Rakyat Maluku Utara Gelar Jajak Pendapat RUU Keadilan Iklim

Avatar photo
Konsultasi Rakyat RUU Keadilan Iklim oleh Aliansi Rakyat Untuk RUU Keadilan Iklim, di Ternate, Kamis, 5 September 2024/Apriyanto Latukau/kieraha.com

Dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan politik dari krisis iklim di berbagai belahan dunia kian terasa. Masyarakat miskin dan tertinggal menjadi korban utama bencana ekologis dari krisis ini. Hal itu terkuak dalam Konsultasi Rakyat RUU Keadilan Iklim oleh Aliansi Rakyat Untuk RUU Keadilan Iklim atau ARUKI, di Ternate, Maluku Utara pada Kamis, 5 September 2024.

Untuk merancang regulasi yang adil dalam menghadapi krisis iklim, ARUKI melakukan hal serupa di 11 provinsi, termasuk Maluku Utara, dan melibatkan masyarakat rentan dari beragam kelompok dan wilayah.

Menurut Puspa Dewy, perwakilan ARUKI, inisiatif ini lantaran pemerintah Indonesia tak berkomitmen dalam mewujudkan keadilan iklim. Pada akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, aksi-aksi pengendalian perubahan iklim belum diprioritaskan, bahkan jauh dari cita keadilan.

Padahal, katanya, BNPB telah melaporkan bahwa jumlah bencana ekologis akibat krisis ini melonjak 81 persen antara tahun 2010-2022. Suhu bumi pun telah mencapai 1,1 derajat celcius pada tahun 2023 dan diperkirakan akan melebihi 1,5 derajat pada 2030. Kondisi tersebut, sangat berdampak terhadap kelompok rentan, seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, perempuan, anak muda, penyandang disabilitas, pekerja informal, buruh, anak-anak dan lansia.

“Mereka menanggung beban terberat akibat cuaca ekstrem, gagal panen, kerusakan ekosistem, serta dampak buruk dari proyek-proyek maladaptasi, aksi mitigasi sesat, dan berbagai dampak negatif pembangunan yang tidak adil dan mengancam kelangsungan hidup mereka,” ujar Dewy.

Namun, proyek pembangunan Pemerintahan Jokowi selama satu dekade ini telah merusak kemampuan adaptasi masyarakat, seperti yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah. Contoh nyata, jelas Dewy, dampak hilirisasi nikel dari aksi mitigasi berdalih transisi energi itu, menyebabkan banjir dan tanah longsor di desa sekitar industri ekstraktif tersebut.

Izin pertambangan nikel, yang digunakan untuk produksi baterai mobil listrik, justru mempercepat laju deforestasi dan menggusur ruang hidup masyarakat lokal. Meskipun diklaim ramah lingkungan, namun produksi mobil listrik ternyata berdampak buruk terhadap lingkungan karena produksinya yang bergantung pada batubara.

“Proyek reklamasi pantai untuk perluasan industri juga menghancurkan mangrove, habitat biota laut, dan area tangkap nelayan,” ucapnya.

Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Maluku Utara mengemukakan, krisis iklim sangat berpengaruh terhadap sumber kehidupan masyarakat di salah satu provinsi kepulauan di Indonesia ini. Namun, kebijakan pemerintah untuk Maluku Utara sangat jauh dari tujuan perlindungan.

Maluku Utara merupakan provinsi yang luas daratannya kurang dari 30 persen, yang terdiri dari 1.080 pulau. Kata Faizal, pada umumnya masyarakat di sini hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sangat bergantung terhadap hasil tangkapan laut dan sumber daya alam di darat.

“Selain bekerja sebagai petani dan pekebun, masyarakat di kampung-kampung pesisir juga adalah nelayan. Maluku Utara justru dikepung oleh banyaknya investasi padat modal di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan monokultur yang malah meningkatkan kontribusi emisi GRK dan menuai risiko kebencanaan,” paparnya.

Sementara itu, situasi perempuan di Halmahera Tengah, khususnya di desa-desa lingkar konsesi PT IWIP merasakan dampak yang sangat besar. Mereka harus memikul beban yang berlapis-lapis karena ruang hidupnya bergeser.

“Kehidupan kami yang sehari-harinya berkebun, bertani, dan melaut kini sulit dilakukan akibat adanya dugaan pencemaran sungai dan laut yang dapat mengganggu kesehatan reproduksi kami sebagai perempuan,” tutur Rifya Rusdi, perwakilan perempuan dari Desa Sagea.

Beban ganda dari pertambangan juga ditanggung oleh penyandang disabilitas. Perwakilan penyandang disabilitas dan komunitas Fakawele dalam pertemuan itu, Sahrul Ahdani mengatakan setiap hari mereka selalu terpapar dengan debu dalam jumlah yang belum pernah dibayangkan sebelumnya, akibat aktivitas tambang.

“Sehari-hari kami terpapar debu akibat aktivitas industri tambang yang berbahaya bagi kesehatan, terutama bayi dan anak-anak. Beberapa di antaranya terindikasi terkena ISPA. Ada peningkatan jumlah ISPA di Halmahera Tengah sejak perusahaan beroperasi,” tambahnya.