Tidore  

Mitos Pengrajin Gerabah hingga Ribuan Ekor Rusa Punah di Tidore

Avatar photo
Pemandangan pantai di Pulau Mare/kieraha.com

Seorang peneliti dari Jepang bernama Akary pada 1979 pernah melakukan penelitian kualitas tanah di Pulau Mare. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kualitas tanah liat di pulau ini tak kalah dengan tanah liat penghasil gerabah lainnya di Indonesia.

Terdapat beberapa keunikan di balik keindahan Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan. Ada ikan lumba-lumba liar bermain di pagi hari dan mitos kaum lelaki yang tidak boleh bikin gerabah.

Pulau Mare dikenal sebagai penghasil gerabah di Maluku Utara. Hasil kerajinannya terkenal hingga ke Pulau Halmahera, Maluku dan Papua.

Menurut warga setempat, nama Pulau Mare berasal dari kata More. Dalam bahasa Tidore artinya dia yang menunjuk pada seorang perempuan.

Topografi pulau kecil itu berbukit dan berbatu. Di puncak bukit pulau tersebut, sebagian besar ditumbuhi alang-alang. Sementara bagian tengah pulau ditanami kelapa dan pala.

Pulau Mare pernah dihuni ribuan ekor rusa. Karena banyak diburu sehingga rusa-rusa yang ada perlahan punah.

“Kalau dulu rusa masih terlihat bermain sampai di belakang rumah. Sekarang hampir tak ada,” kata Ahmad, warga Maregam.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menyebutkan, luas Pulau Mare mencapai 200 hektare atau 20 km. Di pulau ini terdapat dua desa, yakni Marekofo di bagian barat dan Maregam di sebelah timur.

Di Desa Maregam, terdapat fasilitas rumah ibadah dan sekolah dasar hingga menengah pertama. Di pantai desa ini pada pagi hari, Anda bisa melihat ikan lumba-lumba liar bermain di laut.

Mata pencahrian penduduk setempat adalah nelayan. Namun untuk penduduk Desa Maregam lebih mengutamakan kerajinan gerabah sebagai sumber pendapatan utama. Gerabah yang dihasilkan masih tradisional.

Mitos Pengrajin Gerabah

Ada yang unik dari proses pembuatan gerabah di Desa Maregam. Warga percaya pembuatan gerabah harus dilakukan oleh perempuan. Mitosnya, jika kaum lelaki yang terlibat mengerjakan gerabah maka kedepannya tidak bisa punya keturunan. Kepercayaan ini sudah turun temurun.

Meski begitu, kaum lelaki tetap punya peranan sendiri selama proses pembuatan gerabah. Diantaranya mengambil tanah liat dan memasarkan gerabah yang telah jadi.

“Ini keyakinan warga sini dari dulu, kalau laki-laki tidak boleh bikin gerabah. Akan mandul (tidak bisa punya anak),” lanjut Ahmad.

Tanah liat sebagai bahan dasar gerabah diambil di puncak bukit Pulau Mare. Tanah liat yang masih basah terlebih dulu dijemur sebelum dihaluskan dan dicampur dengan pasir pantai berwarna hitam. Setelah itu baru diproses menjadi gerabah. Prosesnya pun butuh waktu sekitar sepuluh hari.

Maryam, salah satu pengrajin gerabah Maregam, mengatakan bahan dasar kerajinan gerabah yang telah melewati proses tersebut kemudian dibentuk sesuai selera. Proses pembuatan gerabah itu masih menggunakan alat sederhana.

Karena pembuatan yang masih sederhana, gerabah yang dihasilkan juga sekitar lima jenis saja. Jenis-jenis kerajinan gerabah yang dihasilkan adalah forno (tempat membakar sagu), bura-bura (bahasa Tidore) atau ngura-ngura (bahasa Ternate) sebagai penutup masakan, dan hito (bahasa Tidore) atau tempat pembakaran dupa, serta beberapa jenis belanga dan kuali tradisional khas Maluku Utara.

Salah satu kendala mengapa Pulau Mare tidak menghasilkan gerabah modern, karena keterbatasan teknologi si pengrajin gerabah. Padahal salah seorang peneliti dari Jepang bernama Akary pada 1979 pernah melakukan penelitian kualitas tanah liat di Pulau Mare. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kualitas tanah liat di pulau ini tak kalah dengan tanah liat penghasil gerabah lainnya di Indonesia.

Pemasaran Gerabah

Setelah proses pembuatan gerabah selesai, warga Maregam kemudian memasarkan kerajinan mereka ke Pulau Ternate, Halmahera, Sorong, hingga Pulau Seram.

Penjualannya dilakukan 3 bulan sekali menggunakan kapal motor. Sekali penjualan, warga mengangkut 1.000 lebih gerabah milik 4 kepala keluarga. Satu buah gerabah dijual dengan harga Rp 20 ribu-70 ribu (tergantung jenis gerabah). Hasil penjualan semua gerabah yang dipasarkan bisa mencapai Rp 20 juta.

Melestarikan Adat Istiadat

Jenis-jenis kerajinan gerabah Maregam ini masing-masing memiliki peranan penting dalam melestarikan adat istiadat Moloku Kieraha (sebutan lain Maluku Utara).

Forno misalnya, merupakan alat percetakan sagu, adalah bagian dari perjuangan ketahanan pangan di Maluku Utara. Juga bura-bura yang digunakan untuk memasak kuliner khas Maluku Utara seperti kue apam Ternate, lapis Tidore dan Sanana.

Begitu pula sendok gerabah yang digunakan untuk membakar arang, dan hito untuk menaruh arang yang sudah dibakar bersama kemenyan. Dua perkakas ini dibuat untuk digunakan saat tahlilan. *

==========

Artikel ini telah mendapat pembaharuan. Pertama kali terbit pada Februari 2018 berjudul Cerita di Balik Keindahan Pulau Mare