Bocah-Bocah Halmahera Bermain Limbah

Avatar photo

Bocah-bocah itu terlihat riang. Mereka bermain mengumpulkan batu. Sesekali melemparkannya dan berlari ke arah lokasi pengolahan limbah.

Bocah-bocah yang baru berusia 7 hingga 10 tahun itu tidak tahu apa-apa. Mereka ikut orangtuanya yang beraktivitas di kebun, Dusun Kobok, Kao Teluk, Halmahera Utara.

Taman bermain mereka berbeda dengan taman bermain anak-anak pada umumnya. Lahan perkebunan yang berjarak 50 meter dari lokasi pengolahan limbah PT NHM salah satunya.

“Ada 3 orang anak, saat kunjungan, kami dapatkan mereka sedang bermain dan berlari di sekitar tailing dam (area pengolahan limbah PT Nusa Halmahera Mineral atau NHM),” kata Sekretaris Komisi III DPRD Maluku Utara, Sahril Tahir, kepada KIERAHA.com.

Sahril menduga area pembuangan limbah PT NHM sejauh ini bermasalah. Jarak aktivitas sosial masyarakat sekitar dengan lokasi pengolahan limbah di antaranya.

“Bagi saya ini kelalaian perusahaan, terutama pada bagian pengawasan. Sudah tahu jarak pengolahan limbah dengan aktivitas sosial masyarakat berdekatan, tapi pihak perusahaan tidak melaksanakan pengawasannya dengan baik,” ucapnya.

Politisi Partai Gerindra itu mengungkapkan lokasi pembuangan limbah PT NHM itu seharusnya memperhitungkan jarak aktifitas sosial masyarakat setempat.

“Sebagaimana peraturan perundang-undangan, jarak pengelohan limbah dengan aktifitas sosial masyarakat minimal 500 meter. Karena udara sekitar area pengolahan limbah mengandung zat beracun. Ada unsur kimia berupa sianida dan lain-lain,” sambungnya.

Kepala Humas PT NHM Hera Astuti belum dapat dihubungi. Melalui telepon saat dikonfirmasi Sabtu (21/1/2017) belum memberikan tanggapan. Pesan singkat tidak dibalas.

Menurut Sahril, Komisi III DPRD Malut, sebelumnya sudah mendapat keterangan dari kepala keamanan PT NHM, bahwa perusahaan telah melarang warga beraktifitas di area itu.

“Tapi mereka (PT NHM) bilang selalu saja ada masyarakat yang melawan. Bahkan mereka ke kebun membawa anak-anak,” kata keamanan PT NHM yang dikutip Sahril Tahir.

Dia mengatakan alasan PT NHM ini tidak rasional, sebab setiap pos pengamanan di lokasi PT NHM tidak ditemukan adanya penempatan petugas yang melakukan pengawasan.

“Saat kunjungan ke sana, petugas posnya kosong. Bahkan warga yang kami konfirmasi mengatakan sudah terbiasa bawa anak-anak ke kebun yang dekat area limbah.”

“Alasan lain PT NHM adalah keterbatasan tenaga sekuriti. Alasan yang disampaikan ini menurut saya mengada-ngada, masa perusahaan yang menggunakan kontrak karya bisa beralasan kekurangan tenaga sekuriti yang bertugas di pos jaga,” ucap Sahril.

Dia meminta pertanggung jawaban perusahaan akibat kelalaian itu. Karena setiap perusahaan tambang yang paling utama harus memperhatikan dampak lingkungan.

Lahan Terluka

Lokasi pengolahan limbah PT NHM. (KIERAHA.com/Sahril Tahir)

PT NHM mulai melakukan kegiatan eksploitasi emas di bumi Hibua Lamo itu berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pemerintah pusat pada 28 April 1997.

Kontrak karya itu berdasarkan Keputusan Nomor: 143/Pres/3/1997, tanggal 17 Maret 1997. Setelah setahun atau 1998 PT NHM mulai melakukan eksploitasi.

Eksploitasi lahan perusahaan tambang ini berada di lima kecamatan Halmahera Utara, yakni Kecamatan Malifut, Kao Teluk, Kao, Kao Barat dan Kao Utara.

“Sebelum tambang ini masuk di Malifut, kehidupan warga di sini sebagai nelayan dan petani,” kata Yusril Bailusy, warga Kecamatan Malifut, Jumat, 20 Januari 2017.

Yusril mengatakan waktu terus berjalan dan kurang lebih 18 tahun kehidupan warga masyarakat setempat mengalami perubahan drastis dari kehidupan sebelumnya.

”Yang dulu belum ada tambang emas, profesi warga bertani dan nelayan, ketika ada tambang semua warga beralih profesi bekerja sebagai kuli di perusahaan,” katanya.

“Bagaimana mau berkebun, lahan sudah dibebaskan untuk kepentingan eksploitasi. Sudah begitu, laut yang dulunya banyak ikan sekarang berkurang,” sambungnya.

Yusril mengatakan pengelohan limbah itu merupakan masalah lama PT NHM, terutama pencemaran, berkurangnya biota laut dan mutu air yang dikonsumsi warga.

“Ini karena tempat pengolahan limbah perusahaan itu jaraknya sangat dekat dengan aktivitas warga. Kampung dan jalan raya, sekitar 50 meter,” Yusril memungkasi.