Tidore  

Tentang Gerabah Pulau Mare Tidore

Avatar photo
Tentang Gerabah Pulau Mare Tidore
Pulau Mare. (Kieraha.com)

Pulau yang berpenduduk sekitar 1.000 orang itu dikenal sebagai penghasil gerabah. Terkenal hingga Halmahera, Provinsi Maluku dan Papua.

Ahmad Yusuf, warga Desa Maregam, Kecamatan Tidore Selatan, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, mengatakan nama pulau tersebut berasal dari kata More, dalam bahasa setempat artinya dia yang menunjuk pada seorang perempuan.

Di Pulau Mare, kata Ahmad, terdapat beberapa keunikan yang tersembunyi, pada pulau yang memiliki luas daratan mencapai sekitar 200 hektare atau 20 kilometer per segi itu.

Ahmad mengemukakan, di pulau tersebut ada sebuah batu berbetuk kelamin perempuan dan benteng peninggalan penjajah.

Topografi pulau kecil itu berbukit dan berbatu. Di puncak bukit pulau itu, sebagian besar ditumbuhi alang-alang, dan bagian tengah pulau ditanami kelapa dan pala.

Ahmad menyatakan, Pulau Mare dahulu pernah dihuni ribuan ekor menjangan atau rusa. Namun, seiring waktu karena banyak diburu orang akhirnya ia pun punah.

“Sekitar lima tahun lalu rusa masih terlihat bermain di belakang rumah saya. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah jarang, bahkan hampir tak ada (punah),” kata Ahmad.

Pulau Mare, yang masuk pada wilayah administrasi Kecamatan Tidore Selatan itu, memiliki dua desa, yakni Marekofo di bagian barat dan Maregam, bagian timur.

Artikel kieraha.com sebelumnya, yang terbit pada 2018 lalu, menyebutkan, di Desa Maregam, jumlah penduduknya mencapai 500 jiwa lebih, terdiri 100 KK dan 80 rumah. Di desa tersebut, tersedia satu masjid, SD dan SMP.

“Pada pagi hari, ikan lumba-lumba sering bermain di depan desa ini,” lanjut Ahmad.

Rata-rata mata pencahrian penduduk Desa Maregam dan Marekofo adalah nelayan. Namun, untuk penduduk Maregam lebih mengutamakan kerajinan gerabah sebagai sumber pendapatan utama. Gerabah yang dihasilkan masih tradisional.

Tentang gerabah

Ada yang unik dari proses pembuatan gerabah di Desa Maregam. Warga di sana percaya, pembuatan gerabah harus dilakukan oleh perempuan.

Mitosnya, jika kaum laki-laki yang terlibat mengerjakan gerabah maka kedepannya tidak bisa mendapat keturunan. Kepercayaan ini sudah turun temurun.

Meski begitu, kaum lelaki tetap punya peranan sendiri dalam proses pembuatan gerabah. Mengambil tanah liat dan memasarkan gerabah diantaranya.

”Iya, itu keyakinan warga di sini sejak dulu, kalau laki-laki tidak bisa bikin gerabah karena akan mandul atau tidak bisa punya anak,” sambung Ahmad.

Tanah liat sebagai bahan dasar pembuatan gerabah itu diambil di puncak bukit Pulau Mare. Tanah liat yang masih basah kemudian dijemur terlebih dahulu, sebelum dihaluskan dan dicampur dengan pasir pantai berwarna hitam. Setelah itu, diproses menjadi gerabah. Prosesnya pun membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari.

Maryam, salah satu pengrajin gerabah Maregam, mengatakan bahan dasar kerajinan gerabah yang telah melewati proses tersebut kemudian dibentuk sesuai selera.

Proses pembuatan gerabah Maregam masih menggunakan alat sederhana. Sehingga gerabah yang dihasilkan juga sekitar lima jenis saja.

Jenis-jenis kerajinan gerabah yang dihasilkan adalah forno (tempat membakar sagu), bura-bura (bahasa Tidore) atau ngura-ngura (bahasa Ternate) sebagai tempat untuk menutup masakan kuliner, dan hito (bahasa Tidore) tempat pembakaran dupa, serta beberapa jenis belanga dan kuali tradisional khas Moloku Kie Raha.

Melestarikan adat

Kerajinan gerabah Maregam yang dihasilkan pun memiliki peranan penting dalam melestarikan adat istiadat di Moloku Kie Raha (sebutan lain Maluku Utara).

Forno misalnya, merupakan alat percetakan sagu, adalah bagian dari perjuangan ketahanan pangan di Maluku Utara, juga bura-bura sebagai alat memasak kuliner khas Maluku Utara seperti kue apam Ternate, lapis Tidore dan lapis Sanana.

Begitu pun sendok gerabah, yang digunakan untuk membakar arang, dan hito untuk menaruh arang yang sudah dibakar bersama kemenyan. Dua perkakas ini dibuat untuk digunakan saat tahlilan mendoakan orang maupun hajatan orang meninggal.

Redaksi
Editor

==========

Artikel ini telah mendapat pembaharuan. Pertama kali terbit pada 18 Februari 2018 berjudul Cerita di Balik Keindahan Pulau Mare hingga Ribuan Ekor Rusa Punah