk Ternate ini orang terdidik dan terpelajar. Tapi kadang-kadang mobil pelat merah saja buang tisu dan botol plastik di jalan. Sehingga langkah edukasi ini sangat perlu dilakukan dengan melibatkan semua komponen termasuk aparatur sipil negara di Kota Ternate,” katanya.

66 ton sampah

Data DLH menyebutkan penduduk Kota Ternate setiap hari menghasilkan 66 ton sampah. Jumlah sampah yang paling banyak ditemukan berasal Kecamatan Ternate Selatan, Ternate Tengah, dan Ternate Utara sementara sampah di Ternate Barat dan Ternate Pulau hanya 5 ton per hari.

Menurut Yus Karim, Kepala Bidang Pengelola Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, data ini berasal dari sampah yang terangkut ke TPA Takome. “Sampah ini sebagian besar barasal dari limbah rumah tangga,” kata Yus, ketika disambangi, di Lantai II Kantor DLH, Kelurahan Marikurubu, Ternate Tengah, Senin (15/4/2019).

Yus mengatakan pengangkutan limbah sampah di Pulau Ternate terkendala masalah sampah yang dibuang di lokasi Kalimati. Juga anggaran operasional mobil sampah yang terbatas sehingga pelayanan belum berjalan maksimal.

Ia mengkhawatirkan jumlah sampah kian meningkat seiring bertambahnya penduduk. Di sisi lain, lokasi penampungan sampah TPA Takome sangat terbatas dan kian menyempit seiring penimbunan sampah setiap hari. Bila kondisi ini terus berlanjut, kemana lagi menaruh sampah-sampah yang setiap hari dihasilkan?