Sampah Menumpuk hingga Cemari Lingkungan Sofifi

Avatar photo
Pembakaran sampah di TPS Oba Utara. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Awal April 2022, langit di atas TPS Oba Utara tertutup asap yang berasal dari pembakaran tumpukan sampah. Nyala api di lokasi TPS itu melalap kantong plastik, botol, penutup galon, jerigen, kotak kemasan makanan, kardus, hingga kaleng dan ban bekas.

Sampah non-organik itu bercampur dengan jenis sampah organik seperti kulit pisang, daun, serta batok dan sabut kelapa. Terlihat juga masker medis sekali pakai yang ikut terbakar.

BACA JUGA Mereka yang Terancam di Pulau Ternate

Sebagian sampah dalam kondisi hangus, sisanya masih utuh. Tidak hanya api dan asap yang terlihat, namun aroma bau busuk juga keluar dari tumpukan sampah yang ada di Tempat Penampungan Sementara atau TPS di Oba Utara, wilayah Kota Tidore Kepulauan ini.

Oba Utara adalah salah satu wilayah Tidore Kepulauan dari total empat Kecamatan yang berada di daratan Pulau Halmahera. Oba Utara memiliki luas wilayah sekitar 24,25 persen dari total luas daratan Kota Tidore Kepulauan sebesar 1550,37 kilometer persegi.

Wilayah ini merupakan kawasan pembangunan Kota Baru, Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Khusus Oba Utara memiliki jumlah penduduk 19.552 jiwa pada tahun 2020.

Perkembangan penduduk Oba Utara. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)
Perkembangan penduduk Oba Utara. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan ini dipicu dari masifnya pembangunan infrastruktur perkantoran, baik instansi vertikal maupun horizontal di Sofifi dan Galala.

Sementara itu, lokasi sampah terbakar, di TPS Oba Utara yang berada di Kelurahan Guraping ini berukuran 71×40 meter persegi. TPS ini berjarak sekitar 2 kilometer dari pemukiman warga. TPS ini mulai aktif manampung sampah produksi masyarakat sejak Agustus 2021.

Rusdi Jamaludin, Lurah Guraping menceritakan, awal mula penempatan TPS di lokasi itu untuk mengantisipasi membludaknya jumlah sampah menjelang STQN pada Oktober 2021 di Sofifi.

Selain itu, pada bulan Juni 2021, lanjut Rusdi, masyarakat melakukan unjuk rasa di depan Kantor DPRD Malut akibat penumpukan sampah di Pasar Galala. Menurutnya, hambatan pengelolaan sampah ini karena Tempat Pemrosesan Akhir atau TPA Regional di Desa Tabadamai, Jailolo Selatan, Halmahera Barat belum beroperasi. Padahal pembangunan TPA oleh Balai Sarana Prasarana Malut ini sudah menguras alokasi dana APBN miliaran rupiah.

“Untuk mengantisipasi sampah menjelang STQ kemarin, maka Pemkot Tidore Kepulauan mengambil inisiatif tersebut,” kata Rusdi, kepada kieraha.com, pada Februari 2022.

Ia mengatakan, penempatan lokasi TPS Oba Utara lahir dari keputusan rapat, bersama kepala desa dan lurah se Kecamatan, DLH, Dinas PUPR dan Perkim Kota Tidore Kepulauan pada Juli 2021 lalu.

Dalam rapat tersebut, kata Rusdi, dirinya sempat menegaskan agar penetapan lokasi TPS dapat ditinjau dari aspek lingkungan. Karena penampungan sampah sementara sangat dekat dengan perkebunan warga dan Hutan Mangrove Guraping.

“Tapi dari pihak DLH bilang tidak masalah,” ujarnya.

Ia mengaku, dalam rapat tersebut, pihak DLH tidak merinci dengan jelas perencanaan pengelolaan sampah di TPS, serta tidak menunjukkan dokumen kajian lingkungan.

Muhammad Sjarif, Kepala DLH Tidore mengakui, TPS Oba Utara, sejak ditetapkan dan beroperasi hingga saat ini, belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Ia beralasan, penetapan lokasi TPS ini, saat itu pimpinan dinasnya masih digawangi oleh pejabat yang lama.

Meski begitu, lanjut Sjarif, TPS ini merupakan lokasi yang disiapkan untuk pembangunan TPS 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Jenis TPS ini difungsikan untuk pengurangan, penggunaan kembali sampah dan mendaur ulang sampah non-organik, sebelum dibuang ke TPA.

Produksi Sampah 15 Ton per Hari

Sampah di Ibu Kota Maluku Utara. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)
Sampah di Ibu Kota Maluku Utara. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Kepala UPTD Sampah Oba Utara DLH Tidore Kepulauan Ernawati M Taher menyatakan, penumpukan sampah di TPS Oba Utara terjadi karena tidak diangkut ke TPA. Penyebab sampah tidak dapat diangkut, menurutnya, karena medan jalan masuk menuju lokasi TPA yang dibangun Balai Sarana Prasarana Malut di Tabadamai itu sulit untuk dilewati.

“(Juga) dalam melayani produksi sampah masyarakat yang paling sedikit 15 ton per hari ini terjadi kesenjangan dengan perlengkapan yang ada. Hingga saat ini, UPTD baru dilengkapi 1 unit bak sampah, 1 mobil angkut, 1 eksavator dan 6 orang petugas,” katanya.

Ernawati menyatakan, terkait dengan adanya pembakaran sampah di lokasi TPA itu bukan dilakukan oleh petugasnya. Sebab mereka yang bertugas hanya mengangkut sampah dari bak penampungan yang telah tersedia lalu dibuang ke TPS.

“Sampah yang diangkut tidak lagi dipilah, petugas langsung muat,” katanya.

Ernawati mengatakan peningkatan jumlah produksi sampah harian di wilayah tersebut, terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun.

“Makanya harus ada solusi mengurangi timbunan sampah di TPS dengan mengaktifkan TPA Regional di Tabadamai. Jika tidak segera dilakukan, maka dalam waktu 3 sampai 5 tahun kedepan, TPS ini tidak mampu menampung jumlah sampah yang terus meningkat,” lanjutnya.

Cemari Sungai dan Pantai

Sampah plastik di Pelabuhan Speedboat Sofifi. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com
Sampah plastik di Pelabuhan Speedboat Sofifi. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com

Penelusuran kieraha.com pada Oktober 2021, menemukan ragam jenis sampah berserakan di lokasi TPS ini. Jenis sampah terdiri dari plastik, kayu, karung, seng, popok bayi dan ban bekas, terhempas hingga ke Daerah Aliran Sungai Oba, Kecamatan Oba Utara.

Penelusuran selanjutnya dilakukan pada 21 Februari 2022 setelah banjir melanda Oba di muara Kali Oba, terlihat ragam jenis sampah meluber hingga ke pantai setempat. Pemandangan ini juga dijumpai di Pelabuhan Speedboat Sofifi dan sekitar Pelabuhan Ferry Galala.

Ernawati menambahkan, salah satu masalah yang dihadapi adalah minimnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Bahkan, beberapa kali petugasnya menemukan sampah berserakan di Jalan 40 Sofifi, tak jauh dari bak sampah yang disiapkan.

“Masih banyak lagi yang buang di kali (sungai) dan pinggir (tepi) pantai,” lanjut dia.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, produksi sampah di Indonesia mencapai 67,8 juta ton, dominannya berasal dari produksi rumah tangga sebesar 37,3 persen pada tahun 2020. Dari jumlah ini, pemerintah telah melakukan pengelolaan sebanyak 55,87 persen pada 2021 dan sisanya 44,13 persen belum terkelola.

Data Bank Dunia juga mencatat, kota-kota yang terletak di pesisir Indonesia dengan populasi 187,2 juta jiwa telah menghasilkan 3,22 juta ton sampah yang tak terkelola dengan baik pada 2010. Diperkirakan, sekitar 0,48 – 1,28 juta ton metrik sampah plastik bocor ke laut setiap tahunnya. Hingga 2018, tercatat sekitar 150 juta ton plastik di lautan dunia.

“Jumlah ini akan meningkat sebesar 250 juta lagi jika tren urbanisasi, produksi dan konsumsi terus berlanjut,” tulis laporan berjudul Hot Spot Sampah Laut Indonesia, yang terbit pada April 2018.

Laporan ini, juga menyebutkan, Indonesia berkontribusi terhadap 50 persen sampah lautan di dunia bersama China, Vietnam, Filipina dan Thailand. Sehingga, apabila 75 persen kebocoran sampah dari daratan empat negara ini dapat ditekan, maka akan mengurangi aliran sampah ke lautan secara global sebesar 45 persen.

Ancaman Dioksin dan Mikroplastik

Penumpukan sampah yang dekat dengan Hutan Mangrove Guraping. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)
Penumpukan sampah yang dekat dengan Hutan Mangrove Guraping. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Sejumlah studi ilmiah menyebutkan, pengurangan volume sampah dengan cara dibakar dapat menciptakan beberapa zat kimia berbahaya, seperti karbondioksida, metana, dan dioksin. Selanjutnya apabila sampah tersebut, khususnya plastik, jebol ke laut akan terurai menjadi mikroplastik yang membahayakan ekosistem perairan laut dan juga manusia.

Hal ini terungkap dalam riset ilmiah yang dilakukan oleh Sumingkrat, Staf Peneliti Balai Lit Pupuk dan Petrokimia Balai Besar Industri Kimia, berjudul Terbentuknya Dioksin Akibat Reaksi Kimia Pada Proses Pembakaran dan Dampaknya Bagi Manusia, pada Juni 2002.

Dalam riset itu, Sumingkrat menjelaskan, dioksin merupakan senyawa kimia toksit yang bersifat tidak berbau, tidak berwarna, sukar larut dalam air, tidak mudah terurai secara fisik-kimia maupun biologis, serta hanya akan terdekomposisi dalam suhu yang cukup tinggi.

“Akibatnya apabila senyawa ini berada di lingkungan terutama badan air akan sulit dihilangkan. Karena akan bersifat stabil dan persisten,” tulis Sumingkrat.

Menurutnya, senyawa yang mempunyai daya racun lebih dari 20.000 kali dari kalsium sianida ini berasal dari pembakaran sampah perkotaan, limbah berbahaya, limbah medis, krematorium, pembakaran kotoran, ban, biogas dan pembakaran lumpur hasil pengolahan limbah cair industri kimia. Sehingga dalam setiap pembakaran, ia menganjurkan agar dapat memastikan bahwa limbah tidak mengandung klor dan temperatur suhu bakar berada di kisaran 800 – 6000 derajat celsius.

“Karena apabila temperatur rendah antara 300 – 800 derajat celsius akan menghasilkan dioksin,” jelasnya.

Sumingkrat menambahkan, keterpaparan manusia dengan dioksin dapat melalui pernapasan, kontak kulit, makanan dan minuman. Apabila terkontaminasi, bisa menjadi pemicu penyakit reproduksi, ISPA, kanker hingga berkurangnya sistem kekebalan tubuh.

“Berpotensi juga menimbulkan kanker lunak dan jaringan ikat paru-paru, diabetes dan hiperpigmentasi,” tambahnya.

Hasil riset dari International Pollutants Elimination Network atau IPEN bersama Nexus3, Arnika Association dan ECOTON melaporkan, kontribusi dari pembakaran terbuka terhadap pelepasan furans dan dioksin di Indonesia pada 2013 sebesar 5547,2 g TEQ dari total 9881 g TEQ.

Laporan yang terbit pada tahun 2019 itu, juga menyebutkan, keterpaparan dioksin terhadap tubuh manusia akan menyebabkan penyakit seperti kardiovaskular, diabetes, kanker, porfiria, endometriosis, menopause dini, perubahan hormon testosteron dan tiroid.

Hasil penelitian lainnya juga menemukan kontaminasi mikroplastik yang terdapat di dalam darah manusia. Ini terungkap melalui riset yang dilakukan oleh Heather A Leslie bersama Martiv J M van Velzen, Sicco H Brandsma, A Dick Vethaak, Juan J Garcia-Vallejo dan Marja H Lamoree berjudul Discovery and quantification of plastic particle pollution in human blood pada 2022.

Para ilmuwan Amsterdam, Belanda, ini mengambil sampel darah dari 22 sukarelawan dan menemukan 77 persen diantaranya mengandung partikel plastik dengan ukuran yang bevariasi, antara 700 – 500.000 nanometer. Penelitian itu mengemukakan, setengah dari sampel mengandung plastik Polyethylene terephthalate atau PET yang biasa dipakai dalam botol minuman.

Penelitian yang terbit dalan jurnal Environmental International ini juga menyebutkan, sepertiga sampel mengandung polistrena yang dipakai untuk mengemas makanan dan seperempatnya mengandung polietilen yang berasal dari kantong plastik.

Zulkifli Zam Zam, Peneliti Lingkungan dari Universitas Khairun Ternate menambahkan, keberadaan plastik di laut akan berubah secara kimiawi membentuk mikroplastik.

Ia juga menyebutkan, ada riset yang telah menemukan kandungan mikroplastik dalam ikan di perairan laut Ternate.

Letak geografis Pulau Tidore, Pulau Ternate dan Sofifi yang saling berhadapan, membuat potensi pencemaran yang telah terjadi di Ternate secara otomatis akan terjadi juga di Sofifi. Hal ini, sambung Zulkifli, dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan pergerakan arus.

“Ternate, Tidore, dan Sofifi berbentuk teluk, maka apa yang terjadi di Ternate otomatis terjadi juga di Sofifi,” jelas Zulkifli, kepada kieraha.com, Selasa, 26 April 2022.

BACA JUGA Sampah Menggunung hingga Terumbu Karang Rusak

Dosen Kimia Lingkungan itu menyatakan, keberadaan plastik di lautan bermula dari perilaku manusia. Sebagai daerah kepulauan, katanya, laut Maluku Utara menampung beban pencemaran yang sangat besar dari aktivitas manusia.

Kebocoran sampah ke lautan sangat ditentukan dari pengelolaan sampah darat. Kebocoran ini bisa terjadi jika pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah kurang maksimal. Sehingga wajar, kata Zulkifli, ada banyak sampah berasal dari ketinggian nyemplung ke laut.

“Beberapa kali saya membawa mahasiswa untuk membersihkan sampah di pesisir Pantai Cobo dan Tahua di Tidore, menemukan banyak sampah plastik,” tambahnya.

Berdasarkan data riset yang ada, Akademisi Unkhair itu menyarankan, agar pemerintah bisa memberikan perhatian serius dalam mengurus problem pencemaran sampah terhadap lingkungan. Sebab akan berdampak buruk bagi kesehatan.

“Kontaminasi manusia dengan mikroplastik ini bisa mengancam sistem percernaan dan metabolisme tubuh manusia. Apalagi pada anak-anak, akan mengalami gangguan tumbuh kembang otak dan sistem metabolisme tubuh,” ujar Zulkifli.

Menanggapi adanya pembakaran terbuka, Zulkifli menyatakan, langkah ini masih efektif untuk mengurangi volume tumpukan sampah. Namun, di sisi lain harus disesuaikan dengan standar yang ditetapkan supaya pembakaran sampah yang ada tidak menciptakan dioksin.

Selain pembakaran menggunakan insenerator yang sudah direkomendasikan, Zulkifli menyarankan, agar keberadaan sampah medis sebagai limbah B3 di lingkungan juga perlu mendapat perhatian serius. Apalagi sampai sejauh ini, katanya, pengolahannya belum jelas.

“Karena ujung-ujungnya juga partikel berbahaya ini akan kembali ke tubuh manusia melalui rantai makanan,” lanjutnya.

Belum Ada Sosialisasi Pemerintah

FGD FABA di Jakarta yang dihadiri Wali Kota Tidore Ali Ibrahim. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)
FGD FABA di Jakarta yang dihadiri Wali Kota Tidore Ali Ibrahim. (Apriyanto Latukau/Kieraha.com)

Nurvani Sehat, warga Garojou, Oba Utara mengaku, seumur hidupnya belum mendengar sosialiasi dari pemerintah terkait ancaman pembakaran sampah terhadap kesehatan.

Perempuan 19 tahun itu mengatakan, selain itu juga minimnya fasilitas pengelolaan sampah di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi ini membuat dirinya dan warga sekitar melakukan pembakaran sampah agar tidak bau dan menumpuk.

Hal senada dikatakan Kalsung Ahmad, warga Kelurahan Sofifi, yang belum mengetahui potensi penyakit yang akan diderita jika terpapar dengan hasil reaksi zat kimia dari proses pembakaran sampah secara terbuka.

Menurut perempuan 57 tahun itu, proses pembakaran sampah secara terbuka sering dilakukannya untuk mengurangi tumpukan sampah di rumah. Terkait belum adanya sosialisasi dari pemerintah, ia menambahkan, agar pemerintah dapat menyeriusi sistem penanganan sampah ini.

BACA JUGA Cara Warga Kalaodi Tidore Menjaga Pangan dan Hutan

Menanggapi hal tersebut, Kepala DLH Muhammad Sjarif membenarkan, sejauh ini agenda sosialisasi yang dilakukan oleh DLH belum menyasar ke seluruh wilayah administratif di Tidore Kepulauan.

Ia mengatakan, seperti wilayah Tidore di Oba, Oba Tengah, Utara hingga Oba Selatan yang berada di Pulau Halmahera itu belum pernah dilakukan sosialisasi tentang bahaya dan cara penanganan sampah rumah tangga.

“Ini salah satu target yang belum terlaksana,” tambahnya.

Editor: Hairil Hiar

Ikuti berita tv kieraha di Google News