Harapan untuk hidup layak dari hasil pertanian pupus kala usaha yang memberikan keuntungan kurang lebih Rp 15 juta sekali panen itu hilang disapu banjir.
Hari beranjak sore. Air menggenangi pekarangan rumah dan kebun milik warga di Satuan Pemukiman Trans Maidi, Kecamatan Oba Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Di antara genangan air yang berwarna hitam pekat itu, seorang lelaki menyiram tanaman miliknya di atas batu.
Miskam, begitu lelaki itu dikenal. Pria 53 tahun asal Kabupaten Jember, Jawa Timur itu telah merantau dari tanah kelahirannya ke Trans Wairoro, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara sejak tahun 2003. Miskam kemudian pindah ke Trans Maidi di daratan Oba Pulau Halmahera pada Desember 2009 untuk bertani.
“Cara menanam di atas batu ini sebagai upaya uji coba, karena air yang menggenangi rumah dan kebun membuat jeruk dan buah naga saya tidak bisa diproduksi,” ucap Miskam, ketika disambangi kieraha.com pada Februari 2023.
Dia mengemukakan, genangan air tersebut merupakan sisa banjir. Ketiadaan saluran drainase, katanya, membuat aliran air yang seharusnya bermuara ke dalam Kali Hitam, terhambat, sehingga rumah warga selalu tergenang apabila hujan deras melanda.
Akibatnya, lanjut Miskam, harapan untuk mendapatkan hidup layak dari hasil pertanian pupus, kala usaha yang memberinya keuntungan sekitar Rp 15 juta setiap kali panen pun hilang disapu banjir dan hanya meninggalkan genangan air yang tak pernah surut.
Miskam mengatakan keinginannya untuk pindah ke tempat yang lebih layak untuk melanjutkan hidup, namun niatnya itu harus diurungkan karena membutuhkan persiapan dan ongkos yang lebih besar.
“Saat ini untuk mengharapkan kondisi ekonomi yang lebih baik juga masih susah, yang penting bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari,” tuturnya.
Banjir telah menjadi momok yang menakutkan. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, pada tahun 2021 sebanyak 13 desa dan kelurahan di Kota Tidore Kepulauan yang dilanda banjir. Dari jumlah tersebut sekitar 2 atau 28,57 persen dari total desa di Kecamatan Oba Selatan kebanjiran dan menempatkan wilayah tersebut sebagai daerah rawan banjir, setelah Kecamatan Oba sebanyak 64,29 persen.
BPS juga mencatat, Maidi menjadi desa yang paling sering dilanda banjir. Berbeda dengan enam desa lainnya, kejadian banjir yang dialami desa ini sebanyak sepuluh kali sepanjang tahun 2020.
Akibat banjir tersebut, kata Miskam, dirinya harus memulai usaha pertaniannya dari awal lagi, lantaran genangan air sisa banjir membuat tumbuhan pertanian miliknya bukan sekedar gagal panen namun berujung mati.
“Terakhir panen pada tahun 2021 kemarin. Karena pada tahun 2022 semua tanaman milik saya mati, dan baru ditanam kembali pada tahun ini,” kata Miskam.
Data BPS juga menunjukkan, kontribusi produksi pertanian hortikultura di Oba Selatan terhadap kota madya yang beribukota di Soasio itu sebanyak 240,4 ton atau 16,25 persen pada tahun 2021. Dari jumlah tersebut, menjadikan kecamatan ini sebagai penyumbang hasil pertanian terbesar ketiga dari delapan kecamatan lainnya.
Selama tahun 2018-2020 terjadi peningkatan jumlah panen hortikultura di Oba Selatan, dengan rata-rata sekitar 379,57 ton per tahun. Namun pada tahun 2021, banyaknya panen tersebut justru berkurang sekitar 646 ton hingga tersisa 240,4 ton.
Sama halnya dengan jumlah panen, pun terjadi penyusutan lahan pertanian hortikultura di Oba Selatan. Hanya dalam setahun, luas panen untuk budidaya tanaman hortikultura berkurang hampir empat kali lipat, dari 143 hektare pada tahun 2020 dan tersisa 40 hektare di tahun 2021.
Tomat, Cabai Besar dan Cabai Rawit merupakan tiga komoditas utama yang dihasilkan, nilai panennya bahkan mencapai 98,96 persen atau 237,9 ton dari jumlah total produksi hortikultura kecamatan setempat tahun 2021.
Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Halmahera Selatan ini pun menjadi penghasil Cabai Besar dan Cabai Rawit terbesar di Kota Tidore Kepulauan. Dengan nilai panen Cabai Besar sebanyak 42,9 ton dan Cabai Rawit 44,5 ton.
Meski begitu, tingkat produktivitas pertaniannya hanya sekitar 6,01 ton per hektare, yang justru menempatkan Oba Selatan berada pada urutan keenam dari delapan kecamatan.
Apalagi, dua dari tiga kecamatan pemegang peranan produksi hortikultura di Tidore Kepulauan (Oba dan Oba Selatan) ini berada di Pulau Halmahera yang selalu dilanda banjir pada tahun 2021.
Miskam menceritakan, banjir di daerahnya menjadi salah satu faktor penyebab minimnya produktivitas pertanian. Memang, katanya, banjir sudah mulai terjadi sejak awal kedatangannya.
Namun, kata Miskam, sejak tahun 2019 banjir itu mulai rutin terjadi hingga mengancam pertanian miliknya itu disebabkan oleh peningkatan curah hujan, kondisi cuaca yang sulit diprediksi, dan tidak terdapat saluran drainase.
Berdasarkan analisis korelasi, kaitan antara jumlah desa maupun kelurahan yang terdampak banjir memiliki hubungan yang sangat kuat. Semakin banyak desa atau kelurahan yang kebanjiran, semakin merosot pula produktivitas pertanian.
Dampak banjir terhadap pertanian juga disebutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Zuhud Rozaki, Oki Wijaya, Nur Rahmawati, dan Lestari Rahayu dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2021. Riset berjudul Farmers’ Disaster Mitigation Strategies in Indonesia ini menyatakan, hubungan yang kuat dimiliki antara banjir dengan ketahanan pangan.
Para peneliti ini mengemukakan, banjir di Jawa Barat pada tahun 2014 telah merusak 94.304 hektare sawah. Provinsi itu juga menghadapi banjir akibat tingginya curah hujan yang menggenangi 13.234 hektare dari total 166.715 hektare lahan pertanian, dan merusak tanaman hampir 70 ribu ton beras.
“Meskipun dengan dampak yang minimal menggenangi lahan pertanian, banjir kemungkinan besar akan membuat tanaman hilang. Semakin besar banjir, semakin signifikan pengaruhnya terhadap pertanian,” sebut para peneliti dalam riset mereka tersebut.
Riset lain menyebutkan, berkurangnya lahan produktif akibat banjir dan kekeringan menjadi ancaman serius yang mengancam keberhasilan panen di Indonesia. Hasil ini disebutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hafidah Asni Akmalia dari Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang pada Juni 2022.
Hafidah menyatakan, pada musim hujan telah terjadi penyempitan luas lahan padi sebanyak 20 persen di Bali, dan usaha tani kentang di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah juga sangat rentang pada musim hujan.
“Petani kentang menginvestasikan biaya yang jauh lebih tinggi untuk membeli pestisida karena saat musim hujan hama datang,” tulis Hafida dalam riset yang berjudul The Impact Of Climate Change On Agriculture In Indonesia And Its Strategies: A Systematic Review.
Hal senada juga dikemukakan Akademisi Universitas Halmahera, Deybi Elsa Gisisi. Ia menjelaskan, dampak banjir terhadap pertanian kini marak terjadi di Indonesia, peningkatan curah hujan serta cuaca ekstrem yang sulit diprediksi menjadi ancaman nyata terhadap pertanian.
Apalagi, kata Deybi, untuk wilayah yang belum memiliki drainase dan sistem irigasi, seperti di Trans Maidi ini harus mendapat perhatian serius yang harus disegerakan dari pemerintah, karena ia menjadi penyangga produksi pertanian yang sangat penting.
Deybi mengingatkan, ancaman banjir di Kecamatan Oba Selatan terhadap budidaya hortikultura yang punya kontribusi tinggi terhadap pertanian untuk Kota Tidore Kepulauan harus diminimalisir.
“Jika banjir terus terjadi, sementara budidaya pertanian petani tidak bisa dipanen, maka akan berisiko terhadap ketersediaan bahan pangan di Tidore dalam beberapa tahun ke depan,” jelas Ketua Program Studi Agroteknologi, Fakultas Ilmu Alam dan Teknologi Rekayasa ini, kepada kieraha.com, di Tobelo, Jumat, 14 April 2023.
Perempuan yang menempuh studi magisternya di Universitas Sam Ratulangi ini menambahkan, selain pembangunan irigasi, pemerintah bersama petani juga harus bekerja sama untuk menemukan langkah adaptasi dan mitigasi sebagai solusi lanjutan jika banjir masih belum bisa dibendung.
“Hal ini karena banjir yang memukul hasil pertanian sehingga gagal panen akan sangat berdampak terhadap ekonomi petani. Apalagi bagi mereka yang hanya menggantungkan hidupnya pada budidaya hasil pertanian,” jelasnya.
Risiko Bencana Tinggi
Menurut Buku Indeks Risiko Bencana Indonesia atau IRBI, Kota Tidore Kepulauan merupakan salah satu daerah dengan kategori berisiko bencana tinggi pada tahun 2021.
Dari sepuluh kabupaten kota di Maluku Utara, nilai indeksnya mencapai 161,25 dan menempatkan Tidore Kepulauan sebagai daerah rawan bencana ketiga, setelah Halmahera Selatan (216,99) dan Halmahera Timur (173,20).
Data BPS pun menunjukkan, adanya peningkatan jumlah bencana alam yang menimpa setiap desa atau kelurahan di Tidore Kepulauan dalam kurun waktu tahun 2019-2021, dengan rata-rata peningkatan setiap tahunnya sekitar 5,33 desa/kelurahan.
Dari total 109 desa maupun kelurahan yang terkena bencana alam pada tahun 2021, lebih dari setengahnya adalah gempa bumi (84,40 persen). Sisanya banjir (11,93 persen) dan 3,67 persennya tanah longsor.
Muhammad Abubakar, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Tidore Kepulauan mengakui, Kota Tidore merupakan daerah dengan risiko bencana tinggi jika dilihat dari dampak bencana tersebut.
Selain itu, katanya, posisi geografis Tidore Kepulauan yang berada dalam ring of fire sebagai kawasan yang rawan bencana juga menjadi faktor lainnya.
“Pemerintah Kota sedang berupaya keras untuk meminimalisasi dampak bencana terhadap masyarakat, dengan berbagai langkah,” ujar Abubakar, di Tidore, Senin, 20 Maret 2023.
Karena itu, kata Abubakar, inti dari penanggulangan bencana ini merupakan upaya pencegahan sehingga tidak memberikan dampak yang berkelanjutan terhadap masyarakat.
Mitigasi Terlambat
Miskam menuturkan, problem banjir yang berulang tersebut bahkan telah sering kali diadukan ke pemerintah, namun sampai sejauh ini belum ada penanganan lanjutan dari bencana yang mengancam pertanian mereka tersebut.
“Kita sudah berulang kali menyuarakan kepada pemerintah mengenai persoalan banjir ini, tapi sama sekali belum ada respon seperti pembangunan drainase,” ujarnya.
Dalam Peraturan Daerah Kota Tidore Kepulauan Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pengembangan dan penerapan kebijakan pengurangan risiko bencana secara berkelanjutan.
Dalam Perda itu juga menyebutkan, penanggulangan bencana meliputi pra bencana, kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi yang terdiri dari pengurangan risiko bencana dengan pembangunan fisik, serta penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Meski begitu, lanjut Miskam, belum pernah sekalipun pemerintah melakukan upaya-upaya tersebut. Bahkan, katanya, desas-desus normalisasi Kali Hitam dan pembangunan drainase yang sempat beredar tidak terlihat wujudnya hingga kini.
Kalak BPBD Muhammad Abubakar mengakui, Trans Maidi merupakan salah satu daerah rawan bencana banjir yang belum tertangani hingga kini.
Menurutnya, letak geografis yang rendah membuat aliran air akibat hujan tidak memiliki saluran sehingga menggenangi rumah dan kebun milik warga di Trans Maidi.
“Hampir setiap tahun selalu terjadi banjir, walaupun dengan curah hujan yang kecil,” kata Abubakar.
Sementara itu, katanya, sejauh ini BPBD telah melakukan upaya-upaya sosialisasi dan pembentukan tim reaksi cepat (TRC), tim ini yang akan menjadi perpanjangan tangan BPBD di setiap kecamatan bila terjadi bencana.
“Meski begitu langkah-langkah penanganan tersebut sejauh ini belum cukup,” katanya.
Abubakar mengatakan, untuk penanganan bencana banjir di Trans Maidi, tahun 2023 ini akan dibangun irigasi yang menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Tidore Kepulauan.
Data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP menyebutkan, terdapat proyek senilai Rp 650 juta untuk Konsultansi Dokumen Lingkungan Hidup Daerah Irigasi Maidi.
Konsultansi dokumen lingkungan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD tahun 2021 itu melekat di bawah Dinas PUPR Kota Tidore Kepulauan.
Kepala Dinas PUPR Kota Tidore Kepulauan Abdul Muis menyatakan, pembuatan dokumen lingkungan tersebut sebagai pendukung untuk pelaksanaan proyek pembangunan irigasi.
Meski tidak merinci kapan waktu pekerjaan Irigasi ini dilakukan, namun kata Muis, dokumen kajian lingkungannya sudah rampung disusun dan hasil dari dokumen tersebut akan dilakukan pembangunan irigasi pada tahun ini.
“Dokumen itu sudah selesai disusun dan hasilnya itu tahun 2023 dapat DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk bangun irigasi,” tutup Muis. *
==========
Karya ini dimulai dengan pengumpulan database (basis data) dan dituangkan dalam kerangka masterfile. Berikut adalah link database dan masterfile tersebut.
Ikuti juga berita tv kieraha di Google News