Gayung perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara, di Lantai III Kantor Bupati Maluku Utara, Maluku, kala itu, bermula dari diskusi. Hasil diskusi melahirkan kelompok gerakan yang diberinama Musbera atau Musyawarah Besar Rakyat Halmahera.
“Musbera saat itu dipimpin oleh Rustam Konoras (Alm) dan Edy Langkara (Bupati Halmahera Tengah saat ini),” kata Basri Salama, Anggota DPD RI Dapil Maluku Utara, kepada Kieraha.com, beberapa waktu lalu. Saat itu, Basri masih menjadi mahasiswa di Unkhair Ternate.
Basri menceritakan, setelah terbentuknya Musbera, lalu merembet ke diskusi-diskusi kecil di kalangan organisasi mahasiswa, yang kemudian bersepakat melakukan aksi-aksi menuntut pemisahan diri Kabupaten Malut dari provinsi induk Maluku.
Gerakan mahasiswa yang berpusat di Kota Ternate kala itu, lanjut Basri, berlangsung cukup lama. Tak kenal henti hingga berlanjut sampai Jakarta.
“Waktu itu saya dan beberapa teman menggagas aksi mogok makan sebagai tuntutan kepada pemerintah pusat untuk mempercepat pemekaran Provinsi Maluku Utara sebelum terlaksana sidang istimewa,” kata Basri.
“Keyakinan kelompok mahasiswa, bahwa setelah sidang istimewa atau Presiden berganti dari BJ Habibie ke Presiden yang lain maka pemekaran akan sulit terealisasi.”
Upaya pembentukan Provinsi Maluku Utara pada 1998-1999 itu, kata Basri, bagian dari tindak lanjut perjuangan pejuang terdahulu pada 1960.
“Semangat perjuangan kami pada 1998-1999 itu utamanya didasarkan pada satu keinginan dan tujuan, bahwa Maluku Utara sudah layak berpisah dari provinsi induk Maluku,” ujarnya.
Isu yang dibawa pejuang pemekaran saat itu adalah Kabupaten Maluku Utara yang tertinggal terlalu jauh. Juga kemajuan daerah melambat karena luas wilayah Provinsi setempat.
“Begitu pula dari sisi pelayanan pemerintah saat itu begitu sulit. Jarak geografis terlalu luas yang berimbas pada biaya hidup sangat tinggi. Maka untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan di Maluku Utara sudah pasti sulit,” kata Basri. “Karena itu, tekad bersatu memperjuangkan Maluku Utara sebagai Provinsi mendapat respon positif dan diperjuangkan bersama.”
Basri menceritakan, saat itu pihaknya tidak mempersoalkan kedudukan Ibu Kota Provinsi Maluku Utara ketika berpisah dari provinsi induk Maluku.
“Bagi kita, di manapun ibu kota provinsi ditempatkan maka semua siap menerima,” katanya. “Maka pemerintah membentuk tim dari Komisi II DPR RI untuk datang meninjau beberapa nama calon ibu kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara.”
Calon ibu kota saat itu adalah Goal, Sidangoli, dan Sofifi. Tapi atas pertimbangan dan rekomendasi tim Komisi II DPR RI dan dukungan berbagai pihak, termasuk kajiannya, maka dipilih Sofifi sebagai ibu kota definitif dan Ternate sebagai ibu kota sementara.
Pemindahan Ibu Kota dari Ternate
Maluku Utara adalah salah satu provinsi kepulauan. Sejak berpisah dari Maluku pada 1999, Kabupaten Maluku Utara berubah menjadi Provinsi dengan ibu kota sementara di Ternate. Hal ini dilakukan karena ibu kota definitif Sofifi belum memiliki sarana infrastruktur pemerintahan.
Pemindahan ibu kota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi ini baru ditetapkan pada 4 Agustus 2010. Pemindahan secara resmi dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Pemindahan ibu kota Provinsi Maluku Utara sebagaimana keputusan UU Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara itu karena beberapa faktor. Di antaranya akses ekonomi dan pertahanan keamanan masyarakat.
Rais Sahan Marsaoly, Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara saat ini, yang ikut berperan dalam pemindahan ibu kota Provinsi Maluku Utara saat itu, mengemukakan, secara ekonomi, Sofifi berada pada poros daratan Halmahera.
Sofifi menjadi penghubung bagi daerah-daerah yang lain. Sehingga sarana-sarana produksi seperti hasil pertanian akan dengan lancar dipasok melalui jalur darat jika ibu kota Provinsi Maluku Utara telah dipindahkan ke Sofifi.
“Juga dari sisi pertahanan dan keamanan. Ketika ada gejolak di Sofifi, orang bisa dengan cepat bergerak ke daerah-daerah yang lain, tetapi kalau berada di Ternate, segala akses darat akan terputus dengan daerah-daerah yang lain,” kata Rais yang juga Ketua Komisi II DPRD Maluku Utara itu.
Rais menyatakan, ada banyak kajian dilakukan untuk mempertimbangkan pemindahan ibu kota provinsi yang saat itu masih sementara di Ternate.
Ternate merupakan sebuah kota kecil, padat, dan tidak bisa dikembangkan lagi. Wilayahnya juga di atas gunung berapi Gamalama. Sementara, Sofifi berada di tengah daratan Pulau Halmahera. Rais menjelaskan, saat itu ada beberapa tahapan pemindahan ibu kota, terutama pengkajian untuk memilih opsi ibu kota.
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor turut diundang untuk mengkaji Sofifi dengan beberapa daerah lain termasuk Goal dan Sidangoli, di wilayah Halmahera Barat yang akan dijadikan ibu kota provinsi saat itu.
“Hasilnya tetap di Sofifi karena dianggap paling layak jadi ibu kota dari beberapa nama calon ibu kota yang diusulkan tersebut,” kata Rais.
Sofifi dan Riwayatmu Kini
Rais mengemukakan, pemindahan ibu kota Provinsi di Sofifi sampai saat ini masih memicu kontroversi.
Seperti awal pemindahan, sejumlah pihak mengusulkan daerah jagoannya masing-masing. Sultan Ternate Mudaffar Sjah (Alm) saat itu meminta ibu kota provinsi di Sidangoli. Sementara, pejabat lain seperti Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili meminta kalau bisa ibu kota provinsi di Sofifi. Bahkan, mereka siap menyumbangkan beberapa areal untuk wilayah Sofifi sebagai ibu kota.
“Adapun Kesultanan Tidore saat itu bersama tokoh-tokoh masyarakat melontarkan pertimbangan bahwa Sofifi merupakan wilayah kesultanan. Jika Sofifi dijadikan ibu kota, wilayah Kesultanan Tidore dianggap sudah dipersempit,” kata Rais. “Kontroversi ini terus bergulir hingga sekarang.”
Sampai saat ini Sofifi masih terus dibangun. Sofifi masih sebuah Desa yang berada di Kecamatan Oba Utara, wilayah Kota Tidore Kepulauan. Di tengah-tengah hutan rawa dan Puncak Gosale sudah tampak gedung-gedung mewah milik pemerintah provinsi berdiri. Akses jalan nasional dan provinsi pun sudah dibangun bersama infrastruktur pendukung lainnya.
Meski begitu, pengataman Kieraha.com, di ibu kota Sofifi sampai saat ini (15/3/2019) masih seperti kota mati.
Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba pun telah menginstruksikan, bahwa mulai 2017 semua satuan kerja perangkat daerah atau OPD berkantor di Sofifi. Ajakan Gani Kasuba ini mulai maksimal berjalan sejak dirinya terpilih kembali untuk periode kedua berdasarkan hasil penetapan KPU Provinsi Malut pada 16 Desember 2018.
Masih banyak PNS yang pulang pergi dari dan ke Sofifi menjadi salah satu faktor penyebab Sofifi masih sepi.

==========
Artikel ini telah mendapat pembaharuan dari dua artikel Kieraha.com yang pertama kali terbit pada 2017. Artikel dengan judul Pengalaman Pindah Ibu Kota Maluku Utara pada 19 Juli dan artikel Sejarah Singkat Terbentuknya Maluku Utara pada 24 Juli.