Pada abad ke-13, Kesultanan Ternate di Maluku Utara mendirikan Desa Marikrubu sebagai pos penjaga hutan pala. Hingga kini, masyarakatnya tetap tunduk pada kesultanan.
Rangkaian pepohonan pala (Myristica fragrans) rimbun setinggi 9-10 meter sepanjang dua sampai tiga kilometer terbentang di sepanjang lereng Gunung Gamalama, Maluku Utara. Sejumlah petani sibuk membersihkan ilalang yang tumbuh di bawah pohon dengan sebilah parang. Mereka berasal dari Desa Marikrubu, Maluku Utara, yang terletak tepat di depan hamparan pala yang mereka rapikan.
“Pala ini paling bagus ditanam di atas gunung. Selain udaranya cocok, tanaman ini juga harus hidup di tanah yang kadar airnya sedikit,” kata Samsudin, 53, salah seorang petani. Desa yang berpenduduk lebih dari 2000 jiwa ini terletak di bagian barat Kota Ternate.
Pala adalah bagian besar dari kehidupan masyarakat Marikrubu. Dalam setahun mereka setidaknya bisa tiga kali panen. Sekali panen, setiap petani bisa memperoleh 500-700 kilogram biji pala dan 70 kilogram bunga pala.
”Sebanyak 65 persen warga Marikrubu adalah petani pala. Sekali panen Desa kami bisa memproduksi mencapai hingga 40-50 ton,” ungkap tokoh desa Muhammad Yunus, 67 tahun. Karena produktivitasnya yang kencang, pada tahun 2010, Desa Marikrubu dipilih sebagai wilayah contoh perkebunan pala di Maluku Utara.
Sayangnya, di wilayah lain di Maluku Utara, pala tidak lagi berjaya seperti di Marikrubu. Produktivitasnya semakin berkurang karena banyak masyarakat yang sudah meninggalkan profesi petani pala,”Sejak tahun 1999, kala Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi, banyak warga yang berpindah menjadi pegawai negeri sipil,” kata Kuat Suwarno, staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate.
Padahal, di masa lalu, pala adalah primadona. Pada abad ke-X sampai ke-XII, pala asal Maluku Utara tersohor sampai ke Eropa dan dan Timur Tengah. Rempah ini menguasai semua bursa perdagangan di Eropa karena memiliki harga jual yang sangat tinggi, setara dengan emas.
“Dahulu 80 persen penduduk Ternate adalah petani pala, sekarang hanya 60 persen,” ujar Kuat. Apalagi rata-rata petani pala sudah berusia lebih dari 40 tahun.
Padahal, tanaman pala di Maluku Utara memiliki tingkat produktivitas 530 kg/ha, lebih tinggi dari produktivitas nasional yang hanya 360 kg/ha. “Ini jelas ironis. Apalagi pala merupakan tanaman yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya Kuat Sabtu lalu.
Cadangan pala di Maluku Utara pun termasuk paling banyak di tingkat nasional, mencapai 10.247 ton per 2009.
Menurut Jhoni Litan, 51 tahun, pengumpul hasil bumi di Ternate, harga pala di pasaran saat ini adalah Rp 135 ribu per kilogram untuk biji pala dan Rp 200 ribu per kilogram untuk bunga pala. “Setidaknya satu milyar rupiah berputar dari pembelian dan penjualan pala,” ungkapnya.
Menurutnya, kenaikan harga pala di Ternate saat ini disebabkan karena banyak negara seperti Hong-Kong, Singapura, dan Cina semakin membutuhkan pala untuk ramuan obat dan makanan. ”Singapura kadang meminta dikirimkan dua kali dalam sebulan,” tambahnya.
Dalam sebulan Jhoni bisa mengirimkan 4-5 kontainer berisi 4-5 ton pala. “Jadi dalam sebulan saya mengirimkan pala 16-20 ton pala. Di Ternate ada enam pengumpul,” katanya.
Oleh karena itu Jhoni juga menyayangkan bahwa potensi pala terbengkalai. ”Padahal banyak yang terbukti berhasil menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dan naik haji berkat hasil panen pala,” ungkapnya.
Marikribu pun dulu tak luput dari krisis pala. Produksi sempat menurun pada tahun 1997. Banyak kebun-kebun tua, yang diwariskan secara turun-temurun, mulai mati. Kondisi ini semakin parah pada tahun 1999, kala masyarakat mulai berbondong-bondong menjadi pegawai negeri sipil dan bekerja di sektor jasa.
Beratus hektar lahan perkebunan pala milik warga desa menyusut kurang lebih 60-75 hektar. Seluas 10 hektar lahan kebun pala pun digantikan dengan tanaman yang bisa dipanen bulanan seperti jagung dan tomat.
Untungnya krisis tidak berlangsung terlalu lama. Titik balik terjadi pada tahun 2004, ketika ramai-ramai masyarakat mulai meremajakan kembali tanaman pala mereka.
“Kami terinspirasi oleh Hamadal Minggu. Ketika ia mulai melakukan pembibitan dan peremajaan tanaman, masyarakat mulai ikut,” ujar Samsudin.
Hamadal Minggu merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Marikrubu. Ia mendapat penghargaan dari Menteri Pertanian Sarwono pada tahun 2010 karena inovasinya di bidang perkebunan.
”Saya berhasil membudidayakan hingga 2 juta pohon pala dalam kurun waktu 5 tahun,” katanya, menjelaskan alasan ia diberi penghargaan.
Berbekal ilmu yang ia dapat ketika bekerja di perusahaan pembibitan pala di Jepara, pada tahun 2003 Hamadal mulai membibitkan pala Tidore dan pala Banda di lahannya. Bibit yang ia kembangkan pun mendapat sertifikat bibit unggul dari Dinas Pertanian Maluku Utara.
Perlahan pria berumur 61 tahun ini pun meremajakan perkebunannya. Kebun palanya yang awalnya hanya seluas empat hektar kini telah mencapai 16 hektar. ”Empat orang anak saya telah masuk ke perguruan tinggi,” kata pria yang tak tamat SD ini.
Melihat keberhasilannya, masyarakat mulai mengikutinya dan bersemangat kembali meremajakan kebun pala mereka. Hamadal pun mulai mengajarkan tentang proses pembibitan.
”Saya bilang kalau pala ini sudah terbukti turun temurun bisa menghidupi nenek moyang kita, meski dalam keadaan krisis. Saya juga sering bilang kalau petani pala terbukti tidak ada yang miskin,” katanya.
Masyarakat mulai menanam lagi di lahan yang kosong karena pohonnya sudah mati. “Masyarakat tidak menebang pohon pala yang masih berbuah,” kata Hamadal.
Menurut Yunus, sekarang masyarakat Marikrubu rata-rata memiliki kebun pala hingga puluhan hektar. ”Selama ini belum ada desa atau kelurahan lain yang melakukan pembibitan pala. Makanya masyarakat Desa Marikrubu selalu dilibatkan oleh pemerintah untuk memberikan penyuluhan,” ujarnya.
Pada tahun 2010 luas lahan perkebunan milik warga di desa Marikribu sudah mencapai kurang lebih 110 hektar.
”Kehidupan perekonomian kami pelan-pelan mulai meningkat,” kata Samsuddin. Menurutnya, pendapatannya dalam setahun sekarang mencapai Rp. 123 juta dari kebunnya yang seluas 3 hektar. Sedangkan Yunus mendapat penghasilan hingga Rp. 500 juta per tahun. Padahal, dahulu pendapatan kedua petani ini hanya berkisar 50-100 juta dalam setahun.
”Kami dahulu tidak tahu pembibitan pala yang baik. Apalagi banyak banyak tanaman pala saya yang mulai mati,” kata Yunus
Tidak hanya masyarakat di Marikrubu saja yang ikut menanam pala dengan bibit yang dikembangkan Hamadal. Desa Tongole, tetangga Marikribu, juga menanamnya dan sekarang menghasilkan produksi pala 20 ton dalam setahun. Bibit pala Hamadal bahkan ditaksir oleh propinsi Gorontalo.
Sayangnya, menurut Hamadal, hingga kini belum ada ketrampilan khusus yang dimiliki petani untuk mengelolah pala menjadi produk lain. Banyak petani yang memilih langsung menjual ke pengumpul besar. “Sebenarnya daging buah pala bisa dibuat sirup dan manisan, tapi itu hanya dilakukan kesultanan Ternate,” katanya.
Pemerintah pun mulai melirik potensi Marikrubu. “Pemerintah kota akan mengeluarkan kebijakan yang melarang penebangan pohon pala di wilayah pegunungan Gamalama,” kata Walikota Ternate Burhan Abdurahman.
Menurutnya, pemerintah kota akan meremajakan pala yang telah menua. “Mungkin kami akan mengandeng masyarakat Marikrubu untuk kegiatan ini,” katanya.
Ia berharap, dengan program peremajaan dan pembibitan pohon pala, produktivitas pala di Ternate ditahun 2012 diharapkan akan naik hingga 10 persen. “Jika berhasil, maka Ternate akan menjadi satu satunya daerah yang menghasilkan pala terbanyak di Maluku Utara. Yang pasti kami ingin menjadikan Ternate sebagai kota rempah dunia,” ungkapnya.
Selain itu, untuk membantu petani, Burhan mengatakan bahwa mereka telah memberikan pelatihan kapasitas pada petani pala. Akan tetapi masyarakat merasa kurang pas dengan berbagai kebijakan pemerintah.
”Program yang dilakukan pemerintah, seperti upaya peningkatan kapasitas, hanya bersifat jangka pendek dan itupun tidak langsung menyentuh masyarakat,” kritik Hamadal.
Ia menambahkan bahwa berkembangnya perkebunan pala di Marikrubu ini murni usaha masyarakat,”Pemerintah selama ini terkesan hanya tunggu bola,”ungkapnya.
Tanpa menunggu pemerintah, masyarakat Marikribu pun berambisi untuk membuat pala jaya kembali. “Kita bisa kembali mengharumkan sejarah di Kota Ternate. Jadikanlah pala sumber hidup kita,“ kata Samsudin.
Yunus melihat bahwa tanah dan lahan yang kosong di daerah Halmahera sepatutnya harus ditanami kembali. Kuat sependapat, Menurutnya potensi pala masih sangat besar.
”Produksi bisa ditingkatkan lagi. Sebanyak 40,67 persen atau 2.021 hektar lahan di Maluku Utara belum digarap secara optimal,” Yunus memungkasi.
Budhy Nurgianto