Kasus kekerasan terhadap jurnalis di depan Kantor Walikota Ternate menjadi sorotan, terutama terkait kebebasan pers dan perlindungan wartawan di lapangan.
Kekerasan yang menimpa jurnalis Halmahera Raya Fitriyanti dan jurnalis Tribun Ternate Julfikram Suhardi, ini berlangsung saat keduanya sedang menjalankan aktivitas peliputan.
Julfikram Suhardi, mengaku dikeroyok oleh aparat (diduga kuat petugas) Satpol PP saat meliput aksi demo Indonesia Gelap di halaman kantor walikota tersebut.
Kronologi kejadian ini bermula pada saat massa aksi mahasiswa dan aparat Satpol PP saling dorong. Saat itu, Julfikram Suhardi hendak mengambil gambar dan justru menjadi sasaran pengeroyokan.
“Saya sedang mengambil gambar di tengah aksi yang mulai memanas, tiba-tiba tangan saya dipukul, saya marah dan bilang, jangan dorong tangan saya, saya wartawan. Padahal saya sudah memakai kartu identitas wartawan. Tapi saya langsung dikeroyok, dipukul, diinjak, ditendang di bagian rusuk dan wajah. Dalam kerumunan itu ada polisi dan Satpol PP, dan dugaan kuat pemukulan dilakukan oleh Anggota Satpol PP,” sebut Julfikram, usai mengalami kekerasan pada Senin, 24 Februari 2025.
Kekerasan berlanjut saat Julfikram masuk ke halaman kantor walikota. Beberapa wartawan lain yang berada di lokasi mencoba melerai, namun tindakan represif tetap terjadi.
“Saat Julfikram dipukul lagi, kami (jurnalis) mencoba mengamankannya. Saya juga ikut membantu, tapi malah mengalami kekerasan hingga bibir saya pecah,” tutur Fitriyanti.
Ikram Salim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan ini.
“Kami minta kasus penganiayaan ini tak hanya menggunakan Pasal 351, tapi juga UU Pers. Karena tindakan oknum Satpol PP ini tidak hanya menghalangi kerja-kerja jurnalis, tetapi juga menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi dan mencederai demokrasi,” sambungnya. *