Di Balik Izin Perusahaan Tambang PT Amazing Tabara di Obi Halmahera

Avatar photo
Pasir putih di Daga Kecil. (Kieraha.com/Hairil Hiar)

Kehadiran perusahaan tambang PT Amazing Tabara mengusik kehidupan penduduk di Desa Sambiki, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Pasalnya, luas konsesi izin yang diterbitkan melalui Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau PTSP Provinsi Maluku Utara tahun 2018 tentang Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Produksi kepada perusahaan tambang nikel dengan luas izin 4.655 hektare ini, telah mengancam perkebunan dan pekampungan penduduk di desa setempat.

Izin yang dikeluarkan itu dilaporkan warga telah mencaplok lahan perkebunan cengkeh dan pala milik mereka, bahkan menyasar hingga ke pantai di wilayah desa setempat.

BACA JUGA Kala Izin Tambang Hantui Warga Obi Halmahera Selatan

Adanya laporan ini membuat Komisi III DPRD Malut memanggil petinggi PT Amazing Tabara untuk memberikan penjelasan mengenai kawasan izin yang diperoleh.

“Kita dari perusahaan ini menghadiri undangan rapat dengan Komisi III DPRD Malut. Ada beberapa hal yang kita bahas, termasuk Komisi III meminta bukti berita acara pembuatan AMDAL yang melibatkan masyarakat,” kata Komisaris PT Amazing Tabara, Sarka Elajou, ketika disambangi, di Kantor Perwakilan DPRD Provinsi Maluku Utara, di Ternate, Kamis 18 Maret 2021.

BACA JUGA  Penyebab Listrik Padam di Mandioli Halmahera Selatan

Menurut Sarka, adanya lahan perkebunan dan pemukiman yang sebagian masuk konsesi izin yang diberikan tersebut tidak diketahui.

“Nah, ini yang kita belum tahu. Nanti akan kita bicarakan juga dengan dinas teknis, misalnya Dinas Kehutanan Provinsi baru kita dudukkan persoalannya di mana,” lanjut Sarka.

Prinsipnya, kata Sarka, pihak perusahaan sedang mencari solusi di mana wilayah-wilayah yang masuk dalam kawasan perkebunan dan pemukiman tersebut.

Sarka mengaku, perusahaan yang kepemilikan sahamnya juga dengan Benny Laos yang saat ini sebagai Bupati Morotai, pada saat proses pembuatan AMDAL 2013 telah melibatkan seluruh masyarakat dari tiga desa, yaitu Anggai, Air Mangga dan Sambiki. Jikalau kemudian muncul penolakan maka pihak perusahaan merasa sangat dirugikan.

“Semua bukti berita acara akan kita serahkan ke DPRD. Waktu itu tahapannya sebanyak tiga kali sidang, dan yang kita libatkan saat itu semua tokoh masyarakat termasuk kepala desa dari tiga desa itu. Izin AMDAL waktu itu dikeluarkan Pemda Halmahera Selatan,” ujarnya.

BACA JUGA  Penyebab Listrik Padam di Mandioli Halmahera Selatan

Ketua Komisi III DPRD Malut, Julkifli Umar menyebutkan, rapat dengan PT Amazing Tabara untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dengan beroperasinya perusahaan tersebut.

“Kita sudah menanyakan langsung apakah lahan masyarakat ini masuk di Areal Penggunaan Lain atau tidak. Karena ini disampaikan masyarakat sehingga perlu dicarikan solusi. Kita juga menanyakan terkait dengan IUP Eksplorasi yang berawal dari Kabupaten, yang kemudian dikeluarkan PTSP Malut tahun 2018, serta izin lingkungan dan izin penggunaan lahan dari Dinas Kehutanan. Dan perusahaan menyampaikan bahwa semua izin ini diurus,” katanya.

Sedangkan izin yang terakhir yang belum selesai diurus adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH yang merupakan ranah dari Kementerian Kehutanan RI.

Berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, lanjut Julkifli, terdapat dua desa yaitu Sambiki dan Desa Anggai, yang masuk area konsesi PT Amazing Tabara.

BACA JUGA  Penyebab Listrik Padam di Mandioli Halmahera Selatan

“Sehingga kita juga meminta izin AMDAL ini karena menurut perusahaan itu masyarakat juga ikut terlibat langsung. Sementara, surat yang kita miliki dari masyarakat yang ditanda tangani oleh 800 orang masyarakat ini mengatakan mereka tidak terlibat,” ujarnya.

BACA JUGA Pandemi Corona dan Illegal Fishing Ancam Nelayan Kecil di Maluku Utara

“Intinya adalah DPRD Malut saat ini berfikir tentang kelanjutan masa depan masyarakat. Dan berdasarkan peta kawasan eksplorasi, perbatasan masyarakat dengan izin pemakaian kawasan hutan ini hanya sekitar 1,5 kilometer, itu berarti sudah memasuki pemukiman masyarakat. Artinya kalau masyarakat menolak berarti ada problem di situ,” lanjut Julkifli.

Ia menambahkan, persoalan yang dihadapi masyarakat desa ini akan dikaji lebih dulu.

“Jadi kita juga akan melihat semua berkas izin yang sudah dibuat oleh perusahaan dan yang diterbitkan pemda. Ini kami kaji lagi sebelum mengambil langkah lebih jauh. Kalau dia berjalan sesuai dengan peraturan maka DPRD akan melakukan penciutan,” katanya.