Bayang-Bayang Oligarki dalam Pilkada 2020 di Maluku Utara

Avatar photo
Salah satu kawasan izin perusahaan pertambangan di Maluku Utara yang terdapat di dekat pesisir dan pulau-pulau wilayah Kabupaten Halmahera Timur. (Hairil Hiar/Kieraha.com)

Sebanyak 270 daerah di Indonesia yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Dari jumlah itu ada delapan kabupaten kota di wilayah Maluku Utara yang menghelat pilkada tersebut.

Delapan kabupaten kota itu adalah Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Barat, Kepulauan Sula, Taliabu, Ternate dan Tidore.

Dari wilayah delapan kabupaten kota penyelenggara Pilkada 2020 di Maluku Utara ini terdapat bisnis ekstraktif skala besar berupa pertambangan, sawit, dan bisnis kayu.

BACA JUGA Mereka yang Terancam di Pulau Ternate

Lalu apakah para calon yang maju dalam pilkada ini berafiliasi dengan bisnis ekstraktif, atau apakah oligarki juga membayangi Pilkada 2020 di Maluku Utara?

Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI Maluku Utara menyebutkan, dalam Pilkada 2020 peran oligarki sangat kuat bermain.

Ia menyatakan, dalam momentum pilkada maupun politik elektoral lainnya pasti terselip berbagai kepentingan oligarki. Entah sebagai penyandang dana atau untuk memuluskan kepentingan mereka.

Sumber daya alam Maluku Utara dalam beberapa tahun terakhir menjadi incaran para investor dalam berinvestasi. Baik di sektor kehutanan, pertambangan, industri logam maupun perkebunan. Ini dilihat dari data PMA di Malut yang naik dua tahun terakhir.

“Harapan kita harusnya lingkungan hidup di Provinsi Maluku Utara bisa lebih baik ke depan. Namun fakta yang terjadi sebaliknya, dari 8 kabupaten kota yang menggelar Pilkada 2020, tidak ada satupun kandidat yang menyinggung persoalan lingkungan di daerahnya,” kata Rusydi, begitu dihubungi, Minggu, 5 Desember 2020.

“Jika ada, hanya sebatas visi misi kandidat, dan implementasinya sama sekali tidak ada.”

Hal ini, menurut Rusydi, bisa dilihat dalam beberapa kali perhelatan pilkada di Maluku Utara. Di Kota Ternate misalnya, reklamasi masih terus berlanjut hingga sekarang. Sementara di kabupaten, hutan dan lahan dialihfungsikan untuk pertambangan dan perkebunan monokultur.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Hendra Kasim menyebutkan, pemilihan kepala daerah di wilayah dengan potensi SDA melimpah seperti Maluku Utara selalu menyisakan cerita pilu.

Pemilihan dengan biaya fantastis, mulai dari lobi partai hingga akomodasi kampanye. Ini bisa dibuktikan dengan riset KPK terkait biaya yang dibutuhkan calon kepala daerah mulai dari Rp 5 miliar hingga Rp 65 miliar.

Direktur Perkumpulan Demokrasi Konstitusional atau PANDECTA ini menyatakan, dengan biaya yang begitu besar sudah tentu hanya dimiliki pengusaha. Akhirnya terjadi ‘dwi fungsi’ baru, yakni penguasa dan pengusaha.

BACA JUGA  Warga Resah Air Kemasan Sekda Halmahera Barat Beredar di Ternate

Menurut riset KPK pada Pilkada 2015 biaya pilkada dibantu pihak ketiga sebesar 82,5 persen, 2017 sebesar 82,6 persen, dan 2018 sebesar 70,3 persen.

“Ini angka yang fantastis. Pada posisi ini oligarki bekerja, kekuasaan digadaikan kepada pengusaha. Dalam berbagai riset akademik menunjukkan praktik ini melahirkan korupsi politik. Korupsi jenis ini lebih berbahaya daripada korupsi konvensional yang kita tau selama ini, karena langsung menyerang jantung kekuasaan dan kebijakan diambil alih,” ujar dia.

Oligarki seperti dilansir Wikipedia adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan dan keluarga.

Bagaimana dengan Maluku Utara?

Salah satu area tambang di Halmahera. (Kieraha.com)

Hendra mengatakan Maluku Utara sebagai daerah dengan potensi SDA yang melimpah, sudah bisa dipastikan kekuatan oligarki bermain di balik proses politik.

“Kita tahu bagaimana para calon bupati dan wali kota di bumi para raja (Maluku Utara) ini butuh biaya tidak sedikit. Di situlah oligarki mengambil alih peran kekuasaan. Pada kondisi seperti ini, pemilihan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, sebab balas budi biaya pemilihan adalah karpet merah bagi oligarki dengan modus investasi,” lanjut Hendra.

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Maluku Utara, Munadi Kilkoda, Pilkada 2020 dan bermainnya oligarki itu sudah pasti. Meski sebenarnya dari aspek kewenangan di sektor pertambangan tidak lagi melekat pada pemerintah di kabupaten kota. Hanya saja, kata Munadi, relasi itu akan tetap dibangun karena ada kepentingan yang lebih besar yang ingin dikuasai para pemilik modal. Apalagi kabupaten kota yang punya potensi SDA melimpah.

“Saya berkeyakinan mereka mendapat dukungan finansial dari pemilik modal, baik yang sudah ada maupun yang akan berinvestasi. Jadi, kalau kompromi antara elit politik dengan pemilik modal ini sudah dibangun. Kedepan calon kepala daerah yang terpilih tidak mungkin tegas pada kepentingan daerah atau lingkungan,” kata Munadi.

“Padahal kondisi wilayah kita yang daya dukung makin menurun dan ancaman bencana menghantui setiap waktu terus menerus terjadi. Isu lingkungan ini harusnya menjadi agenda penting. Saya berharap calon kepala daerah yang terpilih adalah mereka yang bisa diajak kerjasama membicarakan keselamatan warganya dari aspek lingkungan hidup,” ujarnya.

Munadi mengatakan banyak PR dalam urusan ini harus dijawab dalam bentuk kebijakan.

Wawan Wardiana, Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK saat diskusi online yang digelar Katadata Indonesia bertajuk Hutan di Tengah Pilkada, Kamis 26 November 2020, mengemukakan, KPK sudah survei terkait proses pilkada 2015, 2017, dan 2018. KPK mewawancarai responden calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada tersebut.

BACA JUGA  Warga Resah Air Kemasan Sekda Halmahera Barat Beredar di Ternate

Dari hasil survei KPK menunjukkan, 82,3 persen responden calon kepala daerah mengatakan karena dana relatif kecil mereka dibantu donatur atau sponsor. Bantuan mereka tidak terbatas pada masa kampanye, namun jauh sebelum kampanye.

Terkait dana sponsor ini, KPK lalu menanyakan soal benturan kepentingan guna mengetahui kemungkinan imbalan jasa andai si calon memenangkan pilkada.

Survei KPK 2015 mencatat 56 persen pendonor meminta imbal jasa atau bantuan setelah terpilih. Tahun 2017 naik menjadi 71 persen, dan 2018 menjadi 76 persen.

“Mereka itu berharap bantuan setelah jadi kepala daerah. Itu dinyatakan eksplisit baik lisan maupun tertulis. Harapannya, banyak. Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah dalam perizinan,” jelas Wawan.

Ketika ditanyakan apakah akan mengabulkan permintaan dari pendonor atau sponsor, 83 persen responden calon kepala daerah menyatakan akan memenuhi permintaan pendonor.

Untuk kehutanan, sebenarnya sejak tahun 2010, KPK sudah melakukan kajian guna pencegahan, seperti mulai perencanaan kehutanan, KPK juga merekomendasikan ada peta tunggal untuk kawasan hutan.

Saat kajian itu, banyak tumpang tindih kawasan. Dari aspek perizinan, saat kajian untuk mendapatkan izin ini ternyata tidak mudah. Dengan banyak perizinan dan persyaratan harus dipenuhi dan banyak keberatan dalam memenuhi persyaratan hingga terjadi upaya suap.

“Kalau ditanya di lapangan, ternyata mereka harus mengeluarkan Rp 600 juta-Rp 22 miliar per tahun untuk mendapatkan izin konsesi,” lanjut Wawan.

Kondisi inilah, yang membuat layanan jadi tidak baik. Bahkan muncul upaya pemerasan dan suap di setiap tahapan dalam perizinan termasuk kebijakan-kebijakan yang diberikan.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi online tersebut menambahkan, Pilkada 2020 sangat spesial. Bukan hanya terlaksana pada masa pandemi Covid-19, namun pemimpin daerah terpilih merupakan generasi pertama yang menjalankan atau mengimplementasikan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi ini.

“Ini tantangan baru bagi masa depan lingkungan hidup. Daerah-daerah yang akan pilkada itu memiliki kekhasan ekologis dan berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia,” sebutnya.

Ia mengemukakan, secara keseluruhan daerah yang menggelar Pilkada 2020 memiliki hutan alam sekitar 60,05 juta hektare, atau setara 67,72 persen dari hutan alam di Indonesia.

Semestinya, sambung Teguh, Pilkada 2020 menjadi momentum politik untuk mempengaruhi perlindungan hutan tersisa dan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Bisa juga jadi peluang bagi pemerintah daerah memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.

BACA JUGA  Warga Resah Air Kemasan Sekda Halmahera Barat Beredar di Ternate

Pilkada seharusnya bisa menghasilkan pemimpin daerah yang djadikan hutan alam dan ekosistem sebagai aset pembawa peluang, bukan pembawa risiko.

Pertarungan Penyelamatan Hutan

Yayasan Madani Berkelanjutan, kata Teguh, menilai pesta demokrasi ini pertarungan antara menyelamatkan hutan atau menggunduli hutan. Jadi, bukan hanya rutinitas demokrasi.

“Ini satu titik penting harus disikapi karena menyangkut masa depan hutan Indonesia. Walaupun pilkada hanya diikuti sembilan provinsi, tetapi melingkupi lebih dari setengah  luas hutan alam tersisa di Indonesia,” tambahnya.

Pilkada, kata Teguh, juga bisa menjadi momentum positif penguatan perlindungan hutan dan iklim.  Tak bisa dipungkiri, ada sisi ancaman terkait penggundulan hutan. Tentu mengkhawatirkan jika proses pilkada tidak mengusung konten dan komitmen perlindungan hutan dan masa depan lingkungan hidup.

Teguh menyebutkan, kehilangan hutan bukan hanya pohon atau tumbuh-tumbuhan yang habis tetapi juga ancaman bencana. Seperti bencana banjir, longsor, dan kebakaran hutan dan lahan bakal meningkat seiring luas hutan berkurang.

“Untuk itu meminimalkan risiko bencana selain mencegah deforestasi dan degradasi hutan, penting juga bagi kepala daerah yang dipilih dan terpilih.

Terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam pilkada serentak ini, lanjut Teguh, melihat ketentuan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ada beberapa kewenangan pemerintah daerah terkait pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat. Ini setidaknya, ada lima kewenangan pemerintah daerah terhapus oleh UU Cipta Kerja.

Pertama, kewenangan terkait penataan ruang kawasan strategis termasuk penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis. Kedua, kewenangan menetapkan kebijakan Amdal dan UKL UPL. Ketiga, kewenangan menetapkan jenis usaha dan atau kegiatan wajib dilengkapi UKL UPL.

Keempat, kewenangan membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu komisi ini. Kelima, kewenangan pemberian perizinan berusaha untuk pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.

Meskipun begitu, lanjut Teguh, pemerintah daerah masih memiliki kewenangan perencanaan ruang di wilayah dalam bentuk RTRW provinsi dan kabupaten. RTRW daerah bisa disesuaikan memberi jalan bagi kepentingan proyek strategis nasional atau kalau ada perubahan kebijakan nasional yang strategis.

“Kewenangan pemerintah provinsi paling signifikan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan hutan, ekosistem gambut, dan lingkungan hidup. Antara lain, pengajuan usulan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang, perlindungan dan pengelolaan hutan alam di APL dalam RTRW provinsi, serta pemberian perizinan berusaha yang dapat mengubah tutupan hutan misal perkebunan dan pertambangan,” sambung Teguh. **

Mahmud Ici