Kamis 28 Juni 2018, pukul 14.30 WIT, langit di Ternate, Maluku Utara, mendung. Mendung menghantarkan saya, dari rumah ayah di Kelurahan Akehuda, Kecamatan Ternate Utara, menuju terminal Bandara Sultan Babullah Ternate.
Penerbangan udara kali ini adalah yang terjauh. Waktu beristirahat kala berada di dalam pesawat. Dua kali transit di bandara adalah sesuatu yang melelahkan.
Dari Ternate menuju Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar, Sulawesi Selatan, ditempuh dengan waktu 1 jam lebih. Dari Makassar menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta selama 2 jam 25 menit di udara.
Penerbangan ini kemudian saya lanjutkan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandara Internasional Kualanamu Medan dengan waktu 1 jam 10 menit.
Saat tiba di terminal bandara pukul 02.00 WIB, tak ada lagi kereta api bandara.
“Keretanya hanya sampai pukul 11, Mas,” kata petugas bandara begitu disambangi di depan pintu masuk Kereta Api Bandara Kualanamu, Jumat (29/6/2018) dinihari.
Petugas itu lalu menawarkan jasa transportasi lain. Ia memberikan dua pilihan. Menumpangi Bus Damri atau memesan mobil pangkalan bandara jenis Avanza.
Setelah bincang-bincang. Saya kemudian memilih untuk memesan mobil pangkalan. Paling tidak, itu yang paling aman dan cepat. Lima menit kemudian, sebuah mobil yang ia pesan berhenti di depan saya. Saya kemudian menaikinya menuju hotel.
Perjalanan darat dari Bandara Kualanamu menuju hotel tempat diadakannya Lokakarya Jurnalisme dan Keanekaragaman Hayati Indonesia ini ditempuh 1 jam lebih. Hotel tempat kegiatan merupakan hotel pertama di Kota Medan. Dahulu hotel ini diberinama Hotel Darma Deli (sebelumnya De Boer) yang dibangun pada 1898. Nama hotel bangunan bergaya Kolonial ini disesuaikan dengan nama pemiliknya Herman De Boer, salah seorang pengusaha asal Belanda. Meski begitu, bangunan salah satu cagar budaya di Medan itu, saat ini berganti nama Hotel Grand Inna.
3 Hari Lokakarya di Medan
Lokakarya terkait Jurnalisme dan Keanekaragaman Hayati di Indonesia ini, diadakan oleh Climate Tracker. Sebelumnya sudah pernah digelar di Bandung, Jawa Barat, pada 2017. Sebanyak 14 peserta yang ikut dalam pelatihan di Kota Medan ini.
Pelatihan jurnalisme lingkungan yang digelar selama tiga hari, pada Jumat pagi 29 Juni hingga Minggu, 1 Juli 2018 itu menghadirkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya saya, dari Ternate, Maluku Utara. Empat belas peserta yang hadir ini karena memenangkan kompetisi menulis artikel tentang Deforestasi dan Keanekaragaman Hayati di daerah masing-masing dari 600 lebih peserta yang ikut mendaftar dalam kompetisi Climate Tracker 2018 itu.
Dari 14 peserta yang ada, hanya satu jurnalis yang sebelumnya sudah saya kenal di lokasi pelatihan Save The Children on Security Digital di Bogor, Jawa Barat pada 2016. Ia adalah Shinta Maharani, peserta dari Jogjakarta, jurnalis majalah Tempo.
Para penulis muda termasuk saya, begitulah kira-kira, yang memenangkan pelatihan beasiswa penuh 2018 ini diberikan pengetahuan instrumen untuk menjadi jurnalis kelas dunia melalui pembekalan intensif dari berbagai ahli dari dalam dan luar negeri. Demikian, disampaikan Chris Wright, Direktur Climate Tracker, saat membuka Lokakarya itu, di Hotel Grand Inna Medan, Jumat pagi.
“Kami mencari jurnalis muda dari Indonesia yang ingin membuat perubahan dengan menulis mengenai deforestasi di Indonesia serta dampaknya terhadap keanekaragaman hayati lokal,” kata Chris melanjutkan di sesi awal pengenalan.
Climate Tracker adalah organisasi jurnalisme yang dipimpin oleh para pemuda dengan jaringan global lebih dari 7.000 jurnalis dan komunikator lingkungan. Berkantor pusat di Australia, Climate Tracker memiliki cabang di beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia.
Dengan menciptakan kampanye media global yang strategis dan menyelenggarakan pelatihan jurnalisme perubahan iklim, jaringan Climate Tracker mengangkat perubahan iklim dan isu lingkungan lainnya ke dalam debat publik di seluruh dunia. Climate Tracker telah melibatkan ribuan anak muda di seluruh dunia dan telah menerbitkan artikel di lebih dari 130 negara berbeda.
“Climate Tracker juga menyelenggarakan pelatihan untuk para penulis muda dan jurnalis, membangun keterampilan dan pengetahuan mereka tentang jurnalisme dan perubahan iklim. Climate Tracker percaya bahwa dengan dukungan yang tepat, siapa pun, terutama para pemuda, dapat menjadi suara yang kuat untuk aksi perubahan iklim dan isu lingkungan lainnya,” Chris Wright menambahkan.
Lokakarya di Indonesia ini sudah dilakukan di beberapa negara. Indonesia adalah lokakarya kedua. Sebelumnya, kawan baik saya, yang juga sesama alumni Meliput Daerah Ketiga (MDK) IV yang diselenggarakan oleh LPDS dan Kedutaan Norwegia, Christopel Paino adalah veteran pertama Climate Tracker di Indonesia 2017.
Chris Wright yang merupakan warga negara Australia mendirikan Climate Tracker sejak 2016. Namun, telah aktif dalam jurnalisme perubahan iklim global sejak 2010. Dengan beberapa tim Climate Tracker yang tersebar di berbagai penjuru dunia, Climate Tracker telah menginspirasi banyak penulis muda untuk menulis tentang isu lingkungan dan perubahan iklim. Bahkan, di beberapa negara, tulisan yang dihasilkan jaringan Climate Tracker dapat mempengaruhi kebijakan di kota atau negaranya misalnya menggagalkan dibangunnya pembangkit listrik batu bara dan meminta pemerintah untuk menggantinya dengan pengembangan energi terbarukan.
“Hal ini merupakan salah satu inspirasi dan cerita sukses dari kekuatan penulis muda untuk membuat perubahan besar melalui karya jurnalisme,” kata Chris.
Tentang Keragaman Hayati
Chris Wright bilang, hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Peranannya krusial terutama dalam menyediakan kebutuhan esensial seperti makanan, air, udara, serta iklim yang sehat. Meskipun demikian, praktik penggundulan hutan besar-besaran masih terjadi yang dampaknya semakin mengancam keberlangsungan makhluk hidup yang bergantung pada hutan.
“Tren naik alihfungsi hutan untuk lahan perkebunan ini kian mengkhawatirkan, utamanya karena konsekuensi yang dapat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Karena itu Climate Tracker menggelar pelatihan ini untuk membuat perubahan dengan menulis tentang praktik deforestasi, dan bagaimana dampaknya pada keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat saat ini,” ujar dia.
Materi pelatihan yang diberikan selama tiga hari itu meliputi pengelolaan hutan konservasi dan peranannya dalam menjaga keanekaragaman hayati, keanekaragaman hayati di Indonesia, tehknik menulis lingkungan pendekatan data driven journalism, peran media dan hambatannya dalam mengawal isu lingkungan terkait keanekaragaman hayati di Indonesia, serta peliputan isu deforestasi.
Beberapa pemateri dari Indonesia adalah Kepala Balai Besar TN Gunung Leuser Medan Dr Ir Hotmauli Sianturi, Peneliti IPB DR Fahmi Hakim, Direktur The Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) Aditya Heru Wardana, Aktivis dan Pecinta Lingkungan Nabiha Shahab, serta pemateri dari Australia Chris Wright.
Medan merupakan ibu kota Sumatera Utara yang memiliki hubungan erat dengan isu hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Alasan ini menjadi dasar bagi Climate Tracker mengadakan lokakarya tersebut di kota berjuluk pintu gerbang Indonesia bagian Barat itu.
Selesai pelatihan, para peserta diminta untuk menulis minimal satu artikel terkait deforestasi dan keanekaragaman hayati. Beberapa peserta yang dapat mempublikasikan karya jurnalisme dengan pengaruh tertinggi akan menerima beasiswa online untuk menulis beberapa artikel lagi. Setelah itu, akan dipilih dua peserta untuk dikirim meliput konferensi global keanekaragaman hayati di Mesir pada November 2018.
Berikut adalah 14 nama peserta jurnalis dan penulis lingkungan yang terpilih dalam kompetisi tersebut. Mereka adalah Sapri Maulana dari Samarinda, Hamid Arrum Harahap dari Medan, Dinda Lisna Amilia dari Surabaya, Shinta Maharani dari Jakarta, Ratna Tesalonika dari Sumedang, Mohamad Wahyu Syafiul Mubarok dari Surabaya, Desi Badrina dari Aceh, Pradipta Dirgantara dari Bandung, Muhamad Antoni dari Bengkulu, Ida Lestari dari Lampung, Bhekti Suryani dari Yogyakarta, Dwiki Ridhwan dari Bandung, Tantia Shecilia dari Riau, dan Hairil Hiar dari Ternate.
Hasil karya liputan dari keempat belas peserta lokakarya tentang jurnalisme dan keanekaragaman hayati yang lolos di Medan ini bisa Anda lihat di sini.
Christopel Paino, kloter pertama Climate Tracker di Indonesia, mengemukakan kegiatan yang dilakukan ini menambah sudut pandang baru dalam penulisan artikel lingkungan. “Pentingnya pengetahuan menjaga hutan di Indonesia ini perlu di dalami oleh peserta (jurnalis dan penulis lingkungan). Supaya masyarakat tahu bahwa kerusakan hutan besar-besaran akan menyebabkan terganggunya ekosistem yang lain, termasuk keanekaragaman hayati yang bergantung hidup di sekitar,” katanya.
Jurnalis Mongabay asal Gorontalo itu berharap lokakarya yang digelar kedepannya lebih ditingkatkan lagi. Paling tidak ada praktek langsung untuk peserta ke lokasi yang erat hubungannya dengan isu hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Editor: Warief Djajanto Basorie