Hasil Laut Dikorbankan Demi Reklamasi

Avatar photo
Proses pemindahan pasir timbunan CPI
Proses pemindahan pasir timbunan CPI

Nurlinda Taco was-was. Perempuan yang getol menolak aktivitas tambang pasir di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan ini mendapat banyak pesan ancaman. Tidak main-main, sinyal ancaman bahkan datang dari pejabat setempat yang resah dengan pergerakan Nurlinda dan kawan-kawan. Mereka adalah pihak yang selama ini diam namun membuka jalan terbuka bagi penambang pasir.

Nurlinda Taco adalah Direktur Yayasan FIK KSM (Forum Informasi Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat) yang meminta pemerintah menghentikan aktivitas penambangan pasir laut di perairan Kecamatan Galesong, Galesong Utara, Galesong Selatan dan Sanrobone. Pasir-pasir itu nantinya akan digunakan untuk memuluskan proyek reklamasi di laut Makassar.

Ketika dihubungi Jumat 26 Mei 2017, Nurlinda bersama Gassing Rapi, Ketua Umum Forum Masyarakat Pesisir Nelayan Galesong Utara sedang berada di Jakarta. Mereka membawa surat penolakan penambangan pasir laut ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Ignasius Jonan.

BACA JUGA

Riwayat Matinya Mangrove Ternate

Air Mata di Kampung Gane Halmahera

Berguru di Ladang Padi yang Terbakar

“Pernah ada yang menelpon, memerintahkan untuk mundur dan meminta cukup mengurusi anak saja, karena percuma, mengurus tambang tidak akan berhasil,” katanya sembari menceritakan pesan singkat yang menyuruhnya hati-hati saat di jalan dan saat minum kopi.

Nurlinda adalah satu diantara banyak warga di empat kecamatan di Kabupaten Takalar yang terang-terangan menolak tambang pasir. Bagi mereka, laut adalah sumber kehidupan, jika airnya sudah rusak dengan aktivitas penambangan maka kehidupan sosial ekonomi juga akan tergerus.

Reklamasi Makassar meski statusnya masih berperkara hukum, namun tetap dilanjutkan. PT Boskalis Internasional Indonesia adalah pemenang tender proyek reklamasi yang dikenal dengan Kawasan Centre Point of Indonesia (CPI) Makassar. Bersama Konsultan Supervisi PT Witteveen Bos Indonesia, proyek ini dapat sokongan dana atas Kerjasama Operasi dari PT Ciputra Tbk dan PT Yasmin Bumi Asri.

Kerjasama yang kemudian hari berperkara dengan hukum, lantaran izin reklamasi yang dikelurakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan digugat oleh Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar.

Rilis hasil eksaminasi putusan PTUN terkait perkara reklamasi CPI oleh Walhi dan Aliansi Selamatkan Pesisir di Makassar, Kamis 18 Mei 2017 (Foto: Ancha Hardiansya)

Mega proyek ini awalnya tidak berencana melibatkan swasta dan disinyalir melanggar UU No. 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup, PP No. 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan, Perpres No. 122 tahun 2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta Permen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2013 pedoman perizinan reklamasi.

Aktivitas penggalian pasir di laut Takalar untuk memenuhi kebutuhan penimbunan 157,23 hektar kawasan CPI. Agar terealisasi dengan baik, pengembang membutuhkan 22.627.480 m3 pasir dan tanah urugan. Material selain di ambil dari laut, juga dari tanah daratan di Kabupaten Gowa dan Takalar.

Sejauh ini, pemerintah setempat telah menyetujui empat perusahaan untuk beroperasi dari tujuh yang mengajukan.

Ketujuh perusahan itu ialah PT. Yasmin Bumi Resources yang lokasi pengerukannya di Galesong Selatan dan Sanrobone, PT Mineratama Prima Abadi di Sanrobone dan Galesong Utara, PT Hamparan Laut Sejahtera di Galesong dan Galesong Selatan, PT Alepu Karya Mandiri, PT Gasing Sulawesi dengan izin operasi di Galesong Utara, PT Lautan Phinisi Resources di Galesong dan Galesong Selatan serta PT Banda Samudra untuk izin konsesi di Galesong Utara dan Tanakeke.

Gesekan-gesekan kecil atas aktivitas tambang ini sudah sering kali terjadi. Bahkan demonstrasi yang dilakukan warga pada Kamis 18 Mei 2017 lalu di Kantor Bupati Takalar adalah buntut atas disanderanya satu kapal pengeruk pasir berbendera Singapura di wilayah Galesong Utara malam sebelumnya. Kapal asing tersebut nyaris dibakar warga yang marah karena beraktifitas tanpa izin.

Abrasi Akan Parah

Selama ini, pesisir laut Takalar sudah mengalami abrasi. Pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya agar abrasi tidak sampai masuk ke rumah warga. Namun realisasinya belum maksimal. Masih terdapat banyak pesisir yang belum memiliki tanggul pemecah ombak. Pun kalau ada jaraknya sudah makin dekat dengan pemukiman.

Meski radius penambangan pasir laut berjarak 2 mil dari lepas pantai, tapi bagi sejumlah kalangan, dampaknya akan terasa bagi warga pesisir. Pakar Oseanografi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Dr Mahatma mengatakan, wilayah pesisir Galesong tidak dilindungi pulau-pulau, juga tidak banyak mangrove.

“Posisi laut Galesong juga tidak landai dan tidak banyak terumbu karang, jika pasirnya dikeruk, kekuatan gelombang air akan besar ketika sampai ke pantai, kondisi ini mempermudah abrasi,” katanya saat diskusi Marine Policy Corner di Makassar beberapa pekan sebelumnya. Diskusi ini diprapakarsai oleh Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Sulawesi Selatan.

Walhi Sulawesi Selatan juga mencatat, dari tujuh perusahaan konsesi yang mengajukan penambangan pasir di laut Galesong, wilayah Galesong Utara yang lokasinya paling besar. Total ada 1064 hektar yang sudah dipetakan, bahkan sebagian lokasinya sudah dikeruk diam-diam, meski baru sekedar penyemprotan. Tiga kecamatan lain, jika ditotal bisa mencapai 8.781,14 hektar.

Masalahnya kemudian, lokasi pengerukan tidak jauh dari Pulau Sandrobengi yang telah ditetapkan sebagai objek wisata Takalar. Pulau kecil ini juga terancam hilang jika penyedotan pasir dilakukan. “Pasir di sekitar lokasi sudah pasti akan ikut bergeser,” kata Aswar Exwar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel.

Pemukiman warga di bibir pantai juga dalam bahaya. Air laut yang datang tanpa penghalang bisa masuk ke pemukiman. Kondisi ini diperparah dengan rusaknya tanggul pemecah ombak, sehingga ketakutan warga pesisir cukup beralasan. Bisa jadi tambang pasir menjadi awal bencana warga pesisir. Apalagi 20 tahun terakhir garis pantai sudah berkurang 15 hingga 20 meter dan kian dekat dengan pemukiman.

Demi Rumah Rp 8 Miliar

Proyek ambisius Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menggandeng PT Ciputra Tbk dan PT Yasmin Bumi Asri ini akan membangun kawasan bisnis terpadu dan ekslusif. Dari 157,23 hektar lahan yang akan direklamasi, pemerintah provinsi hanya akan dapat bagian seluas 50.47 hektar. Sisanya akan jadi milik pengembang.

PT Ciputra Tbk sudah mulai memasarkan property untuk kawasan yang mereka namai Citraland City the Waterfront CBD Losari – Makassar. Harga rumah di kawasan tersebut tidak akan sanggup dibeli oleh nelayan di Takalar. Kisarannya mulai Rp2 miliar hingga Rp8 miliar. Itu belum termasuk apartemen dan tanah yang dijual terpisah.

Promosi yang dilakukan Ciputra sudah massif di Makassar. Balihonya dengan mudah di temui di jalan-jalan ramai dan pusat bisnis. Dari website pemasarannya juga terlihat jelas berbagai aktivitas penjualan yang dilakukan oleh Ciputra selalu ramai dikunjungi. Sayangnya, tanah yang akan mereka pakai akan menyisahkan luka lama bagi nelayan.

Baliho promosi Citraland City the Waterfront CBD Losari – Makassar di Jalan Boulevar Makassar. Beberapa baliho serupa juga terpampang di jalan-jalan protokol di Makassar. (Foto: Ancha Hardiansya)

Riset yang dilakukan Central of Information and Development Studies (CIDES) Indonesia menyebutkan, aktivitas pengerukan pasir laut punya dampak besar bagi ekosistem dan ketahanan pangan.

Dampak bioekologi pengerukan pasir laut berakibat kekeruhan, mematikan ikan hingga mengganggu proses pemijahan ikan dan biota perairan lainnya. Spesies benthic sebagai pemakan sisa organik misal udang putih, rajungan, barong dan kepiting akan ikut menderita akibat kekeruhan air.

Hasil tambak rumput laut juga ikut tergerus karena pasir yang diambil akan mengurangi pertukaran gas air permukaan. Proses ini mempengaruhi fotosintesis oleh mikroalgae hingga akhirnya penguapan berkurang. Padahal produktifitas rumput laut berpengaruh besar pada proses alamiah ini.

Takalar sebagai wilayah pesisir sejak tahun 1987 sudah menjadi salah satu daerah penghasil Gracilaria (rumput laut) terbesar di Sulawesi Selatan. Badan Pusat Statistik mencatat salah satu sektor andalan pertanian Takalar adalah sub sektor perikanan.

Nilai produksi dari sub sektor tersebut selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai produksi rumput laut Takalar tahun 2012 tercatat sebesar 427.834 ton, lalu meningkat jadi 539.948 ton di tahun 2013, pertumbuhan hingga 30 persen terjadi di tahun 2014 dengan total produksi 700.604,9 ton.

Hasil rumput laut di Desa Lagaruda, di Kecamatan Sanrobone, salah satu kecamatan yang perairannya akan dijadikan sebagai tambang pasir laut. (Foto: Dok Pemda Takalar)

Produksi rumput laut ini jauh lebih besar dari jenis sub sektor perikanan lain, baik yang dihasilkan dari laut atau penangkaran di darat. Hasil produksi ikan laut termasuk rajungan dan udang di Takalar hanya mampu memproduksi 4.178,3 ton di tahun 2014, tahun sebelumnya bahkan jauh lebih sedikit dengan produksi 104,10 ton.

Sedangkan perikanan dari darat dengan tambak-tambak yang juga menggunakan air laut, jumlahnya lebih sedikit lagi. Kamaruddin Azis mengatakan, hal ini diakibatkan air laut di Takalar memang sudah sedikit keruh akibat kontur pasir yang padat.

“Pasir di Takalar berjenis pasir besi,” kata Mantan Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Unhas 2010-2013 itu.

Pernyataan ini sejalan dengan hasil tinjauan geologi Triangle Resource Indonesia yang meneliti kandungan mineral logam pasir besi di daerah Takalar. Dari tiga lokasi yang disurvey ditemukan 7.758.166,50 ton konsentrat pasir yang mengandung Fe2O3, TiO dan Fe yang cukup tinggi.

Kandungan logam inilah yang mendorong pelaksana tugas reklamasi Makassar tertarik untuk mengambil pasirnya. Hanya saja tidak memikirkan dampak langsung dan tidak langsungnya bagi lingkungan dan sosial masyarakat di kawasan tersebut. Padahal ada ribuan lebih nelayan dari empat kecamatan itu yang berharap hidup dari hasil laut.

“Dengan kondisi air laut yang demikian, lalu aktivitas penambangan pasir ini tetap dilakukan, dampaknya akan terasa pada budidaya rumput laut, hasil yang selama ini diagun-agunkan oleh pemerintah daerah mungkin akan tinggal kenangan,” kata Kamaruddin yang kebetulan lahir dan besar di Galesong.

Ancha Hardiansya