Cerita Srikandi Lingkungan Desa Pesisir Halmahera Timur

Avatar photo
Kelompok Literasi PeRII selesai bakti membersihkan lingkungan Desa Saolat. (Apriyanto Latukau/kieraha.com)

Gugusan pepohonan bakau melambai pelan tertiup angin. Waktu menunjukkan pukul 08.30 Waktu Indonesia Timur. Langit tampak cerah, sinar matahari pagi langsung menembus permukaan air laut yang tenang dan membiru, di atasnya bertengger bagan milik Heski Mofu, warga Desa Saolat, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, Kamis, 11 Agustus 2022.

Jarak Desa Saolat dari Ibu Kota Provinsi Maluku Utara sejauh 108 km. Dapat ditempuh dalam kurun waktu 1 – 2 jam menggunakan sepeda motor maupun mobil.

BACA JUGA Cara Warga Kalaodi Tidore Menjaga Pangan dan Hutan

Masyarakat Desa Saolat bersama dengan 23 desa lainnya di Kecamatan Wasile Selatan menggantungkan hidupnya di Perairan Teluk Wasile. Pada 2019, BPS mencatat sebanyak 3.185,8 ton produksi perikanan laut berasal dari kecamatan ini. Hasil itu berasal dari 806 nelayan yang terdiri dari 552 nelayan tetap dan 254 tidak tetap. Di dalamnya terdapat 41 rumah tangga perikanan tangkap dari Desa Saolat.

Bagi masyarakat desa yang terletak antara 0-535 meter di atas permukaan laut ini, pantai dan ekosistemnya merupakan hal yang penting. Mereka menganggap bahwa kawasan Hutan Mangrove adalah penyedia pasokan pangan, sehingga tidak diizinkan untuk ditebang sembarang.

Pemahaman itu, kini mulai diajarkan kepada generasi muda sejak usia dini melalui gerakan Literasi Perempuan Para-para Hininga Moi atau PeRII.

“Kesadaran dalam merawat lingkungan hidup adalah prinsip dasar yang perlu dibangun sejak usia dini, karena masifnya industri ekstraktif serta krisis iklim yang terus mengintai,” ujar Yulia Pihang, pendiri sekaligus Penasehat Literasi PeRII.

Yulia Pihang (kaos kuning) berbincang-bincang dengan kelompok Literasi PeRII pada 10 Agustus 2022. (Apriyanto Latukau/kieraha.com)
Yulia Pihang (kaos kuning) berbincang-bincang dengan kelompok Literasi PeRII pada 10 Agustus 2022. (Apriyanto Latukau/kieraha.com)

Sejak berdiri pada 2018, mereka gencar mengkampanyekan isu-isu pemberdayaan perempuan dan kelestarian ekologi. Selain berkampanye, kelompok ini juga terlibat langsung dalam aksi-aksi tersebut. Seperti rehabilitasi kawasan Hutan Mangrove di Pesisir Desa Ekorino dan pembersihan kandang rilis di Resort Akejawi, Taman Nasional Aketajawe Lolobata.

Meski begitu, perjalanannya tak terbilang mulus, ada saja hambatan yang datang silih berganti. Mulai dari keterbatasan berupa jaringan internet dan perbedaan pilihan politik para orangtua, kerap menjadi batu sandungan yang menghambat. Tapi itu tak membuat Yulia dan kelompoknya patah arang.

Mereka tetap berpegang teguh pada prinsip awal bahwa kerusakan ekologi dan penindasan perempuan merupakan masalah umat manusia secara universal.

“Ini adalah tugas berat yang menanti generasi muda,” ujar perempuan 28 tahun ini kala menyusuri pesisir pantai bersama kieraha.com.

Jejak kaki Yulia menempel di pasir. Hari mulai beranjak siang, matahari kian meninggi. Perairan teluk masih tetap tenang. Juga dengan bagan nelayan, beberapa lainnya digandeng mendekat ke pantai. Tujuannya untuk menangkap cumi pada malam nanti, karena bulan sedang purnama.

“Malam ini ngafi (ikan teri) bolom nae (belum akan tampak ke permukaan),” tutur Heski, pemilik bagan.

Purnama dari Pantai Desa Saolat pada 12 Agustus 2022. (Apriyanto Latukau/kieraha.com)
Purnama dari Pantai Desa Saolat pada 12 Agustus 2022. (Apriyanto Latukau/kieraha.com)

Sumber andalan perikanan di sini adalah jenis ikan teri dan cumi-cumi berukuran kecil, mereka menyebutnya ngafi dan suntung.

Pada Agustus 2018, Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara, menandatangani Peraturan Daerah Nomor 20 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Rencana RZWP3K ini berdurasi 20 tahun dengan memproyeksikan teluk seluas 123.035,67 hektare, yang terbentang dari Teluk Kao, Halmahera Utara sampai Teluk Wasile, sebagai zona perikanan tangkap.

Tangkapan Nelayan

Potensi perikanan tangkap di sini cukup menjanjikan, dalam dua minggu melaut, setiap bagan milik Heski bisa menangkap ikan teri mencapai 500 kg – 2 ton, tergantung kondisi cuaca, kemudian dijual ke penampung dengan kisaran harga Rp 20.000 – Rp 50.000 per kilogram. Hasilnya, bisa menghidupi 19 kepala keluarga di Desa Saolat.

Jika dilihat dari banyaknya, Heski menyebutkan, hasil tangkapan masih tetap sama, bila dibandingkan dengan sepuluh tahun sebelumnya. Meskipun telah terjadi lonjakan harga, itupun lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM.

Kalo dulu, minyak kita masih bisa dapat dengan harga Rp 500, tapi sekarang, harga pertalite saja bisa Rp 15.000 sampai Rp 17.000 per liter,” tutur Heski yang juga Kepala BPD Desa Saolat ini.

Bagi Heski, ancaman pencemaran harus diminimalisir sedini mungkin, karena laut adalah sumber utama masyarakat untuk mengais rezeki. Dengan begitu, akan berdampak pada swasembada pangan di desa itu.

Selama seminggu kieraha.com berada di sini, bentangan garis pantai sepanjang sekitar 500 meter ini tampak bebas dari tumpukan sampah plastik. Sekalipun plastik menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan masyarakat.

Semua itu tidak terlepas dari komitmen kelompok Literasi PeRII yang bergerak untuk kelestarian lingkungan melalui aksi-aksi yang pernah dilakukan.

Bersama dengan pengurus PKK Desa Saolat, mereka membersihkan lingkungan desa setiap hari Jumat. Ragam jenis sampah plastik dikumpulkan agar tidak meluber ke dalam sungai dan selokan. Kegiatan ini telah menjadi rutinitas mingguan.

Hari beranjak sore, bagan masih bertengger. Tapi sepoi angin telah berhenti berhembus. Dahan bakau diam mematung, menanti pagi kembali membawa tangkapan nelayan.

Hairil Hiar
Editor