Segitiga Terumbu Karang atau yang dikenal dengan Coral Triangle merupakan kawasan istimewa yang di dalamnya terdapat pusat keanekaragaman hayati laut di dunia, yaitu terumbu karang dan ikan karang. Kawasan segitiga terumbu karang ini meliputi 6 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.
Untuk wilayah Indonesia, adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km dan luas wilayah perairan 5,8 juta km2 atau 580 juta hektare. Untuk melindungi kawasan perairan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan sekitar segitiga terumbu karang ini, telah dibentuk 200 Kawasan Konservasi Perairan atau KKP yang mencakup luas perairan 23 juta hektare.
Luas kawasan KKP ini oleh Pemerintah Indonesia menargetkan pembentukannya 30 juta hektare, atau 10 persen dari total luas laut perairan di Indonesia. Dari total luas KKP yang sudah dibentuk, terdapat salah satunya di Perairan Kepulauan Sula, Maluku Utara.
Direktur Eksekutif Coral Triangle Center atau CTC, Rili Djohani menyatakan, ancaman utama yang dihadapi dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati di dalam kawasan KKP atau wilayah segitiga terumbu karang ini adalah polusi plastik, perubahan iklim, penangkapan ikan, dan pariwisata yang tidak bertanggung jawab. Adanya masalah tersebut, kata Rili, CTC mendukung 5 kawasan KKP yang dibentuk di Indonesia, yaitu Kepulauan Sula, Nusa Penida, Kepulauan Banda, Kepulauan Leased dan Buano, serta KKP Liquica dan Atauro di Timor Leste dan menjadikannya sebagai kawasan pembelajaran dengan berbagai tantangannya.
Untuk menekan ancaman dan meningkatkan kesadaran tentang upaya konservasi kawasan KKP ini, CTC menyelenggarakan webinar dan diskusi online pada 5 Oktober 2020. Kegiatan ini bertepatan dengan Hari Satwa Sedunia yang diperingati pada setiap tanggal 4 Oktober.
“Tujuan CTC adalah membantu mencari solusi untuk permasalahan ini dan membangun kapasitas lokal untuk konservasi laut dalam jangka panjang di Kawasan Segitiga Terumbu Karang, tempat bernaungnya terumbu karang yang paling beragam di dunia. CTC memiliki visi laut yang sehat mensejahterakan masyarakat dan alam,” ujar Rili, kepada kieraha.com, di Ternate, Selasa 6 Oktober.
Rili mengatakan misi CTC adalah menginspirasi kelompok perempuan dan pemuda, serta melatih generasi untuk menjaga ekosistem pesisir dan laut di wilayah kawasan KKP ini.
Mengenal Jenis Penyu di Sula
Sebagai jantung pusat segitiga terumbu karang, Indonesia memiliki 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia dan semuanya tergolong langka dan dilindungi. Penyu Hijau dan Sisik adalah jenis yang paling banyak dikenal di Indonesia. Untuk membantu perlindungan penyu di KKP Kepulauan Sula, CTC bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sula, dan telah memberikan penguatan kapasitas masyarakat setempat dalam perlindungan dan konservasi penyu.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh CTC pada tahun 2019 di desa Fatkauyon, Kepulauan Sula, ditemukan tiga jenis penyu, yaitu Penyu Hijau atau Chelonia mydas, Penyu sisik atau Eretmochelys imbricate, dan Penyu Belimbing atau Dermochelys coriacea.
Desa Fatkauyon ditengarai menjadi lokasi bertelur untuk Penyu Hijau dan Sisik yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah penyu yang ditemukan di perairan sekitar desa ini.
Purwanto, Senior MPA Specialist CTC menambahkan, ancaman terbesar untuk populasi penyu ini adalah perburuan untuk konsumsi langsung dan perdagangan ilegal, by catch atau tidak sengaja terperangkap jaring nelayan, perubahan habitat, polusi, penyakit dan perubahan iklim.
Sementara itu Conservation Coordinator CTC, Evi Nurul Ihsan mengatakan upaya yang sudah dilakukan sejauh ini untuk perlindungan penyu di KKP Kepulauan Sula adalah melakukan sosialisasi bersama dengan para mitra penegak hukum terkait yaitu Polair, LPSPL Sorong dan PSDKP Stasiun Ambon.
Menurut Evi, perburuan penyu dan telur penyu di KKP Kepulauan Sula masih terjadi karena mayoritas masyarakatnya belum tahu bahwa penyu dilindungi oleh undang-undang.
Untuk penguatan kapasitas masyarakat, CTC bekerjasama dengan Universitas Papua telah melakukan sosialisasi dan pelatihan konservasi dan penanganan penyu untuk masyarakat dan Kelompok Masyarakat Pengawas.
“Sangat disarankan untuk memperkuat kelompok masyarakat di wilayah pantai peneluran penyu dan perbanyak monitoring atau pengawasan pada saat musim penyu bertelur. Jika diperlukan, silakan telurnya direlokasi ke tempat yang aman dan sudah disediakan atau dibuatkan demplot sementara agar tidak dimakan predator,” lanjut Evi. **