Potret Anak Maluku Utara Tertinggal Pelajaran hingga Nyaris Putus Sekolah

Avatar photo
Kehidupan warga Ternate selama pandemi. (Kieraha.com)

Suhaemi Amin, warga Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate Utara, berharap pandemi virus corona di wilayah Maluku Utara segera berakhir. Virus yang mulai mewabah di Ternate pada Maret 2020 itu telah membuat kehidupan keluarga kecilnya berubah.

Kedua anaknya yang biasa pergi ke sekolah pagi dan siang hari setiap Senin hingga Sabtu, saat ini hanya berada di rumah. Begitu pun dengan suaminya yang hanya seorang buruh angkut di salah satu toko kawasan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate.

Wanita kelahiran Kayoa, Halmahera Selatan, 6 Juni 1986 itu mengatakan, dua anaknya yang bersekolah di bangku Kelas 2 SMP dan Kelas 5 SD saat ini terkendala pembelajaran daring.

Suaminya yang berpenghasilan Rp 200 ribu per minggu tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga di masa pandemi yang berdampak pada kebutuhan hidup mereka meningkat.

“Kebutuhan yang semakin meningkat ini terutama biaya paket data untuk anak-anak saya. Ini jadi kebutuhan utama supaya anak-anak bisa belajar daring, itu pun masih tertinggal pelajaran karena HP android hanya satu,” kata Suhaemi, Sabtu, 5 September 2020.

BACA JUGA  Warga Resah Air Kemasan Sekda Halmahera Barat Beredar di Ternate

Perempuan tiga anak yang saat ini berusia 34 tahun itu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Ia mengisahkan, semenjak masuknya virus corona di Ternate, beberapa minggu kemudian sekolah tempat kedua anaknya memperoleh pendidikan diliburkan secara bersamaan.

“Kemudian pada bulan April, ada pemberitahuan bahwa proses belajar mengajar ini kembali berjalan, namun sistem pembelajaran dalam jaringan (daring atau sekolah online),” ujarnya.

Adanya model pembelajaran ini, lanjut Suhaemi, dilakukan demi anak-anak tetap belajar selama pandemi. Namun ini menjadi kendala baru bagi mereka dengan ekonomi yang pas-pasan.

“Karena HP android hanya satu membuat anak-anak saya ketinggalan pelajaran. Belajar lewat aplikasi zoom dan whatsapp itu tidak bisa diikuti oleh anak saya yang pertama, karena proses belajarnya bersamaan dengan anak saya yang kedua,” ucap Suhaemi.

“Karena HP hanya ada satu, jadi mau tidak mau salah satu dari keduanya harus ada yang mengalah. Yang sering mengalah itu kakaknya, yang pelajar SMP,” sambungnya.

BACA JUGA  Kejati Maluku Utara Didesak Periksa Rektor IAIN Ternate
Terancam Putus Sekolah
Ilustrasi anak sekolah. (Foto istimewa)

Masa pandemi corona berdampak serius bukan hanya keluarga kecil Suhaemi. Kondisi serupa juga dialami Nursani, perempuan 32 tahun yang menghidupi tiga anaknya tanpa suami.

Wanita yang sehari-sehari mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil pengumpulan botol plastik bekas itu mengatakan, selama pandemi corona berlangsung, anak-anaknya yang masih kecil itu tidak pernah memperoleh pendidikan seperti biasanya.

Ibu yang tinggal bersama tiga anaknya yakni Afrijal (4 tahun), Rafa (6 tahun) dan Sabila (12 tahun) di kamar kontrakan, di Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, itu setiap harinya selalu bersama menyusuri setiap gang dan jalan pusat kota di Ternate untuk mengumpulkan botol bekas. Aktivitas yang digeluti ini sudah hampir setahun sejak dirinya ditinggal suami.

Nursani menceritakan, dari tiga anaknya itu, Rafa dan Sabila sudah bersekolah di salah satu SD wilayah Kota Ternate. Karena pembelajaran tatap muka belum aktif sehingga anak-anaknya ini ikut membantu mengumpulkan botol bekas sejak pukul 08.00 – 04.00 WIT.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

“Kebetulan sekolah belum aktif saja jadi dong (anak-anak) dua ini iko (ikut) saya, kalau biasanya (sebelum corona) dong dua pulang sekolah baru sama-sama bajalan (berjalan) cari botol,” ucap Nursani, dengan tegar, ketika disambangi kieraha.com, Rabu, 2 September.

Nursani menjelaskan, kedua anaknya itu selama pandemi tidak bisa belajar daring karena terkendala ponsel android dan pulsa data yang tidak bisa dipenuhinya.

“Memang keadaan sudah begini, tapi alhamdulillah saya dan anak-anak masih bisa makan dan bayar kamar kost,” sambung Nursani.

Hasil penjualan botol bekas itu, lanjut Nursani, juga ia sisipkan sebagian sebesar Rp 5 ribu hingga Rp 50 ribu untuk persiapan keperluan anaknya masuk sekolah tatap muka.

“Biaya kos-kosan Rp 400 ribu per bulan ditambah dengan biaya anak sekolah itu selalu saya buka kalau ada lebih. Dan alhamdulillah ada yang kase dari luar (dermawan), itu dari kantor-kantor, jadi bisa untuk tambah-tambah dong dua pe doi (uang) sekolah,” ucap Nursani.

Usaha yang dijalankan ini, lanjut Nursani, hanya demi anak-anaknya tetap bersekolah.

Asrina M Saman
Author