Pembatasan akses masuk di beberapa wilayah Pulau Halmahera, Maluku Utara saat ini mendapat banyak keluhan dari warga kalangan non PNS. Salah satunya, pemberlakuan wajib membawa hasil pemeriksaan rapid test, pada saat bepergian dan bermalam di wilayah itu.
Bagi warga yang non PNS mengaku sangat terbebani dengan persyaratan tersebut. Karena sekali melakukan pemeriksaan rapid test harus mengeluarkan uang sebesar Rp 849.000.
Warga mengeluhkan besaran pungutan biaya itu karena seminggu sekali harus bolak balik Ternate dan Halmahera, untuk kepentingan membeli barang dagangan yang akan dijual.
Nurbaya, salah satu pedagang kelahiran Tobelo, Halmahera Utara, misalnya. Seminggu sekali harus bertolak dari Ternate menuju Tobelo untuk mengambil barang dagangannya.
“Satu minggu sekali mama ke Tobelo. Ke Tobelo beli pisang, kasbi (singkong) dan buah-buahan lainnya di lahan petani di sana, kemudian dibawa ke Ternate untuk berjualan di pasar. Kalau sudah diberlakukan hasil rapid test seperti ini justru mama terbebani. Karena keuntungan yang biasa mama dapatkan sudah dipakai untuk biayai rapid test,” jelasnya.
Wanita 49 tahun itu, sehari-hari berdagang di Pasar Bahari Berkesan, Ternate Tengah, untuk mencukupi kebutuhan lima anaknya yang di rumah dan biayai dua anaknya yang sekolah.
Selain Nurbaya, terdapat juga sejumlah sopir lintas yang mengeluhkan pungutan biaya rapid test. Betapa tidak, para sopir truk ini sehari-hari harus melintasi wilayah tersebut. Wilayah yang mereka lintasi meliputi Halmahera Utara, Halmahera Timur, dan Halmahera Tengah.
Bagi para sopir ini, kebijakan rapid test yang diterapkan di wilayah itu tidak mengedepankan asas keadilan bagi masyarakat seperti mereka, yang juga terdampak bencana virus corona.
Sahril Sarifuddin, Koordinator Asosiasi Sopir Lintas Halmahera, yang sedang mewakili rekan-rekannya, saat menggelar aksi penolakan pemeriksaan rapid test dipungut biaya.
“Selama 4 bulan ini kami sudah muat barang sembako melintasi wilayah tersebut. Itu kami lintas hanya menggunakan keterangan kesehatan dari gugus tugas. Kenapa saat ini kami diberi beban tambahan rapid test sebagai syarat masuk ke wilayah tersebut,” katanya, ketika disambangi usai gelaran aksi keberatan rapid test dipungut biaya, Selasa siang.
Akses Pintu Masuk Dijaga Ketat
Sahril mengatakan hampir semua pintu masuk ke wilayah kabupaten itu dijaga ketat untuk sopir truk yang melintas. Yang bisa lolos masuk hanya yang membawa hasil rapid test.
Sahril menjelaskan, pihak sopir lintas bersedia dengan persyaratan rapid test diberlakukan, asalkan pemeriksaan rapid yang dilakukan itu secara gratis tanpa dipungut biaya dari warga.
“Kalau sudah dipungut seperti ini artinya sudah menyusahkan kami warga kecil yang sedang mencari nafkah untuk kebutuhan anak istri. Kami ke wilayah tersebut untuk mengantarkan kebutuhan sembako di sana. Harapan kami, kalau rapid test ini tetap diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran virus corona namun itu dilakukan dengan gratis,” jelas dia.
Sahril menyatakan, kebijakan rapid test justru menyusahkan masyarakat kalangan bawah termasuk para sopir lintas karena batas waktu rapid test hanya 7 hari masa kerja.
“Padahal pendapatan kami (sopir) ini sudah sangat minim. Untuk biaya anak istri dan keluarga saja masih kurang. Kami sudah susah di saat wabah (pandemi) virus corona (Covid-19) ini, tapi kenapa sampai keluarkan kebijakan yang tanpa memikirkan nasib kami,” ujarnya.
Sahril menambahkan, pada prinsipnya Asosiasi Sopir Lintas Halmahera juga mau aman dari virus corona Covid-19. Sehingga tetap menerapkan protokol pencegahan virus itu.
“Akan tetapi kebijakan yang diberlakukan ini juga harus melihat keadaan kami selaku warga kecil. Selain melindungi juga memikirkan beban ekonomi yang ditanggung,” sambung Sahril.
Irawan Lila