Yani Mukmat menangis. Wanita 59 tahun itu tak mampu menyembunyikan kesedihan. Ia hanya pasrah, memandangi hutan yang sudah berubah menjadi kebun sawit.
Hutan sebagai penghidupan warga dan ragam spesies di Pulau Halmahera itu hilang dan terancam kelestariannya. Yani adalah salah satu warga Desa Gane Dalam yang menggantungkan hidup di hutan tersebut sejak tahun 1980.
Kehidupan ibu tiga anak itu mulai berubah setelah perusahaan PT GMM (Gelora Mandiri Membangun) mendapat izin dari pemerintah dan melakukan pembalakan kayu pada tahun 2012. Lahan bekas Hutan Halmahera yang digunduli itu kemudian ditanami sawit. PT GMM adalah anak usaha grup Korindo. Konglomerat kayu-sawit swasta asal Korea Selatan yang dipimpin Eun-Ho Seung itu juga beroperasi di wilayah Papua dan Kalimantan.
Yani yang mulai berkebun di kawasan Hutan Gane, Pulau Halmahera, sejak berumur 20 tahun, bersama suaminya menanam kelapa untuk masa depan anak cucu. Hasil panen kelapa ini kemudian diproses menjadi kopra, daging buah kelapa yang sudah dikeringkan, untuk menyambung hidup.
Luas lahan dan kebun Yani tersebut sekitar 2 hektare. “Di areal lahan itu kami tanam kelapa. Sisanya (bidang lahan kosong), tanam pala,” jelas Yani.
PT GMM pada 2012 membuka lahan berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor SK.22/Menhut-II/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 11.003,90 hektare.
Sejak Yani dan warga Gane mengetahui bahwa tanah dan kebun mereka masuk areal konsesi perkebunan sawit PT GMM, muncul kekhawatiran akan masa depan mereka karena tanah dan kebun warga itu merupakan sumber utama ekonomi.
Yani menceritakan, nasib serupa juga dialami petani yang lain di wilayah desa Kecamatan Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan, wilayah terpencil Halmahera Selatan, Maluku Utara, Indonesia bagian Timur.
Saat itu tahun 2014, Yani sedang berada di kebun nya. Ia melihat 1 unit alat berat sudah masuk kebun dan merobohkan pohon. “Saya tanya, siapa yang suruh gusur, operator yang bawa alat (exavator) bilang, ini instruksi perusahaan,” katanya.
Yani menjelaskan, saat itu dirinya tidak mengetahui bahwa lahan yang digusur itu sudah menjadi areal lahan PT GMM. Setelah mengetahui lahannya digusur, ia kemudian melaporkan ke aparat Kantor Desa Gane Dalam, namun tak satupun yang berpihak kepadanya. Bahkan oleh PT GMM mengadukan Yani ke aparat Polsek Gane Barat Selatan dengan tuduhan menghalang-halangi perusahaan saat melakukan aktivitas penebangan pohon.
Upaya mempertahankan lahan dan kebun Yani ini akhirnya terhenti pada tahun 2016. Yani dan suaminya menyerah melindungi lahan mereka karena mendapat berbagai ancaman. “Saudara saya yang mendukung kehadiran perusahaan pun ancam bunuh kami. Itu kakak sendiri. Sekarang sudah meninggal,” kata Yani.
Selain mendapat ancaman, lahan kebun Yani yang berbatasan dengan lokasi perkebunan sawit itu kian hari bertambah kecil. Begitupun dengan lahan petani yang lain yang berbatasan dengan lahan kebunnya. “Makanya saya terpaksa lepas ke perusahaan dengan harga Rp 15 juta per hektare. Harga itu sudah ditentukan perusahaan,“ sambung Yani.
Di Desa Gane Dalam, penebangan hutan alam secara masif telah membawa hama-hama baru yang mengganggu tanaman petani setempat, menghadirkan tantangan tambahan terhadap cuaca yang semakin tak terduga yang berasal dari perubahan iklim.
Yani menambahkan, sejak menggantungkan hidup dari hasil kebun dan hutan di Gane tidak pernah menjumpai hama kumbang dengan jumlah banyak menyerang tanaman warga. Selain hama, hewan jenis ular berukuran besar yang belum pernah dijumpainya pun sekarang sudah bermunculan.
Yance Matius, warga Desa Yamli mengatakan, kehadiran perusahaan sawit di Gane merusak hutan dan mengganggu tanaman petani. “Harga me so tarada (kopra tak ada harga), baru sawit masuk ganggu, hama tambah banyak. Sekarang sudah 5 pohon kelapa yang mati. Itu punya saya sejak 2017,” lanjut Yance.
Lelaki yang menghidupkan 12 orang anak ini menambahkan, kebunnya yang saat ini berjarak sekitar 300 meter dari lokasi perkebunan sawit itu terancam serangan hama kumbang. Ia khawatir kondisi ini menambah penderitaan keluarganya yang mengandalkan kebun kelapa dan pala. “Kebun saya ini ada sebelum perusahaan sawit masuk. Hasilnya untuk kebutuhan anak istri dan biaya anak sekolah,” ucap Yance.
“Sejak ada sawit membuat produksi kelapa saya menurun drastis,” sambungnya.
Perjuangan mempertahankan tanaman dan lahan kebun warga ini juga dilakukan oleh Salmin, salah satu petani Gane yang ikut gerakan penolakan perkebunan sawit masuk wilayah Gane Dalam.
Warga yang menolak perusahaan mayoritasnya adalah pemilik tanaman dan lahan kebun. Mereka berjumlah 42 keluarga dan disebut sebagai penentang PT GMM. Sementara, yang setuju dengan PT GMM berjumlah 412 keluarga.
Salmin menceritakan, dari 42 keluarga itu beberapa diantaranya pernah ditangkap polisi karena dituding menghalang-halangi operasi perusahaan. Pada bulan April 2015, para warga yang menentang, menghadang penggusuran perusahaan di lahan warga bernama Sanusi, yang tak lain adalah saudara dari Yani, dan akhirnya ditangkap dan dibawa ke Pulau Bacan sampai proses pengadilan.
Perjuangan para pemilik tanaman dan lahan kebun itu terus berjalan. Mereka tetap bersuara dan berakhir dengan putusan bebas di Pengadilan Negeri Labuha, Halmahera Selatan, pada September 2015.
Luas hutan yang hilang
Hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit milik Korindo ini tak hanya berada di Gane Dalam. Lahan yang dikonversi seluas 11.003,90 hektare itu meliputi wilayah Desa Yamli, Gane Luar hingga perbatasan Desa Sawat, Sekli, Jibubu dan Awis hingga perbatasan Desa Pasipalele. Lahan yang masuk areal konsesi itu mencakup wilayah Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Joronga.
Untuk menjangkau daerah tertinggal di Halmahera Selatan itu harus melalui jalur transportasi laut. Akses jalan darat penghubung antar desa dan kecamatan belum tersedia. Hanya beberapa kilo meter badan jalan telah dibangun oleh PT GMM untuk akses perusahaan dari Gane Dalam dan Gane Luar. Seluruh desa di wilayah itu berada di pesisir pantai.
Untuk menemukan hutan asli Gane Dalam sendiri, hanya tersisa hutan mangrove di pesisir pantai dan sebagian lainnya di Tanjung Rotan, yang juga terancam gundul karena akan dibangun pabrik kelapa sawit Korindo.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) yang dirilis Maret 2018 menyebutkan, di Provinsi Maluku Utara hanya terdapat satu izin perkebunan kelapa sawit PT GMM yang sudah beroperasi dengan luas 10.500 hektare. Sementara FWI juga mencatat, pada 2013 laju deforestasi (penggundulan atau penghilangan hutan alam) di areal konsesi perkebunan sawit itu sebesar 905 hektare per tahun. Peningkatan laju deforestasi ini kemudian menjadi 3 ribu hektare per tahun pada 2016.
Sementara data yang diperoleh dari Walhi Maluku Utara terkait Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) PT GMM menyebutkan, terdapat 4 sertifikat untuk izin PT GMM sejak 2011-2015. Luas lahan atas izin ini berkisar 14.527,16 hektare. Jumlah IPK yang diproses ini bila disandingkan dengan izin pelepasan kawasan hutan yang dikeluarkan Menhut tanggal 29 Januari 2009 seluas 11.003,90 hektare, maka terdapat penambahan lahan mencapai 3.523,26 hektare.
Kepala Dinas Kehutanan Maluku Utara, H M Sukur Lila mengatakan, selisih luas lahan yang terdapat dalam izin Menhut dengan IPK yang diproses sertifikat melalui PT Equality Indonesia itu dikarenakan terdapat record ganda pada daftar Realisasi Penilaian Hasil Verifikasi Legalitas Kayu (VLK), khususnya pada record nomor 25 dan 26 atas nama PT GMM, tanggal 17 Desember 2015.
Menurut Sukur, jika record ganda tersebut dihilangkan, jumlah IPK PT GMM itu 9.377,16 hektare. Sementara, hasil penelusuran di situs resmi PT Equality Indonesia terkait IPK itu mencapai 13.606 hektare. Jika data yang dipakai menggunakan laporan lembaga ini maka terdapat penambahan 2.602,10 hektare lahan yang dikelola PT GMM. Jumlah ini sudah dipangkas dengan record ganda yang dimaksud Sukur Lila.
Sukur menyatakan, hilangnya hutan alam di Pulau Halmahera itu seiring dikeluarkannya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dan izin pelepasan kawasan hutan. “Perubahan tutupan lahan termasuk berkurangnya luas hutan alam ini konsekwensi logis dari kegiatan pembukaan lahan,” katanya.
Ia mengatakan izin pembukaan hutan yang dikeluarkan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dan sejak tahun 2016 tidak ada lagi izin perhutanan yang dikeluarkan untuk PT GMM. “Jadi kami (Dinas Kehutanan) hanya diberi kewenangan menerbitkan IPK atas areal yang sudah dilepaskan oleh menteri namun belum memiliki HGU. Penerbitan IPK ini dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2015 tentang izin pemanfaatan kayu,” lanjut Sukur.
Mengenai perubahan ekosistem hutan akibat siklus mata rantai ekosistem yang hilang di Hutan Gane, sambung Sukur, perlu merujuk pada dokumen lingkungan. “Itu termasuk AMDAL yang sudah disahkan untuk PT GMM,” tambahnya.
Perubahan ekosistem yang dimaksud yang terjadi di Hutan Gane pasca pembukaan lahan (land clearing) oleh PT GMM itu antara lain beberapa anak sungai yang tertimbun akibat pembukaan lahan yang masif. Selain itu juga serangan hama kumbang menyerang kelapa warga yang menjadi sumber ekonomi utama warga setempat.
Faisal Ratuela, aktivis dan pengamat lingkungan Maluku Utara menambahkan, serangan hama ini diduga dampak dari deforestasi dan hadirnya industri perkebunan monokultur tersebut.
“Penghilangan hutan alam untuk perkebunan sawit ini menyebabkan hama kumbang menyerang tanaman warga. Kondisi ini yang harus disikapi secara serius oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Sebab mayoritas warga ini menjadikan kopra sebagai pendapatan utama. Juga hampir di setiap rumah tangga itu memiliki ladang tanaman bulanan dan kebun kelapa,“ jelasnya.
Rumah Wallacea terancam
Pulau Halmahera juga dikenal sebagai kawasan bio-geografi Wallacea yang kaya spesies flora dan fauna endemiknya, termasuk pala, kopra dan cengkih. Wallacea, nama yang diberikan seorang naturalis dunia asal Inggris, Alfred Russel Wallace, yang pernah menjadikan kawasan ini sebagai tempat studi dan penelitiannya, dari tahun 1858-1861. Kehadiran Korindo di Halmahera selain merusak dan menghancurkan sumber utama ekonomi warga juga mengancam keberadaan ekosistem ini.
“Kasus seperti hama kumbang menjadi salah satu contoh akibat salah satu mata rantai ekosistem yang hilang. Sehingga organisme-organisme yang biasa hidup di dalam hutan itu akhirnya keluar menyerang tanaman pertanian warga,” sambung Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara, 2 Juli 2019.
Rusydi menyatakan, kasus hama kumbang menyerang kebun warga sudah terjadi sejak 2017, mestinya ini menjadi darurat pertanian. Rusydi mengemukakan, dampak dari pembukaan hutan juga menyebabkan habitat burung jenis kakatua putih dan paruh bengkok terancam dan menghilang.
Arga Christyan, Polhut Pelaksana Lanjutan Seksi Konservasi I BKSDA Maluku menambahkan, pembukaan tutupan Hutan Gane mengganggu keberadaan ekosistem yang ada.
“Hutan yang sudah dirusak menyebabkan spesies yang hidup didalamnya mencari tempat baru. Kalau tempat baru itu masih hutan, ya tidak masalah. Kalau tempat baru pun sudah berubah menjadi kebun atau rumah ya jangan heran kalau serangga makan tanaman warga, ular masuk perkampungan, dan sebagainya,” tambahnya.
Arga mengatakan keberadaan spesies yang hidup di Hutan Gane jumlahnya banyak, diantaranya hewan rusa dan burung endemik seperti julang irian, paruh bengkok, kakatua putih, kasturi ternate, dan nuri.
Ia menyatakan, status kawasan hutan itu masuk sebagai kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPT) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) yang merupakan wilayah pengawasan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara.
Laporan TuK Indonesia dan Walhi menyebutkan, pada kasus di Halmahera Selatan, investasi perkebunan sawit ini ditentang oleh masyarakat Gane karena mengambil alih tanah pertanian warga dan hutan alam.
TuK atau Transformasi untuk Indonesia adalah LSM advokasi lingkungan yang memiliki beberapa kantor independen dan kelompok akar rumput yang berada di 28 provinsi di Indonesia. Sementara Walhi adalah lembaga yang menangani berbagai isu termasuk konflik agraria mengenai akses ke sumber daya alam, hak-hak masyarakat, dan deforestasi.
Dalam laporan TuK dan Walhi terhadap perusahaan grup Korindo itu menyatakan, kasus yang terjadi ini menunjukkan bagaimana perusahaan oportunis memanfaatkan lemahnya pemerintah daerah untuk mendapatkan akses terhadap kayu bernilai tinggi dan lahan, menghancurkan kegiatan ekonomi yang ada, dan meninggalkan dampak permanen terhadap kondisi sosial dan lingkungan untuk tahun-tahun mendatang.
Pembukaan lahan hutan dan perkebunan sawit di daratan yang terjadi sejak tahun 2012-2017 itu juga berdampak terhadap ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir saat ini.
Abdul Mutalib Angkotasan, Peneliti Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate mengatakan, sedimentasi yang terdapat di wilayah hutan mangrove pesisir Pantai Gane Dalam terjadi sejak 2016. “Sedimentasi akibat dari pembukaan lahan sawit di atas itu yang memicu run off di musim penghujan. Run off (curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah) itu yang menyebabkan semakin tinggi kekeruhan di kawasan ekosistem terumbu karang, termasuk lamun di sekitar,” jelas Abdul.
Ia menambahkan, sedimentasi yang terjadi di wilayah itu akan berdampak pada kerusakan terumbu karang.
Kata Korindo dan pemerintah
Mizwar Mustafa, Bagian Humas Lapangan PT GMM menyatakan, pembukaan lahan yang dilakukan secara masif oleh Korindo itu dimulai tahun 2012.
“Iya. Itu dimulai tahun 2012 hingga 2017. Hutan yang dibuka itu berdasarkan lokasi yang berada dalam areal HGU (Hak Guna Usaha). Artinya daerah itu milik kita dan sudah punya izin, sehingga wajib kita melaksanakan kegiatan land clearing sesuai dengan prosedur perusahaan,” kata Mizwar, di Ruang Kantor Perwakilan Korindo Grup, Desa Hidayat, Pulau Bacan, yang ditemui pada hari Senin, 22 Juli 2019.
Menurut Mizwar, kerusakan ekosistem dan konflik yang terjadi itu bukan karena pembukaan hutan alam dan lahan warga menjadi perkebunan sawit.
Ia membantah kerusakan lingkungan akibat penghilangan hutan alam yang disebabkan aktifitas pembukaan lahan perkebunan sawit. “Kebetulan saya juga di bagian enviro yang melakukan pengambilan sampel air. Ada beberapa lokasi yang menjadi titik air, sungai dan laut itu tidak tercemar dan sesuai dengan baku mutu air,” katanya.
Menurut Mizwar, keberadaan biodiversitas di Gane juga masih terjaga. Pada 2017, lanjut dia, Korindo menurunkan tim dari Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan (Bioref) melakukan identifikasi hewan endemik dan tanaman lokal. “Bahkan setiap karyawan dan warga Gane Dalam pun kita sosialisasi untuk menjaga keanekaragaman hayati ini,” tambahnya.
Mengenai persoalan lingkungan yang melanda beberapa desa di sekitar perusahaan perkebunan sawit, Mizwar mengatakan, sampai saat ini tak mendapatkan laporan menyangkut keluhan tersebut.
“Tim Bioref sudah survei dampak sosial dan lingkungan. Kesimpulannya itu tidak ada kerusakan,” katanya.
Meski begitu, Mizwar menolak permintaan untuk melihat dokumen laporan hasil survei tim Bioref yang diklaim oleh PT GMM dengan IPB ini. Laporan yang diminta untuk ditunjukkan itu untuk diketahui wilayah mana saja yang disebutkan masih terjaga kelestariannya dan hewan endemik apa saja yang masih ada dan tidak terancam keberlangsungannya.
Bahkan, kata Mizwar, kasus hama kumbang menyerang kebun warga itu juga terjadi di kebun kelapa sawit. “Sehingga ini bukan hal baru. Keberadaan hama ini memang menyerang kebun kelapa warga, ini juga terjadi di seluruh Indonesia,” sambungnya.
Sementara, lanjut Mizwar, keberadaan Korindo di Gane tersebut justru memberikan dampak positif terhadap masyarakat. “Sampai sekarang kita belum produksi (sawit) tapi kewajiban kita tetap laksanakan. Itu melalui program dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimulai sejak tahun 2012 hingga 2019 ini. Nilainya sampai sekarang sudah sekitar Rp 7 miliar,” katanya.
Program CSR ini, sambung Mizwar, diberikan dalam bentuk bantuan dana koperasi di Gane Dalam, Yamli dan Sekli, Bus Korindo, bantuan sekolah kesehatan Halmahera Selatan, pembangunan jalan Gane Dalam, renovasi bangunan masjid Awis, dan bantuan beasiswa untuk mahasiswa Gane Dalam.
Mizwar menambahkan, konflik yang terjadi antar warga di Gane karena adanya warga yang mendukung kehadiran perusahaan dan yang menolak perusahaan. Ia bilang, konflik tersebut terjadi bukan karena persoalan lahan.
Korindo, kata Mizwar, juga memberikan kontribusi terhadap daerah Kabupaten Halmahera Selatan. “Kami juga melakukan pembayaran pajak. Itu melalui bank daerah untuk pajak galian dan pajak penggunaan air tanah,“ kata Mizwar.
Mizwar menambahkan, pembangunan Pabrik Kelapa Sawit yang berlokasi di Gane Dalam saat ini masih tahap koordinasi dengan Korindo Jakarta. “Rencana pembangunan pabrik sawit ini dari tahun 2017. Hanya saja mengalami beberapa kendala sehingga belum jalan. Mudah-mudahan 2019 ini sudah bisa karena infrastrukturnya telah siap,” katanya.
Ia menyatakan, perkebunan sawit Korindo juga masih membutuhkan lahan. Hanya terkendala penerbitan Instruksi Presiden Jokowi terkait moratorium dan evaluasi kebun sawit pada September 2018, sehingga penambahan areal lahan, kata Mizwar, berhenti sampai di 8.800 hektare.
“Dari luas itu baru sekitar 5.000 hektare yang ditanami sawit,” tambahnya.
Bupati Halmahera Selatan, Bahrain Kasuba mengatakan, sejak beroperasinya perusahaan Korindo di wilayahnya belum mendengar keresahan maupun keluhan dari masyarakat Gane. “Karena memang perusahaan sawit di Gane sudah diatur termasuk penataan lingkungannya sesuai ketentuan,” katanya, begitu disambangi, di Pendopo Hutan Karet, Pulau Bacan, pada 23 Juli 2019 lalu.
Meski begitu, Bahrain mengatakan Hutan Gane sudah digunduli dan ditanami sawit. “Untuk pohon-pohon di Hutan Gane itu sebenarnya sudah digunduli, tapi kan langsung diganti dengan sawit jadi hutannya kembali lagi,” katanya.
Ia membantah, tanaman dan lahan kebun warga yang masuk areal konsesi perusahaan sawit memicu konflik antara perusahaan dengan warga desa dan pemilik lahan. “Persoalannya bukan karena lahan kebun yang diambil, tetapi warga marah karena tanaman dan kebun diganggu oleh hama yang dianggap disebabkan oleh sawit,” katanya.
Bahrain malah menyalahkan warga yang tidak menjaga tanaman di lahan kebunnya sehingga dimakan hama. “Seharusnya warga yang menjaga kebunnya masing-masing agar tidak diserang hama. Jadi itu yang jadi masalah,” katanya.
Bahrain bahkan berharap agar secepatnya PT GMM membangun pabrik sawit supaya bisa memberikan pendapatan bagi daerah. “Karena memang sampai sekarang hasil dari perusahaan sawit itu belum ada (termasuk pajak untuk Pendapatan Asli Daerah). Ini karena baru penanaman dan belum bisa diproduksi,” tambahnya.
Mengenai persoalan lingkungan dan lahan warga yang diambil Korindo, Bahrain bilang, pemerintah kabupaten tidak bisa berbuat apa-apa. “Ini karena kawasan hutan Gane sudah menjadi areal perusahaan. Juga karena kebijakan pemerintahan sebelumnya, jadi saya hanya menyesuaikan. Terus kewenangannya saat ini juga sudah dialihkan ke pemerintah provinsi,” katanya.
Kepala Desa Gane Dalam, Risman Abdulajid, ketika disambangi di Kantor Desa Gane Dalam, menolak memberikan komentar. Ia beralasan sedang menghadiri kegiatan yang digelar oleh warganya. Selesai kegiatan itu Risman menghilang. Bahkan sampai sekarang, ia tetap menolak memberikan tanggapan.
Adaptasi dan rekomendasi
Di Gane Dalam saat ini sebagian besar lahan dan kebun warga sudah habis dibeli perusahaan. Meski begitu, beberapa diantaranya masih memiliki lahan dan kebun yang belum tergusur di dekat pesisir pantai wilayah Desa Sekli dan Awis. Warga ini, salah satunya adalah Yani, memilih bertahan hidup dari sisa lahan tersebut. Sementara, warga yang tidak memiliki lahan kebunnya lagi telah beralih profesi menjadi buruh harian di perusahaan perkebunan sawit itu.
Sebagian warga ada yang memilih meninggalkan kampung halaman dan pindah ke wilayah Kota Ternate dan Tidore Kepulauan. Kasus ini terjadi di Desa Yomen, Kecamatan Kepulauan Joronga. Arifin, salah satu warga desa menjual lahan dan kebun kelapa sekitar 10 hektare dengan harga Rp 185 juta.
“Pak Arifin saat ini bersama anak dan istrinya telah pindah ke Kota Tidore Kepulauan,” kata Ruslan, warga Desa Sekli, Minggu (15/9/2019).
Ruslan mengatakan lahan milik Arifin ini dijual ke salah satu pengusaha Desa Gane Dalam. Ia menjual lahan itu karena diduga kecewa dengan upaya mempertahankan lahan dan kebun tersebut yang tak mendapat dukungan.
Kerusakan lingkungan dan dampak yang terjadi akibat masuknya perusahaan grup Korindo ini perlu adanya pemulihan. Dampak pembukaan hutan alam yang terjadi ini diantaranya telah memicu banjir di Desa Sekli saat musim hujan, dan warga yang berkebun di dekat areal perusahaan mulai kesulitan air bersih.
“Dampak ini akan bertambah luas ketika perusahaan membuka lahan baru dan membangun pabrik kelapa sawit. Karena setelah perusahaan beroperasi ada enam anak sungai yang hilang. Empat sungai tadah hujan dan dua anak sungai bermata air tertutup urukan tanah,” kata Rusydi.
Adanya dampak yang ditimbulkan akibat aktifitas PT GMM ini, lanjut Rusydi, Walhi menemukan beberapa kejanggalan dalam proses perizinan usaha perusahaan grup Korindo tersebut. Diantaranya terkait Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Olehnya itu, kata Rusydi, Walhi merekomendasikan pemerintah pusat menangguhkan semua operasi PT GMM di Gane, termasuk di dalamnya konstruksi pabrik kelapa sawit dan perluasan pengembangan pembalakan dan perkebunan ke kawasan-kawasan perbatasan di Tanjung Rotan dan Tawa-Pasipalele yang tidak didukung oleh pemilik lahan dan masyarakat setempat.
Walhi juga meminta PT GMM membuktikan kepatuhan mendasar terhadap hukum dan peraturan perundangan di seluruh operasi grup Korindo dengan cara mempublikasikan semua perizinan dan dokumen kunci, termasuk di dalamnya izin lokasi, AMDAL, dan HGU. Jika ada kecacatan maka operasi PT GMM harus ditangguhkan.
Rusydi menyatakan, Walhi juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan penyelidikan terhadap PT GMM pada tahun 2014, khususnya mencakup permohonannya kepada KLHK, BPN dan bupati.
“Kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk melakukan peninjauan apakah terdapat pejabat publik yang membantu secara tidak semestinya atau menunjukkan sikap pandang bulu terhadap Korindo dalam perolehan izin atau lisensi yang diterbitkan, dan menyelidiki transaksi keuangan terkait jika hasil tinjauan menunjukkan bahwa pelanggaran telah dilakukan,” sambungnya.
Walhi, lanjut Rusydi, meminta KLHK memberikan instruksi pada Komite Akreditasi Nasional untuk mencabut semua sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diberikan kepada PT GMM atau pabrik Korindo yang mengolah kayu dari PT GMM.
“Juga meninjau kepatuhan lebih luas Korindo mengenai SVLK, meminta Badan Lingkungan Hidup untuk memberikan salinan AMDAL PT GMM kepada semua masyarakat yang terkena dampak dan kelompok masyarakat sipil lokal,” tambahnya.
==========
Liputan ini didukung oleh program Story Grants 2019 dari Internews’ Earth Journalism Network Asia Pasifik