Keuangan Pemprov Maluku Utara masih dalam kondisi mengkhawatirkan, salah satunya akumulasi nilai utang hingga 2017 yang dilaporkan terdapat perbedaan.
Nilai utang yang disampaikan pemprov melalui Badan Pengelolan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD), dan Inspektorat memiliki selisih Rp 70 miliar lebih. Utang Pemerintah Provinsi Maluku Utara ini merupakan utang atas pekerjaan pihak ketiga yang belum dibayarkan.
Data Komisi III DPRD Malut mencatat perbedaan selisih nilai utang tersebut mencapai Rp 70.937.948.244. Nilai ini diperoleh dari laporan BPKPAD sebesar Rp 430.378.095.964 dan laporan Inspektorat sebesar Rp 359.440.147.721.
“Perbedaan selisih nilai utang ini hingga sekarang belum dijelaskan oleh pemprov, baik melalui gubernur, Kepala Inspektorat maupun BPKPAD,” kata Ketua Komisi III DPRD, Syachril Marsaoly, saat disambangi Kieraha.com, Selasa (15/5/2018).
Menurut Syachril, DPRD Provinsi Maluku Utara telah berupaya mendesak pemprov untuk segera menyelesaikan kewajiban utang kepada pihak rekanan tersebut.
“Ini karena anggarannya sudah dianggarkan surplus pada APBD induk 2018. Namun sejak Januari hingga pertengahan Mei ini belum dibayar,” kata Syachril.
Politikus PBB itu, menyesalkan sikap pemprov yang tidak hadir dalam rapat mediasi yang dilakukan Komisi III DPRD Malut di Ternate, pada Senin malam, 14 Mei 2018.
“Padahal rapat ini dihadiri oleh seluruh pimpinan DPRD dan rekanan yang memiliki tunggakan utang atas pekerjaan proyek 2015, 2016 dan 2017. Pimpinan DPRD mengakui bahwa rapat ini cukup penting sehingga seluruhnya hadir. Tapi sangat disayangkan undangan dari pimpinan DPRD Malut ini tidak dihargai oleh Plt gubernur, Sekda, Kepala Inspektorat, dan Kepala BPKPAD Malut. Adapun beberapa SKPD hadir namun hanya keterwakilan, itu sangat disayangkan,” ujar dia.
Syachril menyatakan, Komisi III DPRD masih mengagendakan rapat tersebut, Selasa sore. “Apabila tidak hadir lagi maka kami menganggap pemprov Malut pengecut. Karena tidak mau menyelesaikan persoalan utang dengan rekanan,” sambung dia.
Modus Pemprov Mengulur Utang
Syachril mengatakan selisih nilai utang yang disampaikan pemprov adalah modus untuk mengulur waktu penyelesaian utang kepada pihak ketiga.
“Karena selisih nilai utang yang cukup fantastis itu sampai sekarang belum dijelaskan oleh pemprov. Awalnya, BPKPAD sampaikan Rp 430 miliar, lalu kemudian disusul data yang disodorkan melalui Inspektorat sebesar Rp 370 miliar,” kata dia.
“Juga mengenai alasan penundaan pembayaran utang itu menunggu Pergub (peraturan gubernur). Sebenarnya tidak ada aturan mengenai pembayaran utang menggunakan Pergub karena sudah ada kontrak dan sudah dianggarkan melalui APBD. Tapi ini kemudian diulur-ulur hingga dikeluarkannya Pergub Senin kemarin.”
“Anehnya, Pergub yang dikeluarkan itu pun untuk pembayaran utang pihak ketiga tahun anggaran 2015 dan 2016 yang dialokasikan melalui DAK. Yang seharusnya dana DAK itu tidak boleh dibuat utang karena anggarannya sudah jelas dan tinggal dibayar sesuai nilai pekerjaan proyek.”
“Ini yang kita sendiri belum tahu alasannya apa. Sampai sekarang belum dijelaskan pemprov, juga soal kepastian pembayaran utang ke pihak ketiga ini kapan,” kata Syachril.
Syachril menambahkan, Organisasi Perangat Daerah atau OPD penunggak utang itu yang paling besar adalah Dinas PU, Perkim, Dinas Pertanian dan Dikjar.
Kepala BPKPAD Ahmad Purbaya hingga sekarang belum dapat dihubungi. Saat dikonfirmasi Kieraha.com melalui telepon tidak aktif.
Iriyanti Chandra