Maluku Utara atau yang dahulu dikenal dengan nama Kepulauan Maluco, pernah tercatat sebagai satu-satu daerah yang dicari banyak pedagang dari berbagai negara di dunia jauh sebelum abad ke-15 dan popular pada abad ke-16. Tak lain karena cengkih, salah satu komoditas penting perdagangan saat itu, hanya tumbuh di lima kepulauan kecil vulkanik di daerah timur jauh, yang sekarang menjadi bagian dari kepulauan Indonesia ini.
Kelima daerah itu adalah Gape (Ternate), Doku (Tidore), Motel (Moti), Mara (Makeang) dan Bacan. Keberadaan cengkih ini pula telah membawa Portugis tiba di Ternate pada 1512 dan Spanyol di Tidore pada 1521. Kemudian disusul Inggris, dan Belanda. Jauh sebelumnya telah terdapat pedagang Cina, Arab, Melayu, Jawa yang terlebih dulu sampai ke Maluku.
Kedatangan pedagang Jawa, Arab, China ke daerah yang disebut oleh pedagang Melayu sebagai “pulau-pulau di bawah angin” ini untuk membeli rempah-rempah. Mereka datang membawa beras, kain tenun, perak serta barang lainnya sebagai alat tukar.
“Fakta sejarah Ini bisa dikroscek dalam karya Pires (1944), sangat jelas dipaparkan. (Sebelum kedatangan bangsa Eropa) perdagangan cengkih di Maluku didominasi (kekuasaan) Kerajaan Ternate dan Tidore,” jelas Irfan Ahmad, Sejarawan Maluku Utara di Ternate pada Jumat, (20/8) malam lalu kepada kieraha.com.
Kekhasan aroma wangi dan rasa pedas dari bunga tanaman bernama latin Syzygium aromaticum itu, lanjut Irfan, menjadikan pohon tanaman yang tingginya bisa mencapai lebih dari 10 meter ini, sebagai bagian dari komoditas penting dalam dunia perdagangan di Nusantara, bahkan dunia sekaligus. Serta sangat berperan dalam perkembangan dunia pelayaran dalam penjelajahan negara-negara Eropa mengelilingi dunia.
Volume impor cengkih Eropa dari Maluku tercatat sejak periode 1390-1404. Mengutip dari buku Anthony Raid “Dari Ekspansi Hingga Krisis” (1999), agen perdagangan Italia melaporkan muatan hasil bumi dari Maluku yang diekspor ke Eropa sejak periode 1390-1404. Meskipun dengan data yang terbatas, setidaknya tercatat pada tahun 1390-an rata-rata volume peredaran komoditas ini mencapai 30 ton untuk cengkih, 10 ton untuk pala. Dan masuk pada abad ke-15 mencapai 75 ton (cengkih), 37 ton (pala), dan 17 ton (bunga pala).
Irfan menyatakan, pentingnya Tidore dan Ternate dalam jalur rempah ini karena memiliki komoditas yang cukup mahal dan langka. Sekalipun cengkih ini didapatkan dari berbagai daerah di pulau-pulau sekitar bahkan sampai Pulau Halmahera. Akan tetapi, sentral penjualan itu dikontrol oleh dua kerajaan ini.
“Apalagi saat Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC (perwakilan dagang Belanda) berkuasa. Kedua kota ini memiliki pelabuhan yang baik dan menjadi sentral kekuasaan,” ujar Irfan.
Dalam “The Suma Oriental” karya Tome Pires menyebutkan, Kepulauan Maluco menghasilkan setidaknya 6.000 bahar (sekitar 1.236 ton) cengkih setiap tahun. Bahkan, kadang-kadang mencapai 1.000 bahar (sekitar 206 ton) lebih banyak, atau terkadang juga 1.000 bahar lebih sedikit.
Bahar adalah alat ukur saat dari ujung kaki hingga ke ujung tangan orang dewasa yang setara dengan 206 kg untuk 1 bahar.
Buku itu juga mencatat, jika dirinci berdasarkan masing-masing pulau, Ternate menghasilkan setidaknya 1.500 bahar (sekitar 309 ton) cengkih setiap tahun.
Pulau Tidore menghasilkan kurang lebih 1.400 bahar (288,4 ton) cengkih setiap tahunnya. Pulau Moti menghasilkan kurang lebih 1.200 bahar (247,2 ton) cengkih setiap tahunnya.
Pulau Makeang menghasilkan kurang lebih 1.500 bahar (309 ton) cengkih setiap tahun, dan Pulau Bacan menghasilkan kurang lebih 500 bahar (103 ton) cengkih setiap tahunnya.
Baca juga laporan berikutnya Pengakuan Kota Jaringan Global Magellans bagi Tidore