Kala mentari pagi terbit di ufuk timur, ibu tiga anak itu mulai berjalan kaki sambil menggendong puluhan ruas bambu menyusuri jalanan pusat kota di Ternate.
Wanita 41 tahun itu adalah Mirawati, penjual keliling gula tare, cemilan khasnya Ternate.
Gula Tare adalah permen lokal yang terbuat dari tebu yang diolah secara tradisional. Jajanan lokal yang sangat terkenal di era 90-an itu masih laris di kalangan masyarakat setempat.
“Saya mulai jualan ini tahun 2009, saat memutuskan keluar dari tempat kerja sebagai penjual es cukur,” kata Mirawati, ketika disambangi kieraha.com, di kawasan Pantai Taman Nukila, Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah, Jumat pagi, 21 Agustus 2020.
Warga Lingkungan Akeboca, Kelurahan Ngidi, itu mulai menjajakan gula tare pada pukul 07.00 WIT, menuju tempat-tempat keramaian, seperti pasar, sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP, serta tempat kegiatan yang dilihatnya ramai pengunjung dan acara seremoni.
“Jualan ini mulai pagi sudah jalan, sampai siang baru kembali pulang ke rumah,” ucap dia.
Ia mengatakan kalau dagangannya tersebut tidak habis terjual maka dilanjutkan sore hari.
Dari profesi yang ditekuni itu, Mirawati bisa membangun rumah, memenuhi kebutuhan keluarga, dan biaya anaknya yang kuliah di Perguruan Tinggi Makassar, Sulawesi Selatan.
“Alhamdulillah, anak pertama saya itu ambil jurusan Apoteker di Makassar,” lanjutnya.
Jajanan gula tare diperoleh Mirawati dari tempat produksinya di Akeboca dan Kelurahan Koloncucu, Ternate, dengan harga per ruas bambu yang panjangnya kurang lebih setengah meter senilai Rp 50.000. Gula tare yang dibeli tersebut kemudian dijual lagi.
“Saya biasa ambil 25 – 30 ruas bambu dan menjualnya Rp 55.000 per ruas bambu, atau per potong dengan ukuran dua jari seharga Rp 2.000,” ucap Mirawati.
Dari aktivitasnya itu, Mirawati mengaku mampu menghasilkan uang Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per harinya. Kalau dalam satu bulan ia bisa mengumpulkan hingga Rp 5 juta.