Ketam kenari (Birgus latro) berstatus sebagai satwa buru, khusus di Maluku Utara. Namun, kepiting ini masih kerap ditangkap tanpa izin. Sementara bagi yang punya izin pun, ada yang melenceng dari ketentuan Menteri LHK.
Pickup hitam melaju di Pelabuhan Ahmad Yani, Kelurahan Kota Baru, Kota Ternate, Maluku Utara. Mobil itu mengangkut delapan kardus rokok magnum, tujuh diantaranya berisikan ketam kenari (Birgus latro).
Saat mobil sudah di atas dermaga, David Mayor (53 tahun) dan Jasman Mistar (25 tahun) memasukkan dus tadi ke dalam dek paling bawah KM Karya Indah. Sebanyak 156 ekor kepiting dalam 111 karung plastik berwarna putih dan biru, yang didatangkan dari Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, itu hendak dibawa ke Manado, Sulawesi Utara.
Di dek kapal, ketam yang terbungkus karung digabungkan dengan ikan asin. Namun, tiga puluh menit sebelum kapal lepas tali, petugas menciduk David dan Jasman pada Senin, 24 September 2018.
Petugas mengamankan 95 ekor kepiting jantan dan 61 betina. Akibat pelanggaran tersebut, pada Maret 2019, mereka dijatuhi sanksi kurungan penjara selama 10 bulan dan denda Rp 50.000.000.
Hasil penelusuran kieraha.com, praktik perburuan dan perdagangan ilegal ketam kenari di Maluku Utara diduga masih berlangsung masif. Yang tak terungkap mungkin ada lebih banyak–mirip fenomena gunung es.
Ketam kenari adalah arthropoda darat terbesar di dunia dan merupakan satwa liar yang dilindungi menurut Permen KLKH Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Meski begitu, khusus di wilayah Maluku Utara, crustacea ini berstatus sebagai satwa buru berdasarkan Keputusan Menlhk/Setjen/KAS.2/5/2017. Melalui aturan ini, pemerintah menetapkan kuota tangkap ketam di wilayah Malut sebanyak 15.673 ekor.
“Penetapan tersebut berdasarkan hasil kajian dan rekomendasi BRIN (dulu LIPI),” tutur Abas Hurasan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Ternate BKSDA Maluku, Kamis sore, 5 Oktober 2023.
Regulasi lain juga mengatur penangkapan atau pengambilan ketam kenari dari alam yang harus menyertai dengan izin khusus. Peraturannya Kepmen Kehutanan Nomor: 447/Kpts-II/2003. Ketentuan tersebut sekaligus menata pemanfaatan dan peredaran satwa liar dan tumbuhan di dalam dan luar negeri. Meski begitu, masih ada pelaku bisnis kepiting kenari di Maluku Utara yang belum mengantongi izin.
Pada awal Agustus 2023, kami menemui Marten (37 tahun), pemburu ketam di Kabupaten Halmahera Timur. Pria bertubuh tegap ini sudah melakoni aktivitas perburuannya sejak dua tahun terakhir, tanpa izin. Ia mengaku tak mengetahui sejumlah regulasi yang mengatur soal perburuan itu, namun sepertinya ia berbohong, karena ia selalu menyembunyikan ketam kenari tangkapannya saat dikirim ke penadah.
Pada suatu pagi, Marten membopong perangkap kepiting yang dibuatnya dari papan bekas. Jerat berbentuk balok itu memiliki panjang sekitar satu meter dan lebar 30 centimeter. Di bagian depan jerat, terdapat pintu yang dapat dilepas. Sementara, pada sisi lainnya, tertutup rapat.
Pada sisi yang tak bisa dibuka tersebut, terdapat lubang kecil untuk dimasukkan tali yang diikatkan daging buah kelapa, sebagai umpan. Sedangkan, ujung tali lainnya diikatkan pada setangkai rotan yang terhubung langsung dengan pintu jerat. Sehingga, saat kepiting memakan umpannya, pintu itu akan tertutup.
Ia pun mengajak kami memasang perangkap tersebut, yang tak jauh dari tempat kami. Pada sebuah tebing pantai berbatuan, ranjau kemudian diletakan. Mulut perangkap mengarah langsung sarang ketam.
“Tiga hari lagi baru torang (kita) cek,” tuturnya.
Sesuai katanya, setelah tiga hari berlalu, jerat tersebut berhasil menjebak seekor ketam kenari. Berbekal perangkap yang dibuatnya sendiri itu, Marten bisa menjerat belasan ekor Ketam dari setiap sarangnya.
Hasil buruannya itu untuk melayani pembeli yang berasal dari beberapa kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara. Dia mengungkapkan, pemesan ketam ini kemudian akan memasarkannya ke Manado, ataupun sekedar untuk dimakan. Meskipun tak rutin, tapi dalam sekali suplai ia bisa menjual lima sampai enam ekor.
“Biasanya dilego deng (dengan) harga Rp 100.000 sampe (sampai) Rp 150.000 per ekor, di dorang (pemesan),” kata Marten di rumahnya.
Setiap akan mendistribusikan ketam itu kepada pemesan, Marten selalu membungkusnya di dalam karung. Setelah itu, hewan ini kemudian dimasukkan lagi ke dalam dus agar bisa mengelabui petugas Pelabuhan Tobelo.
Praktik pelanggaran juga kami temukan di Kota Ternate. Ibrahim (50 tahun) mengatakan, dia telah memulai perburuan ketam sejak akhir tahun 2009. Kepada kami dia bercerita, ketam yang ditangkapnya itu dijual ke Rumah Makan Pondok Katu dan Royal Resto di kota setempat. Bahkan ada yang dibawa ke luar Maluku Utara. Namun, dia tidak mengetahui pasti tujuannya kemana.
“Mereka (pemesan) yang langsung datang ambe (ambil) di rumah, mungkin kepiting itu akan dijual ke Jakarta,” ungkap dia, di rumahnya, pada akhir September 2023.
Walaupun sudah berhenti berburu sejak tiga tahun lalu, namun dari Ibrahim kami mendapatkan nama Rasid (50 tahun), pemburu lain yang masih aktif menangkap ketam di beberapa tempat, di Pulau Gamalama ini.
Saat ditemui pada suatu malam di bulan September 2023, Rasid bilang bahwa dia baru saja menjual lima ekor ketam lima ekor ketam ke Royal Resto pada bulan Agustus kemarin, dengan harga Rp 500.000.
“Yang satu kilo empat ekor, dan 1,5 kilo satu ekor,” kata Rasid, di rumahnya.
Ketam tersebut dia tangkap di pesisir Kecamatan Ternate Barat. Kata Rasid, dalam semalam dirinya bisa menangkap belasan ekor. Kepada kami, ia mengaku tidak memiliki izin tangkap atau ambil. Meski begitu, pria yang sehari-harinya sebagai petani ini juga tetap berburu karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih muda.
Saat membawa kepiting tersebut ke rumah makan, dia selalu menyelimutinya dalam karung, kemudian disembunyikan di dalam dus lalu dibungkus lagi menggunakan lakban. Hal itu dilakukannya untuk mengelabui petugas, jika ada pemeriksaan.
“Sama deng tong (kami) jual cap tikus (jenis miras) lagi, jadi harus sembunyi-sembunyi,” ujarnya.
Akal-akalan yang berizin
Kieraha.com berusaha menelusuri pengguna Izin Edar dan menemukan dua pemegang izin Ketam kenari yang terdaftar di Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau BKSDA Maluku, yaitu CV Surya Pelangi Nusantara dan CV Gamumu Sejahtera, keduanya berdomisili di Kota Ternate. Surat tersebut dikeluarkan pada tahun 2019, dan berlaku selama lima tahun.
Abas mengatakan, berdasarkan izin peredaran tersebut kemudian pemiliknya akan mengajukan izin tangkap atau ambil sebagai syarat sahnya pengambilan. Setelah itu, Kepala Seksi ini menerangkan, mereka akan melakukan pemeriksaan lokasi yang hendak dijadikan tempat penampungan.
“Kami akan menerbitkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tempat sebagai syarat kelayakan yang menjadi bahan pertimbangan Kepala Balai untuk menerbitkan izin ambil atau tangkap,” jelasnya.
Menurutnya, pemanfaatan ketam kenari dari penangkap yang tak berizin tidak dibenarkan. Meskipun begitu, lanjutnya, Royal Resto dan Rumah Makan Pondok Katu sudah mendapatkan izin sekitar 2019 silam. Namun, ia tak dapat menunjukkan izin tersebut, dengan alasan, harus mencarinya dulu.
Abas bilang, dirinya baru mengetahui kalau restoran tersebut mendapat pasokan dari penangkap ilegal. Meskipun hal tersebut merugikan, namun dia mengaku, lebih khawatir dengan pemanfaatan ketam dalam jumlah yang lebih besar.
“Rumah makan ini juga punya izin dan, karena ini konsumsinya di lokal jadi tidak seberapa. Tapi kami juga mengarahkan mereka untuk mengambilnya kepada penangkap yang punya izin juga,” kata Abas di ruang kantornya.
Muhdar Hasanat, Direktur CV Pulau Gamumu dan CV Surya Pelangi Nusantara, saat dihubungi, mengemukakan bahwa kepiting yang dijadikan menu makanan oleh kedua rumah makan itu tidak berasal dari tempatnya.
Saat kieraha.com mengonfirmasi pengelola Rumah Makan Pondok Katu, mengenai pemanfaatan ketam kenari sebagai menu makanan, pada awal Februari 2024. Kami, dilayani oleh Arifin, pengelola rumah makan tersebut. Kepada tim, pria asal Jawa Timur ini mengaku, tidak mengetahui pasti dari mana asal ketam tersebut.
“Tidak tahu dari mana, mereka (penangkap) yang langsung bawa kemari,” ujarnya. Ia melanjutkan, pasokan ketam ke restorannya pada umumnya berasal dari Loloda, Halmahera Utara.
Pada hari yang sama, tim kemudian bergegas ke Royal Resto, yang tak jauh dari tempat Arifin. Saat hendak menemui Manajer Royal, customer service mengatakan manajernya baru saja meninggalkan tempat itu. Tim akhirnya meminta nomor kontaknya. Kami kemudian menghubungi nomor yang diberikan, melalui pesan singkat WhatsApp. Namun, hingga artikel ini ditulis, pesan tersebut belum terbalaskan.
Selain itu, aktivitas penangkapan ketam kepada pebisnis ketam dengan izin yang berlaku hanya satu tahun kalender. Hal tersebut disertai pula dengan kriteria ketam yang boleh ditangkap, antara lain memiliki bobot 1,3 kilogram atau dengan panjang karapas 9,5 centimeter.
Abas menjelaskan, aturan juga mewajibkan bahwa pebisnis yang akan memasarkan ketam keluar Maluku Utara harus menyertai Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri atau SATS-DN, yang diterbitkan Kepala BKSDA Maluku. Tim Kolaborasi pun kemudian menelusuri surat angkut itu.
Dari penelusuran tersebut, kami menemukan, CV Pulau Gamumu dan CV Surya Pelangi Nusantara telah mengedarkan 4.900 ekor ketam sepanjang tahun 2021 – 2023. Seluruh tujuan ekspornya berada di Pulau Jawa, di antaranya PT Fauna Indonesia di Bekasi, CV Anega Satwa Sulawesi di Banten dan PT Mega Abadi Surya di Jakarta.
Kami menghitung bobot dan jumlah ketam yang tertera dalam SATS-DN. Nah! Penghitungan ini menemukan, rata-rata bobot ketam yang dibawa keluar Maluku Utara berada di bawah ketentuan karena hanya seberat 1 – 1,1 kg.
Muhdar Hasanat, Direktur CV Pulau Gamumu dan CV Surya Pelangi Nusantara, saat dihubungi menyebutkan BKSDA telah mengeluarkan sebanyak empat SATS-DN pada tanggal 12 April 2023. Namun dari jumlah itu baru dua yang diangkut, sementara sisanya belum. Ditambah lagi dengan masa berlaku SATS-DN tersebut telah berakhir pada tanggal 12 Juni 2023.
“Tapi yang belum diangkut itu juga sudah dibayarkan PNBP-nya,” sebut Muhdar.
Dua surat angkut yang barangnya telah dibawa keluar Maluku Utara, katanya, menuju PT Fauna Indonesia dan PT Mega Abadi Surya, masing-masing sebanyak 200 ekor ketam, dengan berat 180 kg.
Menurut dia, syarat untuk memperoleh SATS-DN tersebut adalah melalui pemeriksaan BKSDA, terhadap stok ketam yang bakal ekspor keluar dari Maluku Utara.
“Dilakukan dua kali pemeriksaan, yang pertama oleh Balai Karantina Perikanan dan yang kedua oleh Seksi Konservasi Wilayah I Ternate BKSDA Maluku, namun untuk ukuran itu sudah bisa dikonsumsi,” dia menjelaskan.
Ihwal ketam CV Pulau Gamumu yang berdasarkan dokumen diduga di bawah berat seharusnya, Abas mengakui, masih ada kemungkinan ketam yang dikirim itu tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan.
“Saat melakukan pemeriksaan, kami tidak memeriksa seluruhnya dan hanya mengambil sampel untuk diukur,” ucapnya.
Potensi ancaman
Distribusi habitat Kenari di Indonesia hanya tersebar di beberapa wilayah bagian timur Indonesia, seperti Sulawesi, Irian Jaya, Nusa Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. Begitupun di Maluku Utara, tidak seluruh wilayahnya menjadi habitat kepiting tersebut. “Namun demikian informasi tentang ekologi Ketam kenari masih sangat kurang,” tulis Rugaya H Serosero, Suryani dan Rina dalam riset mereka.
Para peneliti dari Universitas Khairun Ternate ini menyebutkan, populasinya ditentukan oleh stok yang berbeda yang dicirikan oleh perbedaan morfologi, habitat, dan daur hidup baik inter dan intra populasi.
Peneliti lainnya juga menyebutkan, meski pemerintah sudah menetapkan ketam kenari sebagai satwa yang dilindungi, namun belum ada upaya penetapan suatu kawasan atau pulau tertentu sebagai kawasan konservasi bagi kelangsungan hidup kepiting tersebut. Selain karena menganggap hewan ini sebagai hama, juga karena masyarakat masih menangkapnya tanpa ada upaya pelestarian.
“Kepiting kenari juga bernilai ekonomis tinggi dan kondisi populasinya saat ini mengalami penurunan,” tulis Supyan dan Yuyun Abubakar.
Ancaman lain terhadap kepiting yang aktif pada malam hari ini adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat. Ini ditemukan oleh tim peneliti dari Universitas Pelita Harapan, Tangerang. Menurut mereka, kepiting kenari kerap dikonsumsi dan dijadikan menu makanan mahal di beberapa restoran.
Hal ini mengakibatkan, “Kepiting kenari menjadi hewan endemik yang mengalami ancaman dikarenakan populasinya terus menurun,” sebut Krisdarwindah Mardiana, Andara Frida Sheilaliany Dealy dan Wahyu Irawati.
Selain itu, degradasi habitat akibat aktivitas manusia, serta adanya predator yang dibawa manusia seperti anjing, juga mempercepat kepunahan kepiting ini. Adanya dorongan permintaan pasar yang kuat, membuat hewan ini terus diburu.
“Hambatan dalam mempertahankan populasi hewan ini diantaranya pembukaan lahan perkebunan dan pemukiman, kurangnya kesadaran, perburuan, permintaan pasar potensial, serta hama potensial untuk pohon kenari dan kelapa,” kata tim peneliti dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, bersama BKSDA Papua Barat ini.
Abas juga menjelaskan, hal serupa juga terjadi di Maluku Utara. Meskipun menurut ketentuan hewan ini bisa diburu di wilayah tertentu, namun pemanfaatannya yang tidak terkontrol akan mengancam populasinya.
Sementara itu, katanya, proses evaluasi pada wilayah kerja seksi masih mengalami banyak kendala. Hal ini karena jumlah personel yang dan sumber daya lain yang masih terbatas. Ia berharap, kedepannya ada perbaikan sehingga proses pengawasan dapat berjalan maksimal.
==========
Liputan Investigasi ini didukung oleh Garda Animalia melalui Program Bela Satwa Project.
Ikuti juga berita tv kieraha di Google News