Tepung kasbi atau ubi kayu berwarna putih cerah menggunung di dalam baskom. Tepung itu sesekali diambil oleh Jahra Kalbi, warga Desa Lola, Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Tepung yang diambil untuk dimasukkan ke dalam porna atau alat cetak sagu.
Alat pencetak sagu tersebut terbuat dari gerabah, berbentuk persegi panjang dan memiliki 5-6 rongga di tengahnya. Di dalam rongga porna, tepung kasbi dimasukkan untuk mencetak sagu lempeng. Bagi warga di wilayah Tidore menyebutnya forno. Alat ini fungsinya menyerupai oven.
Jahra, yang saat itu sedang mengangkat porna dari tungku ke atas meja, sesekali menaruh telapak tangannya. Ini dilakukan untuk mengecek suhu panas yang ideal sebelum tepung singkong dimasukkan ke dalam porna. Ini dilakukan untuk menjaga kualitas sagu.
“Jangan terlalu dingin atau terlalu panas, kalau terlalu panas sagu akan hangus,” tutur Jahra, begitu disambangi kieraha.com, di rumahnya, Sabtu, 18 Desember 2021.
Perempuan kelahiran 1957 itu dibantu suaminya, Untung. Keduanya silih berganti mencetak sagu. Berselang sekitar 3-5 menit, tepung singkong yang dimasukkan ke dalam porna siap diangkat dan hasilnya telah membentuk lempengan sagu. Sagu-sagu tersebut kemudian dijemur di bawah panas matahari. Setiap hari, mereka memulai aktivitas ini pukul 05.30 WIT dan berakhir menjelang waktu magrib.
Aktivitas yang dilakoni sejak tahun 1972, sampai sekarang telah memberikan dampak ekonomi rumah tangga keduanya dan menunjang masa depan anak-anak mereka. Kurang lebih dua dari lima anak Jahra dan Untung telah berhasil menamatkan perguruan tinggi dari hasil membuat sagu.
“Dua lainnya sudah menjadi Anggota Polri. Itu semua dari hasil sagu,” ujar Jahra.
Jahra mengatakan, oleh anak-anaknya pernah memintanya untuk barhenti dari aktivitas tersebut karena sering sakit dan keluar masuk Puskesmas. Namun karena sudah terbiasa sehingga tetap melanjutkan pekerjaannya ini.
“Setelah dirawat kong so rasa kuat (merasa membaik), langsung biking (mencetak sagu) lagi,” katanya.
Perempuan 64 tahun itu menjelaskan bahwa proses pembuatan sagu lempeng ini dimulai dari pengambilan singkong yang diperoleh dari kebun sendiri atau dari masyarakat sekitar. Setelah itu, singkong dibersihkan lalu digiling menggunakan mesin.
Untuk memisahkan air yang masih terkandung di dalamnya, singkong itu kemudian dipres. Proses pengepresannya disebut dongkrak karena menggunakan tenaga dongkrak mobil, sampai menghasilkan saripati singkong yang akan digiling kembali hingga berbentuk tepung.
“Proses terakhir yaitu sagu siap dicetak di dalam porna,” sambungnya.
Bertahan di Tengah Pandemi
Menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2019-2020, di Indonesia telah terjadi kemerosotan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pencapaian kerja yang telah diraih pada tahun 2013-2019. Kemerosotan ini diantaranya pada Bidang Kesehatan Nasional, Ketahanan Bencana, Pariwisata, dan Investasi Menuju Ekonomi Hijau. Kondisi ini terjadi karena adanya hantaman pandemi Covid-19.
“Tingkat kemiskinan nasional menurun dari 11,13 persen pada tahun 2015 menjadi 9,22 persen pada tahun 2019, namun kemudian meningkat menjadi 10,19 persen pada tahun 2020 karena adanya pandemi Covid-19, yang mengembalikan tingkat kemiskinan ke tiga tahun lalu. Perempuan, penduduk pedesaan, dan orang tua adalah kelompok yang paling terpengaruh, dan kemiskinan di kalangan anak-anak meningkat dari 11,76 persen pada 2019 menjadi 12,23 persen pada 2020,” tulis Bappenas dalam dokumen berjudul Indonesia’s Voluntry National Review (VNR) Tahun 2021.
BACA JUGA Dampak Corona Bagi Warga Ternate hingga Memicu Sikap Apatis
Dalam laporan tersebut, juga menyebutkan bahwa pandemi telah menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi, dari 5,02 persen pada 2019 menjadi 2,07 persen pada 2020. Ini berimplikasi pada penurunan pendapatan per kapita dari 4.174,9 Dollar AS pada 2019 menjadi 3.911,7 Dollar AS pada tahun 2020. Tingkat pengangguran meningkat dari 5,23 persen pada 2019 menjadi 7,07 persen pada 2020. Youth of not in employment, education, or training (NEET) atau pemuda tidak dalam pekerjaan, pendidikan, atau pelatihan telah meningkat dari 21,77 persen pada 2019 menjadi 24,28 persen pada 2020, termasuk NEET pemuda penyandang disabilitas dari 52,32 persen pada 2019 menjadi 53,37 persen pada 2020 dan NEET pada pemuda non-disabilitas dari 21,21 persen pada 2019 menjadi 23,85 persen pada 2020.
Di tengah ancaman pandemi Covid-19, lanjut Jahra, masyarakat dianjurkan untuk melakukan work from home atau bekerja dari rumah dan sosial distancing atau pembatasan jarak sosial tidak membuat usaha sagu lempengnya lesu. Bahkan dalam situasi pandemi, ia justru mendapat pemesanan sagu dari berbagai daerah. Selain melayani pasar domestik di wilayah Kecamatan Oba Tengah dan Oba Utara, tak jarang permintaan juga berasal dari Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Barat, Maluku Utara.
“Kemarin ada yang dari Ibu (salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat) dan Nusliko (Halmahera Tengah) datang pesan,” kata Jahra.
Jahra mengatakan, sagu yang dijualnya dihitung per ikat. Dalam satu ikat biasanya terdapat sembilan lempeng sagu, yang setiap ikatnya dibandrol dengan harga Rp 10.000.
Untuk produksi harian, Jahra dan suaminya hanya sanggup memproduksi sagu sekitar Rp 200.000 – Rp 300.000. Menurut Jahra, hasil sagunya ini sudah mampu untuk menunjang kebutuhan harian keluarganya.
Baik untuk Diet dan Diabetes
Laporan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara menyebutkan, ubi kayu merupakan sumber pangan ketiga setelah padi dan jagung. Sebanyak 64 persen produksi ubi kayu di Indonesia dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kesan inferior dalam mengkonsumsi sagu kasbi di Tidore belum ada, bahkan usaha sagu kasbi merupakan salah satu penunjang ekonomi keluarga.
Laporan berjudul Teknologi Pengolahan Sagu Kasbi Aneka Rasa, juga menjelaskan, kadar protein yang terkandung di dalam sagu kasbi sebesar 1,43 persen dan lemak rendah yaitu 0,48 persen. Oleh karena itu, masyarakat Maluku Utara menjadikan sagu kasbi sebagai makanan utama pengganti beras yang dikonsumsi bersama ikan dan sayur-sayuran sebagai sumber protein dan lemak. Kandungan serat kasarnya sebesar 2,17 persen, ini adalah komponen utama yang digolongkan ke dalam resistant starch atau serat tidak tercerna oleh enzim-enzim pencernaan di dalam usus kecil manusia sehat. Sehingga ia memiliki fungsi fisiologis seperti halnya serat makanan, antara lain mampu mengikat asam empedu, meningkatkan volume feses serta mempersingkat waktu transit.
“Selain itu, melalui proses pengepresan menyebabkan hampir seluruh pati terekstraksi, sehingga ampas yang tertinggal mengandung kalori yang rendah. Hal inilah yang menyebabkan kadar gula maupun indeks glikemik sagu kasbi sangat rendah. Dengan kadar gula yang rendah dan memiliki efek mengenyangkan, maka sagu kasbi cocok untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes maupun orang yang sedang diet. Jadi sagu kasbi juga layak dijadikan pangan fungsional diabetik,” sebut laporan yang terbit pada tahun 2009 tersebut.
Solusi Perubahan Iklim
Food and Agriculture Organization dalam laporan berjudul The State of Food and Agriculture 2021 menyebutkan, sejumlah tekanan berupa kekeringan dan banjir, ketidakstabilan harga, hingga konflik bersenjata dan diperparah dengan tekanan jangka panjang lainnya seperti ketidaksetaraan ekonomi dan variabilitas iklim merupakan ancaman terhadap produksi pertanian dan sistem pangan pertanian di negara-negara berkembang.
“Kurang lebih 768 juta orang atau 9,9 persen dari populasi menderita kelaparan pada tahun 2020. Meningkat 118 juta orang dari tahun 2019 akibat dari tekanan jangka panjang lainnya seperti ketidaksetaraan ekonomi dan variabilitas iklim,” tulis FAO dalam laporan tersebut.
Organisasi multinasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB ini juga menjelaskan, akibat perubahan iklim, peristiwa cuaca ekstrim, serangan hama dan penyakit, kelangkaan air bersih, dan sumber daya alam yang memburuk menyebabkan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah paling terdampak. Tercatat, sekitar 26 persen dari semua kerusakan dan kerugian ekonomi sepanjang tahun 2008-2018.
BACA JUGA Cara Warga Kalaodi Tidore Menjaga Pangan dan Hutan
Munawir Muhammad, Peneliti Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara menyatakan, ubi kayu merupakan pangan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat Maluku Utara secara turun temurun. Sebarannya yang hampir merata di semua kabupaten dan kota menjadikan stoknya sangat melimpah.
Ketua Program Studi Agribisnis UMMU Ternate itu mengemukakan, hasil penelitiannya di Desa Gorua, Kabupaten Halmahera Utara, pada 2018 menemukan potensi budidaya ubi kayu terhadap ekonomi masyarakat sangat menjanjikan. Petani di sana memperoleh pendapatan sebesar Rp 7.298.727 dengan biaya pengeluaran sebesar Rp 1.633.090 dalam setiap musim tanam.
“Salah satu upaya budidaya itu adalah dibuatkan sagu,” katanya, di Ternate Rabu (22/12/2022).
Menurut Munawir, sebagai bahan dasar pembuatan sagu, ubi kayu memiliki karakter yang mudah untuk dibudidayakan. Apalagi, dengan kondisi geografis Maluku Utara yang memiliki tanah yang subur. Selain itu, ia juga mampu bertahan dalam cuaca ekstrim. Maka, ubi kayu dengan segala varian budidayanya menjadi solusi pangan yang dapat berperan penting menghadapi ancaman krisis pangan di tengah perubahan iklim. Hanya saja, yang patut dijadikan perhatian utama adalah kebijakan pemerintah daerah untuk menunjang industri rumahan ini karena memiliki dampak langsung kepada masyarakat.
Ia menganjurkan, campur tangan pemerintah untuk merancang sistem pertanian seperti penyediaan informasi pertanian sehingga membantu petani dalam memperkiraan jumlah produksi yang akan dihasilkan agar tidak terjadi kelebihan suplai yang membuat rendahnya harga jual. Intervensi pemerintah juga diharapkan dapat memberikan stabilitas harga untuk menjaga petani ketika terjadi kondisi yang tidak diinginkan.
“Pemerintah perlu mengatur sistem pertanian pangan dari hulu sampai hilir,” tambahnya.
Komitmen Pemerintah
Kepala Dinas Pangan Provinsi Maluku Utara Dheni Tjan menuturkan, pangan lokal sebagai salah satu sumber karbohidrat untuk menunjang gizi seimbang dan aman. Ini tentunya mendorong pemerintah untuk menetapkan komitmennya dalam upaya pengembangan melalui gerakan diversifikasi pangan lokal. Hal ini, kata Dheni untuk menekan tingkat prevalensi stunting atau gizi buruk akibat akses pangan.
Menurutnya, dalam rangka untuk meminimalisir ketergantungan terhadap beras, upaya ini pun telah diwujudkan melalui berbagai kegiatan, seperti pelaksanaan Festival Pangan Lokal Bergizi Seimbang dan Aman pada 2021 dengan mengikutsertakan para pelaku UMKM dari setiap kabupaten dan kota.
BACA JUGA Pengakuan Kota Jaringan Global Magellans bagi Tidore
“Ini tujuannya untuk merangsang masyarakat kita agar lebih proaktif untuk mengolah komoditi berbahan dasar dari lokal,” katanya, di Guraping, Oba Utara, Kamis, 23 Desember 2021.
Terkait dengan perubahan iklim, lanjut Dheni, pemerintah provinsi berupaya sehingga tidak terjadi kelangkaan pangan. Selain itu, karena kondisi geografis yang sangat mendukung, maka dikembangkan sistem pertanian pangan untuk produksi olahan pangan lokal seperti ubi kayu dan kelapa. Untuk itu, pemerintah daerah berupaya agar ada keterlibatan masyarakat pada upaya pasca panen atau sektor hilirisasi.
“Ini juga telah menjadi prioritas dari pemerintah pusat,” tutupnya.