Rasa khawatir tiba-tiba mendera. Saat memasuki hotel, di Kelurahan Kampung Pisang, Ternate Tengah, Ternate. Penyebabnya adalah gunung berapi aktif Gamalama berjarak dekat dengan hotel tempatnya menginap.
Rasa was-was Qodriansyah Agam Sofyan ini pun semakin berkecamuk saat berada di dalam kamar hotel, tidak menemukan informasi kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar itu tidak menemukan informasi kesiapsiagaan sejak tiba di Terminal Bandara Sultan Babullah, Kelurahan Akehuda, Ternate Utara pada Senin, 24 Desember 2018.
“Saat malam, saya tidak bisa tidur. Saya tidak nyaman karena was-was dengan kondisi gunung api Gamalama,” kata Agam begitu ia disapa. “Saya berpikir kalau bencana terjadi, mau lari kemana.”
Ternate adalah salah satu kota di Maluku Utara, bagian Timur Indonesia. Luasan kota berbentuk bulat kerucut itu hanya 5.795 km dan didominasi oleh laut. Sementara luas daratan 162 km. Sisanya laut yang mencakup 5.633 km dari luas pulau itu.
Secara administrasi, Kota Ternate terdiri dari 7 Kecamatan dan 77 Kelurahan. Sensus penduduk 2015 menyebutkan, populasinya 212.997 orang dengan kepadatan rata-rata 1.315 orang per km. Orang dapat bermobil mengelilingi pulau itu sekitar 2 jam.
Kepala Pos Pemantau Gunung Api Gamalama, Darno Lamane menyatakan, Ternate adalah daerah di atas gunung api. Ini dapat dilihat berdasarkan ketinggian Gunung Gamalama 1.715 meter dari permukaan laut dan 3.600 meter dari dasar laut.
“Kalau 3.600 meter ini dikurangi dengan 1.715 meter maka masih ada (1.885 meter). Ini artinya kawasan (pusat kota dan permukiman) di Pulau Ternate ini masih berada di tengah-tengah gunung api Gamalama,” ujar Darno, saat FGD Kesiapsiagaan Hadapi Bencana 2019, di Kantor Camat Ternate Utara, Rabu (30/1/2019).
Darno mengatakan bencana gempabumi di Pulau Ternate pasti terjadi. Baik dalam skala kecil hingga skala besar yang merusak. Darno mencemaskan, kemungkinan terjadi letusan samping Gunung Gamalama seperti yang pernah ada pada 1775.
Peristiwa ini telah menenggelamkan sebuah kampung di Ternate yang saat ini diberinama Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil, di Kecamatan Ternate Barat.
“Juga proses kejadian Batu Angus (di Kelurahan Tarau dan Kulaba),” kata Darno.
Ancaman akan bahaya gempa dan letusan Gunung Gamalama ini, tersebar di seluruh Kecamatan di Pulau Ternate. Seketika terjadi gempa atau letusan dalam skala besar maka akan menimbulkan kerusakan dan ribuan korban jiwa di pulau tersebut.
Darno menceritakan, pertama kali terjadi letusan Gunung Gamalama tercatat pada 1538. Sampai sekarang (30 Januari 2019) sudah terjadi sekitar 76 kali letusan.
“Letusan ini dalam skala kecil dan besar. Terjadinya letusan dalam skala besar bisa dan tidak terjadi, itu kemungkinan besar terjadi, karena ada sejarahnya,” katanya.
“Kalau kita melihat gempa tektonik, bahwa sebelum terjadinya Danau Tolire pada 1775, sebelum letusan, di kawah Gunung Gamalama itu sedang terjadi gempa tektonik yang cukup besar. Ini yang memicu salah satu kampung amblas.”
“Jadi sebelum terjadi Danau Tolire itu ada gempa tektonik yang cukup besar yang bikin amblas itu (kampung), sehingga terjadi suatu letusan gunung api. Itu sejarahnya. Dan sejarah itu kemungkinan bisa terjadi lagi. Kalau kita mundur lagi, kita bisa melihat gunung api di Banda (Maluku). Di sana pernah terjadi letusan besar yang tidak terjadi di atas puncak gunung tetapi terjadi di belakang rumah warga.”
“Itu yang saya bilang, letusan gunung api itu adalah penerobosan magma dari dalam menuju permukaan. Apabila pipa kepundan (kawah gunung api) yang dilalui itu keras maka dia akan mencari titik-titik lemah sehingga terjadi letusan samping,” jelasnya.
“Itu yang disebut letusan samping. Jadi tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Apalagi di Maluku Utara adalah daerah rawan gempa gunung api,” lanjut Darno.
Darno menegaskan, pemerintah kota Ternate maupun warga masyarakat setempat harus mengetahui keberadaannya saat ini berada di tengah-tengah gunung api.
“Jadi kita harus tahu dulu, kita ini tinggal di atas gunung api. Sehingga kita harus siap siaga setiap saat. Jangan kalian menganggap letusannya akan terjadi di atas (puncak Gunung Gamalama), padahal kita tidak tahu kalau di tempat yang kita tinggal ini berada di tengah-tengah gunung api Gamalama,” kata Darno menambahkan.
Pemicu Dapur Gamalama
Darno menyatakan, dilihat dari sejarah letusan Gamalama, bahwa gempa tektonik yang terjadi seperti meletusnya Gunung Gamkonora dan Ibu di Halmahera Barat, dan gunung api di Maluku–Sulawesi juga mempengaruhi aktivitas Gamalama.
“Jadi kalau kita lihat bahwa gunung api itu mempunyai magma, yang apabila ada gempa yang sangat besar, bisa saja dia terpengaruh dengan goyangannya. Misalnya dia (gunung api) sementara diam, dan dipanasin terus menerus, dan ketika terjadi gempa yang cukup besar maka akan menghasilkan getaran dari dalam magma.”
“Analoginya seperti kita masak bubur, kalau apinya dikecilkan pasti buburnya masak dengan pelan-pelan. Tapi seketika apinya diperbesar maka penutupnya juga bisa lepas dan keluar dari belanga. Itu karena ada pengaruh yang besar dari luar.”
“Sehingga kemungkinan besar juga bebatuan besar yang menghalanginya itu akan membuat dia mencari wilayah yang kurang padat untuk keluar dari situ,” katanya.
“Karena ada juga suatu gunung api yang tahan terhadap gempa dari pada goyangan gempa tektonik itu sendiri. Jadi kalau kita melihat Gamalama, dia sangat rentan sekali dengan aktivitas tektonik di sekitarnya. Karena begitu terjadi gempa tektonik yang cukup besar itu aftershock (gempa-gempa susulan) pasti sangat banyak.”
Gempa susulan atau aftershock adalah gempa bumi yang mengekor gempa utama dalam sebuah rangkaian urutan kejadian. Gempa susulan dapat berlanjut dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahun sampai intensitasnya menurun.
Ketika gempa bumi terjadi, sebagian energi yang dilepaskan dari patahan lempeng batuan turut berpindah ke bebatuan lain di dekatnya sehingga menambah bobot tekanan dalam bentuk dorongan, tarikan atau putaran. “(Yang) kemudian disamping terjadinya gempa susulan, maka di situ munculnya gempa-gempa vulkanik. Artinya aktifnya Gamalama ini ada pengaruh dari aktivitas lain di luarnya,” sambung Darno.
Kepala Stasiun Geofisika Ternate Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Maluku, Kustoro Hariatmoko menambahkan, sumber gempa di Ternate berasal dari laut Maluku. Dia menyatakan, potensi dan ancaman letusan samping Gunung Gamalama seperti yang disampaikan ahli dan pengamat gunung api Gamalama itu perlu diwaspadai.
“Sebab kalau ada gempa-gempa kecil atau gempa yang cukup besar terjadi maka bisa memicu gempa-gempa kecil di dapur Gunung Gamalama,” tambah Kustoro.
Menurut Kustoro, BMKG Maluku akan bersama-sama dengan Ahli Geologi Maluku Utara untuk melakukan riset terkait periodik pengulangan gempa di Malut.
“Apalagi peristiwa gempa yang terjadi di Malut ini rata-rata sudah berlangsung lama, sehingga perlu ada kajian atau riset tentang periodik pengulangannya,” katanya.
“Kalau di Palu (Sulawesi Tenggara) diperdiksi 30 tahun periodik pengulangannya, nah kita pengen menghitung misalnya kalau di Ternate itu berapa, Halmahera Utara dan Halmahera Barat itu berapa, juga di Kepulauan Sula itu berapa,” ujar Kustoro.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara Dedy Arif mengemukakan, ketakutan dirinya akan letusan Gamalama itu terjadi seperti di Batu Angus dan Danau Tolire.
“Karena prinsipnya magma gunung api itu dia bergerak mobile ke atas. Mau ke mana saja itu sesukanya, karena dia mencari zona yang under–sistemnya di mana, yang tidak stabilnya di mana, di permukaannya situ yang akan muncul,” kata Dedy.
Dedy menyatakan, secara geologi tanah di Pulau Ternate semuanya berpotensi dan terancam letusan samping. Baik Utara, Tengah, Selatan, dan Barat. “Semua punya potensi. Karena tingkat kekompakan Gamalama ini belum pada tingkat kompaksi.”
Kompaksi adalah beban akumulasi sedimen atau material lain menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan air yang dikandung dalam ruang pori-pori antar butir terdesak keluar. Sementasi, dengan keluarnya air dari ruang itu, material yang terlarut di dalamnya mengendap dan merekat (menyemen).
“Yang secara geologi menganggap bahwa Gamalama ini masih kuarter. Artinya masih sangat mudah. Masih mudah, sehingga masih butuh olahan secara geologi yang lama baru dia bisa padat. Analoginya seperti orang campur semen. Butuh goyangan dan olahan yang lama baru bisa padat. Dan untuk Gamalama tergantung aktivitas fenomena geologinya. Tektoniknya harus bermain terus,” sambung Dedy.
Kepala Laboratorium Geologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate itu menyatakan, Galamama termasuk gunung api yang paling aktif di Indonesia. Sehingga, bagi amatan Geolog Malut itu, rawan dan berbahaya.
Kesadaran Hadapi Bencana
Dedy mengharapkan, dengan adanya Focus Group Discussion (FGD) “Belajar dari Bencana 2018 dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana 2019” bisa menjadi peringatan bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Kota Ternate.
“BPBD Ternate tidak bisa lagi dengan proyek asal jadi, seperti bikin selokan dan jembatan. Tapi Ternate ini butuh teknologi apa untuk amankan daerah ini. Karena kalau kita bicara aman maka kita harus bicara kesiapan teknologi,” lanjut Dedy.
“Apalagi sebagian besar masyarakat belum sadar akan ancaman mereka ini. Belum tahu dan belum sadar ini bukan berarti seluruhnya, tetapi baru sebagian kecil yang tersentuh kesadarannya. Belum sadar itu sekitar 50 persen atau lebih,” katanya.
Dedy meminta, kesadaran menghadapi bencana Gamalama harus juga sampai pada kelompok rentan. “Misalnya murid-murid di Sekolah Dasar (SD) harus tahu berbuat apa ketika Gunung Gamalama meletus. Karena jangan sampai guru-gurunya sendiri juga belum tahu atau belum memahami kesiapsiagaan ini,” sambung Dedy.
Meski begitu, kata Dedy, di lingkup pemkot Ternate melalui BPBD setempat sudah membuat Kelurahan Tangguh Bencana, tapi perlu dievaluasi lebih objektif.
“Jangan melihat hanya pada standar-standar subyektifitas karena BPBD sudah mengumpulkan banyak orang terus itu dianggap suatu keberhasilan. Tapi standar keberhasilan itu, apakah di setiap rumah penduduk, misalnya ada 5 Kepala Keluarga atau lima keluarga, itu 3 di antaranya sudah siap dengan evakuasi mandiri atau belum ketika bencana. Tapi kalau satu orang saja tidak paham itu kan repot.”
Dedy menyarankan, pemerintah kota Ternate perlu melakukan simulasi siaga bencana massal. Sebelum simulasi, pemkot harus kaji pelaksanaan teknisnya.
“Layak atau tidak massa yang dilibatkan. Yang menjadi masalahnya kalau dilakukan simulasi terus jalur evakuasinya harus dirubah itu yang repot, anggaran lagi. (Rambu-rambu) jalur evakuasi yang sudah dipasang akan dirubah lagi. Jadi simulasi itu harus dilakukan secara massal. Misalnya, di sekolah SD, setiap 3 bulan sekali bikin simulasi besar-besaran. Bikin saja titik komandonya di mana, misalnya di lapangan Salero sampai Masjid Muttaqin, dan beberapa SD di sekitar juga dilibatkan,” jelasnya.
“Setiap tiga bulan dibikin, enam tahun dia sekolah di SD itu pasti matang soal mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana,” ujar Dedy melanjutkan.
“Juga mengenai kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, ini diperlukan kerjasama dari semua stakeholder, termasuk masyarakat yang berdomilisi di daerah rawan bencana. Adakah data tentang berapa jumlah bencana yang terjadi di sepanjang tahun. Kejadian bencana ini datangnya dari mana saja, titik atau pusat bencana ini ada di mana, dan faktor pendorong dan pemicunya apa saja,” kata Dedy lagi.
“Ini perlu diketahui karena memang Maluku Utara dan khususnya Kota Ternate adalah daerah potensi bencana. Sehingga pemerintah maupun stakeholder terkait sudah harus memetakan wilayah mana saja yang potensi rawan, rawan, dan paling rawan. Informasi seperti ini harus dibuka biar diketahui dan bisa dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan pembangunan dan pengetahuan masyarakat.”
Darno Lamane juga mengharapkan, kepada seluruh warga masyarakat maupun pemerintah kota dan instansi terkait harus siap dan selalu mewaspadai ancaman letusan Gamalama. “Saya minta soal kesiapsiagaan bencana ini tidak harus ke Utara saja, tetapi ke seluruh wilayah kota Ternate. Karena di Utara ini yang BPBD fokus adalah ancaman langsung, seperti awan panas dan lahar dingin,” tutup Darno.