Ancaman Buat Ibunda di Pulau Terpencil

Avatar photo
Puskesmas Payahe Tidore. (kieraha.com/Budhy Nurgianto)

Jam dinding rumah menunjukkan pukul 20.40 WIT malam, saat Amirudin melarikan istrinya Nurjana ke Puskesmas Akelamo, Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, untuk proses persalinan anak pertamanya. Saat itu ia hanya ditemani dua adiknya. Amirudin memilih Puskesmas Akelamo lantaran jaraknya yang hanya 5 kilometer dari rumahnya di Desa Fanaha, Oba Tengah. Jika ditempuh mengunakan mobil ia hanya membutuhkan waktu 10 menit perjalanan.

Puskesmas Akelamo merupakan salah satu puskesmas rawat inap di daratan Oba, Kota Tidore Kepulauan. Puskesmas ini terletak di Desa Akelamo dan melayani 20 ribu penduduk di delapan desa. Dari Kota Tidore, puskesmas ini hanya dapat ditempuh dengan mengunakan transportasi laut.

Keputusan melarikan istrinya untuk proses persalinan di puskesmas Akelamo, beberapa waktu lalu itu, ternyata menjadi pengalaman pahit. Anak pertama yang diharapkan menjadi ‘bintang’ keluarga meninggal dunia 10 menit setelah lahir. Penyebabnya adalah gangguan pada plasenta bayi yang kemudian berdampak pada terjadinya pembekuan darah dan peredangan.

“Istilah medisnya saya tidak tahu, saat proses persalinan istri saya hanya dibantu dua orang tenaga bidan. Tidak ada dokter kandungan,” kata Amirudin, kepada kieraha.com, beberapa waktu lalu.

Pria yang dalam kesehariannya bekerja sebagai buruh bangunan ini menuturkan, seminggu sebelumnya ia sebenarnya berniat ingin membawa istri melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah Chasan Boesoirie di Ternate. Pilihan itu diambil lantaran Rumah Sakit di Ternate memiliki banyak tenaga dokter dan peralatan yang cukup lengkap.

“Tapi karena saat itu cuaca laut kurang bagus, jadi saya batal membawanya. Ternyata keputusan saya salah, anak saya meninggal setelah dilahirkan,” ujar Amirudin sambil mengelus dada.

Di Maluku Utara, angka kematian bayi masih tergolong tinggi jika dibandingkan daerah lain di Indonesia. Data yang diolah dari berbagai lembaga memperlihatkan, dalam kurun waktu delapan tahun (2009-2016), angka kematian bayi dilaporkan mencapai 1.361 kasus.

Pada 2010, kematian bayi bahkan menebus 249 kasus dan mengalami peningkatan pada 2012 yang mencapai 326 kasus serta 342 kasus di tahun 2013. Meskipun kemudian mengalami penurunan di tahun 2014 menjadi 310 kasus serta 66 kasus di tahun 2016, namun jumlah itu tergolong masih tinggi untuk ukuran provinsi dengan jumlah penduduk 1,3 juta jiwa. Apalagi faktor jumlah ibu melahirkan di Maluku Utara tergolong sedang.

BACA JUGA  26 Tim Siap Berlaga di Indonesiana Futsal Tournament II

Dari tahun 2009-2016 jumlah ibu hamil di Maluku Utara tak lebih dari 218.608 orang. Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan provinsi tetangga seperti Sulawesi Utara, Maluku dan Papua yang mencapai lebih dari 300 ribu kehamilan. Meski demikian tren ibu hamil di Maluku Utara tergolong baik dan mengalami peningkatan. Persentase kematian ibu melahirkan pun tergolong kecil. Bahkan kasus kematian ibu melahirkan tertinggi hanya terjadi tahun 2011 yang mencapai 92 kasus dan 82 kasus di tahun 2012.

Apabila berdasarkan wilayah, kematian bayi tertinggi dilaporkan terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan yang menembus 119 kasus dari total 223 kasus di tahun 2012. Dalam kurun waktu delapan tahun, Halmahera Selatan bahkan menjadi kabupaten dengan tingkat kematian ibu melahirkan tertinggi di Maluku Utara dengan 136 kasus kematian ibu melahirkan. Ada juga Kabupaten Halmahera Utara yang dilaporkan 99 kasus dan Kepulauan Sula 42 kasus kematian bayi serta Kota Tidore Kepulauan dengan 38 kasus.

Bahkan di Kota Ternate–yang merupakan satu-satunya daerah di Maluku Utara dengan fasilitas infrastruktur kesehatan yang memadai–masih ditemukan kasus kematian bayi dengan jumlah besar. Selama kurun waktu delapan tahun, di kota ini tercatat 124 kasus kematian bayi dan 98 kasus kematian ibu akibat melahirkan dari 50.231 ibu hamil. Angka ini tergolong tinggi lantaran Ternate dengan luas wilayah tak lebih dari 50 kilometer persegi hanya memiliki 300 ribu penduduk.

Menurut Umar Sidi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara, tingginya angka kematian bayi di Maluku Utara banyak dipicu karena faktor rendahnya pengetahuan ibu hamil tentang pemenuhan gizi untuk bayi saat saat hamil. Buruknya fasilitas infastruktur kesehatan, dan minimnya tenaga kesehatan seperti dokter, perawat dan bidan di puskesmas terutama di pulau-pulau kecil, menambah daftar kasus kematian bayi semakin tinggi. Padahal untuk melihat derajat kesehatan masyarakat, salah satu indikator penting adalah dengan cara melihat kualitas pelayanan kesehatan dari aspek pelayanan kesehatan pada ibu hamil.

BACA JUGA  Asal Muasal Uang yang Disetor Terdakwa Korupsi ke Gubernur Maluku Utara

“Karena itulah, mengapa setiap tahun kami masih selalu mendapatkan laporan terkait dua kasus tersebut. Tahun 2016 lalu saja masih ada ditemukan kasus kematian bayi dan ibu meninggal setelah melahirkan,” ujar Sidi beberapa waktu lalu.

Apabila berdasarkan perbandingan rasio tentang kondisi tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan, Maluku Utara sesungguhnya masih tergolong sebagai daerah dengan tingkat ketersediaan rendah untuk tenaga kesehatan. Berdasarkan ambang batas minimal WHO yakni 2,3 tenaga kesehatan per 1000 penduduk, maka Maluku Utara bisa dinyatakan sebagai daerah yang mengalami krisis sumber daya manusia di bidang kesehatan.

Data yang diolah dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara, memperlihatkan Maluku Utara masih membutuhkan tambahan tenaga kesehatan hingga seribuan orang.

Apalagi dalam kurun waktu dalapan tahun, provinsi yang kaya akan rempah-rempah ini, hanya memiliki tidak lebih dari 5,5 ribu tenaga kesehatan yang melayani 1,3 juta penduduk di sepuluh Kabupaten Kota. Artinya satu tenaga kerja kesehatan bertanggung jawab melayani 10 ribu penduduk. Padahal idealnya satu tenaga kesehatan hanya cukup melayani 100 orang.

“Makanya tiap tahun kami selalu mengusulkan formasi kesehatan. Dan persoalan minimnya tenaga medis ini selalu kami sampaikan ke Pemerintah Pusat,” ujar Sidi.

Hingga tahun 2016, tenaga Kesehatan di Maluku Utara hanya mencapai 5348 orang atau meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 3.465 orang. Dari jumlah itu, 50 persen merupakan tenaga kesehatan seperti perawat dan bidan.

Dilihat dari jumlah tenaga kerja maka Puskesmas dan rumah sakit merupakan tempat yang paling banyak diminati. Pada 2016, ada sedikitnya 2.015 orang tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas dan 2.531 orang yang bertugas di rumah sakit. Kondisi inilah yang membuat ada ketimpangan tenaga kesehatan antar daerah pulau dan perkoaan. Akibatnya setiap tahun selalu ditemukan kasus kematian bayi dan ibu melahirkan di daerah dan Kecamatan yang terletak di Pulau-Pulau Kecil.

Anggaran Kesehatan Minim

Julfi Jamil, staf pengajar kebijakan publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bumi Hijrah menuturkan, alokasi anggaran kesehatan yang besar sebenarnya bisa menjadi kunci sukses dalam menekan angka kematian bayi dan ibu akibat melahirkan di Maluku Utara.

BACA JUGA  Wali Kota Tidore Berharap BRI Soasio Terus Tingkatkan Kerjasama

Pemerintah Daerah, kata dia, seharusnya bisa mengalokasikan anggaran kesehatan yang besar untuk memenuhi fasilitas kesehatan di puskesmas terpencil. Apalagi Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatanmemberikan jaminan Pemerintah Daerah menganggarkan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk pembiayaan kesehatan masyarakat. “Dari aspek kebijakan publik, penuntasan masalah kesehatan hanya bisa dilakukan dengan memberikan anggaran kesehatan yang besar dan cukup,” kata Julfi.

Dilihat dari indikator itu, maka komitmen pemerintah Provinsi Maluku Utara di bidang kesehatan sebenarnya belum terlalu baik. Dalam kurun waktu enam tahun, mereka belum menjadikan bidang kesehatan sebagai sektor yang perlu diperhatikan. Anggaran Kesehatan pada APBD tercatat tak lebih dari 8 persen. Pada periode 2010-2016, Pemerintah Provinsi Maluku Utara jarang memberikan anggaran untuk bidang kesehatan lebih dari Rp 100 miliar.

Pada tahun 2016 saja, Pemerintah Maluku Utara hanyamengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp 63,8 miliar atau selisih Rp 6 miliar dari tahun sebelumnya. Anggaran itu bahkan lebih kecil dari sumbangan Pemerintah Pusat yang bersumber dari APBN sebesar Rp 98 miliar atau naik Rp 30 miliar dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 65,7 miliar.

Tapi indikasi ini ditolak oleh Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara. Menurutnya, rendahnya anggaran kesehatan bukan berarti pemerintah abai terhadap masalah kesehatan. Pemerintah, kata dia, hanya belum mampu mengalokasikan anggaran yang lebih besar lantaran masih banyak kebutuhan mendesak berupa pembangunan infastruktur yang penting untuk membuka daerah yang terisolasi.

“Tidak mungkin bangun puskesmas tapi jalan untuk ke sana tidak ada. Karena itu pemerintah masih memprioritaskan infastruktur sebagai program utama. Di dalamnya juga ada infrastruktur kesehatan,” ujar Gani Kasuba.

Rendahnya alokasi dana untuk sektor kesehatan tampaknya bakal segera berubah. Pada pembahasan APBD 2018, Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan anggaran sektor kesehatan sebesar 10 persen. Pemerintah dan DPRD berniat tidak lagi memangkas anggaran kesehatan dan pendidikan. “Sektor kesehatan membutuhkan alokasi anggaran yang besar, dan pemerintah mempunyai komitmen untuk itu,” kata Gani.

Budhy Nurgianto