Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara 2017 telah selesai diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Malut 2018. Hasilnya BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Opini terbaru dari BPK tersebut adalah kemunduran bagi Pemprov Malut. Maklum, Malut meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2017, sekaligus prestasi pertama semenjak provinsi kepulauan itu terbentuk 1999.
Ironis memang. Opini WDP diberikan karena Pemprov Malut tak mencantumkan pos belanja yang direalisasikan dalam Perda APBD 2017. Mukhtar Adam, pengamat ekonomi dari Unkhair Ternate, bilang bahwa penyebab opini WDP itu perlu dipertanyakan.
Mukhtar menilai ada masalah dalam tata kelola pemerintahan setempat. WDP dari BPK disebut sebagai sinyal bahwa komunikasi politik antara eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di Malut berada di ujung kerapuhan.
“Artinya tidak saling tunduk pada kebijakan yang ditempuh kedua institusi itu, ini yang akan menghambat proses pembangunan di Malut,” ujar Mukhtar melalui pesan WhatsApp, Selasa (29/5/2018) malam.
Mukhtar mengatakan faktor utama dan dipandang ekonomis adalah transaksi yang terjadi dari rekening kas daerah ke pihak lain, tapi tidak dicantumkan dalam APBD. Misalnya utang periode 2016 yang dibayarkan pada 2017, kegiatan Widi International Fishing Tournament, dan gaji serta tunjangan untuk para anggota DPRD yang ditetapkan Juli 2017 dan sudah dibayarkan tetapi belum ditampung dalam APBD 2017.
“Menurut PP 58 Tahun 2005, belanja yang dialokasikan pemerintah daerah harus tercantum dalam Perda APBD maupun APBD Perubahan. Faktanya ada tarik menarik antara DPRD Malut dan eksekutif di ujungnya sehingga DPRD Malut tidak mau menetapkan APBD tapi meminta gaji dan tunjangan versi PP 18 tahun 2017 dibayarkan,” kata Mukhtar.
Aktivitas saling menyandera perumusan APBD setiap tahun anggaran, lanjut Mukhtar, hanya akan merugikan masyarakat, terutama yang memiliki kerjasama dengan pemda.
Penyebab Utang Menggunung
Mukhtar mengemukakan ada pula utang yang menumpuk. Artinya, Bappeda Malut tidak memahami filosofi KUA (kebijakan umum anggaran).
Bappeda cenderung menganggap KUA sebagai pelengkap. Padahal KUA merupakan rumusan kebijakan bidang perencanaan keuangan dan pembangunan yang menjurus pada pencapaian pembangunan.
Namun, faktanya Bappeda menyusun KUA tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi. “Contoh, Bappeda Malut mengetahui ada utang periode 2016 yang tidak dicantumkan dalam KUA 2017. Bahkan penyelenggaraan Pilgub Malut pun tidak dimasukkan sebagai prioritas dalam KUA, padahal serapannya sangat besar,” ujar Mukhtar.
Mukhtar menjelaskan bahwa Pemprov Malut selama ini melakukan pembayaran dengan dalil Pergub yang diatur dalam Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD. Dalam hal ini dikatakan bahwa utang tahun lalu yang tidak tercantum dalam APBD dapat ditampung dalam Pergub untuk penetapan APBD Perubahan (APBDP).
Namun tetap saja, proses pembayaran utang 2016 yang dimulai pada Februari 2017 dan dicantumkan dalam APBDP justru tidak disetujui DPRD.
“…lucunya DPRD tidak mau menetapkan APBDP, tapi mau menerima gaji dan tunjangan yang tidak tercantum dalam APBD. Ini artinya DPRD Malut sengaja menjebak pemprov,” kata Mukhtar.
Selain urusan utang, pemprov memasukkan kegiatan nonprioritas dan dana aspirasi sebagai belanja wajib dari tekanan DPRD. Padahal menurut Mukhtar, dana aspirasi DPRD tidak wajib dan tidak (boleh) memaksa.
Persoalan semakin akut karena Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak memiliki kemampuan dan kompetensi yang mumpuni untuk melakukan pemetaan fiskal berbasis prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD. Jadi rumusan dalam APBD tidak menggambarkan pencapaian pembangunan secara nyata.
Itu sebabnya Mukhtar menilai perlunya pencabutan mandat satu pada TAPD yang tidak kompeten dalam merumuskan kebijakan pemerintah. “Ini perlu dilakukan oleh gubernur sehingga persoalan-persoalan seperti ini tidak berulang kembali,” kata Mukhtar.
Auditor Keuangan BPK RI Harry Azhar Azis sebelumnya mengatakan sebanyak Rp 507 miliar dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Provinsi Malut yang terindikasi bermasalah.
Olehnya itu BPK pun memberikan opini WDP kepada Pemprov Malut. Ini bukannya tanpa pekerjaan rumah karena BPK memberi waktu selama 60 hari kepada pemprov untuk selesaikan temuan tersebut.
“Jika tidak dilakukan maka belanja yang sudah dikeluarkan itu bisa masuk kategori belanja ilegal. Karena belanja itu tidak tersedia dalam APBD yang disahkan,” katanya saat Paripurna Istimewa Penyerahan LHP BPK 2018, di Sofifi, Jumat (25/5/2018).
Kepala Bappeda Malut Syamsudin Banyo belum memberikan kejelasan. Saat dihubungi melalui telepon dan pesan WhatsApp tersambung namun tidak menanggapi.
Hairil Hiar
*Artikel ini sebelumnya dimuat di portal berita Beritagar.id dengan judul Tiada Lagi Opini WTP dari BPK untuk Maluku Utara