Mengenang Sultan Nuku di Seram Bagian Timur

Avatar photo

Sultan Tidore Husain Sjah menghadiri undangan bupati dan masyarakat adat Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Kehadiran Sultan Husain Sjah dalam rangka acara Festival Kataloka 2017.

Event tersebut menampilkan pagelaran budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang masih terjaga ratus tahun.

Tujuan pelaksanaan festival tersebut untuk merajut kembali histori atau sejarah antara Seram Bagian Timur dengan Sultan Nuku. Di mana pada masa perjuangannya kala itu membangun markas terbesar di Pulau Gorom, Seram Bagian Timur.

Sultan Tidore Husain Sjah memberikan apresiasi atas pelaksanaan festival itu. Karena event tersebut merupakan wujud dari rasa terima kasih dan rasa hormat terhadap mendiang Sultan Tidore Syaedul Jihad Amiruddin Sjah Jou Barakati alias Nuku.

BACA JUGA

Semangat Perdamaian Moloku Kieraha di Pulau Moti

Mahasiswa Teknik Sipil Gelar Seminar Nasional di Tidore

Sultan menceritakan perjalanannya bersama rombongan sewaktu ke Seram Bagian Timur. Saat menuju Pulau Gorom harus melewati Ambon, lalu bertolak ke Bula naik pesawat.

“Saat tiba di bandara Bula, kami kemudian menuju pelabuhan untuk menyeberang menggunakan motor laut kurang lebih 8 jam sampai di Pulau Gorom. Ini sebuah perjalanan yang cukup jauh dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana dengan perjalanan Sultan Nuku yang saat itu dengan segala keterbatasan dan minim teknologi,” ujar Husain mengenang Sultan Nuku.

Jembatan Residen Ternate

“Kilas balik dari perjalanan tersebut adalah bagaimana generasi sekarang bisa menangkap spirit perjalanan Sultan Nuku yang pantang menyerah mengusir penjajah dan membebaskan negeri dari penindasan.”

“Tentunya keringat dan darah Nuku harus menjadikan kita (generasi sekarang) untuk semakin sadar, bahwa kemerdekaan dan kebebasan bukan sesuatu yang mudah, apalagi dibayar dengan harga murah. Oleh karenanya, perjuangan ini harus terus dilanjutkan oleh generasi sekarang,” sambung sultan melanjutkan.

“Dengan perjuangan yang berkelanjutan ini, tentunya sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, namun tetap dalam spirit yang sama, yaitu Toma Loa Sebanari (atau selalu hidup berdampingan dalam bingkai keadilan dan kebenaran).”

Author: Asmul Yuben

Editor: Redaksi