Pandemi Corona dan Illegal Fishing Ancaman Nelayan Kecil di Maluku Utara

Avatar photo
Nelayan Desa Togeme Oba Tengah. (Kieraha.com)

Yusri, nelayan Desa Tadupi, Kecamatan Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, baru saja merapikan isi perahu. Sambil membawa keluar alat pancing dan dua jerigen berukuran lima liter dari perahu ketinting yang terbuat dari fiber. Hari itu, cuaca kurang bersahabat, membuat lelaki berumur 50 tahun ini dan nelayan lainnya pulang lebih awal.

Torang (kami) keluar memancing dari jam 6 pagi (pukul 06.00 WIT) dan pulang menjelang magrib, itupun kalau tra ba omba (tidak berombak). Tapi karena hari ini ba omba akhirnya pulang lebih awal,” tutur Yusri, ketika disambangi kieraha.com, Rabu siang.

BACA JUGA Sejak Pandemi Kasus Illegal Fishing di Maluku Utara Tambah Marak

Berdasarkan data dari Pemerintah Desa Tadupi tahun 2020 menunjukkan, jumlah penduduk desa ini sebanyak 708 jiwa dan 90 persen berprofesi sebagai nelayan.

Biasanya nelayan kecil di desa ini menggunakan alat pancing tradisional, seperti mata kail yang diikat pada tali pancing yang disebut nilon dan jaring.

Jenis ikan yang ditangkap juga beragam. Bahkan, apabila sedang musim, Yusri dan nelayan kecil lainnya bisa menangkap Ikan Cakalang, dengan kisaran 10 sampai 20 kilogram yang kemudian dijual dengan harga Rp 18.000 – 20.000 per kilogram kepada dibo-dibo atau pengumpul serta masyarakat desa untuk konsumsi harian.

Nelayan desa kecil di Tadupi, lanjut Yusri, biasanya melaut di pesisir Pulau Halmahera. Karena letaknya yang berdekatan, maka ada yang sampai ke depan laut Pulau Makean dan Pulau Moti. Namun, apabila cuaca memburuk mereka justru merugi karena bahan bakar minyak atau BBM terbuang percuma.

“Setiap melaut membutuhkan minyak 8 hingga 10 liter. Jadi, kalau cuaca buruk dan pulang tra bawa ikan (tidak mendapatkan hasil tangkapan) maka tidak bisa beli minyak,” jelas Yusri.

Perahu ketinting dengan panjang sekitar 9 meter dan lebar 1,5 meter menjadi tumpuan hidup Yusri dan keluarganya. Perahu miliknya merupakan bantuan dari Pemerintah Desa Tadupi.

BACA JUGA Yang Harus Dilakukan Agar Terumbu Karang di Maluku Utara Tetap Terjaga

Kepala Desa Tadupi, Iwan Haji Badar menjelaskan, sebanyak 35 unit bantuan perahu ketinting fiber diberikan ke nelayan kecil Desa Tadupi untuk menunjang aktivitas tangkapan ikan. Bantuan ini bersumber dari Dana Desa yang dimulai pada 2015.

“Berdasarkan hasil Musrenbang Desa, kami bersepakat untuk melakukan pengadaan ketinting kepada nelayan yang dianggarkan melalui Dana Desa,” tutur Iwan.

Namun akibat pandemi Covid-19, program desa yang telah dimulai sejak tahun 2015 itu terhenti sampai sekarang. Hal ini disebabkan karena realokasi anggaran penanganan covid.

“Karena pertimbangan (virus corona) itu maka melalui musyawarah desa, disepakati untuk fokus pada penanganan dan pencegahan Covid-19,” jelasnya.

Dihantui Illegal Fishing

Pelabuhan Nelayan Desa Tadupi. (Apriyanto Latukau)

Di tengah ancaman pandemi virus corona, nelayan Desa Tadupi juga kerap dihantui dengan aktivitas pengeboman ikan alias illegal fishing yang terjadi di sekitar pesisir pantai. Akibatnya, membuat nelayan ini sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan.

“Di sini dong (mereka) jaga ba bom (sering melakukan pengeboman), jadi tong (kami) kesulitan,” lanjut Yusri.

Yusri menyatakan, para pengebom yang tidak diketahui asalnya ini kerap melakukan aksi mereka dengan menggunakan 3 sampai 4 motor fiber berukuran sedang dan berwarna hitam dilengkapi mesin tempel 40 PK.

Informasi inipun dibenarkan oleh Iwan, dirinya sangat menyayangkan aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini karena akan merusak ekosistem laut.

“Oknum yang sering melakukan pengeboman ini bukan warga saya. Sebagai kepala desa, tidak mungkin saya membina warga saya untuk melakukan hal seperti itu,” ucap Iwan.

Iwan berharap, aktivitas perikanan tangkap yang dilakukan secara ilegal ini mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan Pemprov Maluku Utara.

“Sehingga aktivitas pengeboman ikan di wilayah ini tidak lagi terjadi,” tambahnya.

Apriyanto Latukau