Sejarah Singkat Terbentuknya Maluku Utara

Avatar photo

Gayung perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara bermula dari diskusi. Berlangsung di lantai tiga kantor bupati Maluku Utara, Maluku. Kala itu, hasil diskusi melahirkan kelompok gerakan yang diberinama Musbera (Musyawarah Besar Rakyat Halmahera).

“Musbera dipimpin oleh (Alm) Rustam Konoras (mantan anggota DPRD Provinsi Maluku Utara periode 2014-2019) dan Edy Langkara (Bupati Halmahera Tengah saat ini),” kata Basri Salama saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Senator wakil Provinsi Maluku Utara periode 2014-2019 ini, saat itu masih menjadi mahasiswa di Universitas Khairun Ternate. Dia menceritakan, setelah terbentuknya Mubesra, lalu merembet pada diskusi-diskusi kecil di kalangan organisasi mahasiswa, yang kemudian bersepakat melakukan aksi-aksi menuntut pemisahan diri dari Maluku.

BACA JUGA

Pengalaman Pindah Ibu Kota Maluku Utara

Menyasar Aktor Penerbitan 27 IUP Abal-Abal di Maluku Utara

Pergerakan mahasiswa di Kota Ternate itu cukup lama, tidak mengenal henti hingga berlanjut sampai Jakarta. “Saat itu, saya dan beberapa teman menggagas aksi mogok makan sebagai tuntutan kepada pemerintah pusat untuk mempercepat pemekaran Provinsi Maluku Utara sebelum terlaksana sidang istimewa,” katanya.

“Keyakinan kelompok mahasiswa, bahwa setelah sidang istimewa atau Presiden berganti dari BJ Habibie ke Presiden yang lain maka pemekaran akan sulit terealisasi.”

Gerakan perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara pada 1998-1999 ini, kata Basri, bagian dari tindak lanjut perjuangan pejuang terdahulu mereka pada 1960.

“Semangat perjuangan kami pada 1998-1999 itu utamanya didasarkan pada satu keinginan dan tujuan, bahwa Maluku Utara sudah layak berpisah dari provinsi induk Maluku,” sambungnya.

Demi Kemajuan Maluku Utara

Isu yang dibawa pejuang pemekaran saat itu adalah Kabupaten Maluku Utara yang tertinggal terlalu jauh. Juga kemajuan daerah melambat karena luas wilayah provinsi itu.

Anggota DPD RI Basri Salama

“Begitu pula dari sisi pelayanan pemerintah saat itu begitu sulit. Jarak geografis terlalu luas yang berimbas pada biaya hidup sangat tinggi. Jika demikian, maka untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan di Maluku Utara sudah pasti sulit,” katanya.

“Karena itu, tekad bersatu memperjuangkan Maluku Utara sebagai sebuah provinsi mendapat respon positif sehingga kemudian diperjuangkan secara bersama.”

Atas tekad dan landasan perjuangan itu, kemudian didukung oleh tokoh-tokoh politik dan petinggi pemerintahan di daerah saat itu, di antaranya Bupati Halmahera Tengah (Alm) Bahar Andili, Wali Kota Ternate Samsir Andili, dan Bupati Maluku Utara (saat ini Kabupaten Halmahera Barat) Abdullah Assagaf. Masing-masing didukung oleh jajarannya.

3 Nama Calon Ibu Kota

Basri mengatakan saat itu pihaknya tidak mempersoalkan kedudukan ibu kota provinsi Maluku Utara ketika berpisah dari ibu kota provinsi induk Maluku. “Bagi kita saat itu, di manapun ibu kota provinsi ditempatkan maka semua siap menerima,” katanya.

“Maka pemerintah membentuk tim yang terdiri Komisi II DPR RI untuk datang meninjau beberapa calon ibu kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota provinsi Maluku Utara.”

Calon ibu kota saat itu adalah Goal, Sidangoli, dan Sofifi. “Tetapi atas pertimbangan dan rekomendasi tim Komisi II DPR RI dan dukungan berbagai pihak, termasuk kajiannya, maka dipilih Sofifi sebagai ibu kota definitif dan Ternate sebagai ibu kota sementara.”

“Sebab nama ibu kota harus tercantum dalam UU pembentukan provinsi. Penentuan tentang ibu kota di Sofifi saya ikut aktif bersama (Alm) Bupati Bahar Andili mendampingi Komisi II DPR RI pada saat itu.”

“Dan pada masa-masa perjuangan, kami semua bersepakat tidak meneriakkan posisi ibu kota. Karena kedudukan ibu kota adalah kewenangan pemerintah dan DPR RI,” tambahnya.