Hutan Mangrove yang Bermanfaat Itu Terancam

Avatar photo
Perahu nelayan Pulau Widi. (Kieraha.com/Hairil Hiar)

Ancaman masih terus terjadi pada hutan mangrove di seluruh Indonesia karena peralihan fungsi kawasan hutan bakau oleh berbagai pihak. Seperti reklamasi, sentra perikanan budidaya, bahkan kayu untuk bahan bakar bagi masyarakat pesisir. Semua pemanfaatan yang tidak tepat itu bakal menghancurkan ekosistem mangrove.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno menyebut kawasan hutan mangrove adalah salah satu ekosistem yang paling produktif, yang juga sekaligus paling terancam di dunia. Dia menyebutkan, seperti terumbu karang (coral reef), hutan mangrove berperan sebagai daerah perlindungan dan perkembangan bagi biota laut yang beragam; ikan, kepiting, udang, moluska. Mangrove juga menjadi habitat favorit untuk kawanan monyet, burung, dan reptil. Tak hanya itu, mangrove juga ternyata menyediakan layanan penting (critical service) untuk manusia.

“Hal ini meliputi layanan terhadap perikanan komersial maupun terhadap masyarakat sekitar yang mengandalkan penghasilan dan sumber makanannya dari perikanan daerah pesisir serta sebagai daerah pariwisata, konservasi, pendidikan dan penelitian,” kata Wiratno saat peringatan hari Mangrove se dunia di Jakarta, Kamis, 26 Juli 2018.

Menurutnya, hutan mangrove Indonesia memegang peranan penting untuk dunia, dari total 15,2 juta hektare hutan mangrove dunia yang tersebar di 124 negara tropis dan sub tropis, karena 21 persen di antaranya berada di Indonesia. Sehingga hutan mangrove Indonesia sangat layak untuk dikelola sebagai kawasan lindung, termasuk dengan menggunakan skema ekosistem esensial.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

Guru Besar Ekologi dan Silvikultur Mangrove dari Institut Pertanian Bogor Cecep Kusmana menambahkan, kerusakan hutan mangrove yang mencapai hingga 50 persen di dunia, sebagian besar terjadi di Indonesia. Hal itu, menegaskan bahwa pengelolaan mangrove secara terpadu mutlak harus dilakukan untuk menjaga kelestarian di masa mendatang.

“Juga dengan konsep MERA (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance) yang bersifat kemitraan, itu sangat sesuai untuk memperbaiki kondisi ini,” ujar dia.

Dietriech G Bengen, Pakar Mangrove dari IPB menyatakan, bahwa pengelolaan mangrove secara terpadu tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus menjalin kerja sama yang solid antara lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, akademisi untuk riset dan data, serta swasta. Selain itu, harus ada koordinasi antar instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang didukung oleh pakar dan pihak lain yang berkompeten.

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Jatna Supriatna mengatakan penyadartahuan tentang tanaman mengrove dan ekosistem harus terus ditingkatkan kepada semua generasi yang ada di Indonesia. Hal itu, sebagai bentuk edukasi dalam pengelolaan mangrove yang lebih efektif dan sekaligus menjadi bagian dari implementasi strategi mitigasi dan adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim (climate change).

Karbon Biru

Di sisi lain, Peneliti Senior Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso mengemukakan, pemanfaatan hutan bakau, adalah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaannya bisa menyerap emisi yang bertebaran di udara dengan sangat banyak.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate
Mangrove Ternate. (Kieraha.com/Hairil Hiar)

Menurut Daniel, kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis. Karena itu, mangrove keberadaannya bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia.

“Potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi hingga USD10 miliar. Itu jumlah yang sangat besar,” ujar dosen Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB) disela-sela acara Blue Carbon Summit 2018, di Jakarta, Selasa hingga Rabu (18/7/2018) lalu.

Besarnya potensi karbon biru ini, kata Daniel, karena luasnya kawasan mangrove di Indonesia yang mencapai 2,9 juta hektare. Luasan tersebut sama dengan luas negara Belgia di Eropa atau seperempat dari total luas mangrove yang ada di seluruh dunia.

Daniel memaparkan, dalam satu hektare hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap Daniel yang juga anggota penyusun laporan panel antar pemerintah untuk perubahan iklim PBB.

Karena begitu besarnya potensi penyimpanan karbon, Daniel mengingatkan kepada semua orang untuk selalu menjaga hutan bakau di Tanah Air. Pasalnya, jika sampai terjadi deforestasi mangrove, maka akan ada karbon yang dilepaskan ke udara.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

“Itu artinya, ada emisi yang kembali udara. Dan, emisi tahunan dari kerusakan hutan mangrove Indonesia mencapai 190 juta setara karbon. Itu jumlah yang sama dengan emisi jika setiap mobil di Indonesia mengitari bumi hingga dua kali,” ujar dia.

Daniel menyatakan, kerusakan mangrove di Indonesia ikut menyumbangkan kerusakan mangrove di dunia. Karena faktanya, emisi global tahunan dari rusaknya ekosistem pesisir berasal dari rusaknya hutan mangrove Indonesia.

Daniel menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya kerusakan mangrove di Indonesia, adalah karena semakin masifnya pengembangan sektor perikanan budidaya di seluruh pulau. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut, dalam tiga dekade terakhir, 40 persen hutan mangrove Indonesia rusak, karena budidaya perikanan.

“Setiap tahun, 52 ribu hutan mangrove Indonesia hilang dan itu setara dengan areas seluas kota New York di AS dalam 18 bulan,” jelas dia.

Sementara itu, Conservation International Indonesia menyebut, saat ini Indonesia memiliki hutan mangrove seluas total 3,1 juta hektare atau 22,6 persen dari mangrove di dunia. Dengan luasan seperti itu, stok karbon yang ada di hutan mangrove Indonesia total mencapai 3,14 myu-g C atau setara 3,14 miliar ton.

Dengan potensi yang besar tersebut, setiap tahunnya Indonesia masih mengalami deforestasi mangrove dengan luasan rerata mencapai 52 ribu hektare. Kondisi tersebut, bisa mengancam keberadaan hutan mangrove secara keseluruhan.

Source: Mongabay Indonesia