Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIT, Muhammad Tulaher Hadi, warga Kelurahan Santiong, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Maluku Utara, membersihkan pelataran depan rumah miliknya. Sinar matahari sore yang masih terasa panas tak membuatnya beristirahat menyelesaikan pekerjaan rutin yang dilakukan sehari-hari.
Dengan cekatan halaman rumah seluas 5×5 meter diselesaikan dengan tempo kurang dari 30 menit. Senyumnya terlihat jelas mengembang, saat halaman rumahnya telah bersih dari sampah daun kering dan plastik.
Sesekali Muhammad Tulaher menarik nafas, rasa tak percaya telah memiliki rumah layak huni ukuran 7×8 meter, berkat program barifola yang digagas Ikatan Keluarga Tidore (IKT) Maluku Utara.
Sebelumnya, rumah milik lelaki 59 tahun itu terlihat kumuh dan hanya beratapkan daun rumbia. Bentuk bangunannya masih berdindingkan batang pohon sagu yang disusun berdiri dan miring.
“Saya senang dengan pekerjaan ini, jujur saya masih tidak percaya, kalau rumah yang saya tempati ini sudah permanen,” kata Muhammad Tulaher, usai bedah rumah miliknya, awal 2017.
Program Barifola merupakan tradisi gotong-royong membangun rumah warga kurang mampu. Sejak 2008 program ini digagas IKT Maluku Utara. Kini sudah membangun 180 unit rumah keluarga miskin secara swadaya.
Secara historis, tradisi ini mulanya pada abad 13. Kala itu digunakan Kesultanan Tidore untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Barifola sendiri berasal dari bahasa Tidore yaitu bari artinya saling membantu (gotong royong) dan fola yaitu rumah. Barifola diartikan sebagai kegiatan gotong-royong membangun rumah.
Di era 1990-an, tradisi ini sempat mengalami degradasi nilai. Hanya dipakai warga untuk membangun rumah ibadah semata. Berjalannya waktu tradisi ini kembali dibudayakan pada 2008, seiring banyak anggapan bahwa rumah layak huni saat ini menjadi penilaian terhadap strata sosial kelompok masyarakat moderen. Semakin bagus dan mewah rumah yang dimiliki semakin banyak orang yang menghormatinya, begitu sebaliknya.
“Saya tidak menyangka di jaman sekarang masih banyak orang yang peduli untuk saling berbagi dan bergotong royong,” ucap Muhammad Tulaher sembari mengemukakan untuk membangun satu unit rumah layak huni saat ini membutuhkan biaya sebesar Rp 80-100 juta.
Warga Kelurahan Jambula, Kecamatan Ternate Selatan, Hamid Samsia (54), yang juga mendapat bantuan bedah rumah barifola, mengemukakan, barifola merupakan penggerak semangat kebersamaan antar warga. Tradisi ini dinilainya dapat merajut rasa kesetiakawanan antar sesama sehingga tak ada jurang pemisah.
Lelaki yang kesehariannya sebagai buruh lepas ini, sebelumnya memiliki rumah ukuran 7×7 meter berdinding ayaman bambu. Kini rumah miliknya berubah menjadi bangunan permanen dengan tiga kamar tidur.
“Semuanya menjadi satu untuk saling membantu. Makanya saya menganggap barifola mempunyai manfaat, terutama tentang kebersamaan antar sesama warga,” katanya.
Nilai Dasar
Secara sosiologis, tradisi barifola bermanfaat mendorong tumbuhnya solidaritas sosial terhadap sesama. Barifola merupakan role model tentang ketakwaan sosial yang mulai rapuh oleh sifat individualitas. Bahkan barifola lebih menunjukan nilai etos sosial karena melibatkan seluruh masyarakat, yang lebih didasarkan pada rasa kepedulian.
“Tradisi barifola sesungguhnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang pada hakekatnya menitikberatkan pada memeratakan kepentingan bersama. Sehingga bagi saya, tradisi ini sangat baik dan bisa menghilangkan kesenjangan sosial di masyarakat, yang di era saat ini lebih banyak dinilai dari ukuran materi,” kata Herman Usman, staf pengajar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate.
Untuk bisa memperoleh bantuan bedah rumah dari program barifola tidaklah mudah. IKT memberlakukan standar penilaian tinggi untuk kelompok keluarga yang akan dibantu. Standar penilaian itu, meliputi pendapatan keluarga yang harus di bawah rata-rata atau minimal pendapatan sebesar Rp 700 ribu sebulan.
Selain itu, dilihat dari status keluarga sebagai duda atau janda, artinya keluarga yang akan dibantu merupakan orang yang tak lagi berkeluarga utuh namun memiliki tanggungan ekonomi yang cukup besar. Dan juga menyangkut tanah dan rumah yang akan dibangun merupakan hak milik sendiri dan tidak bermasalah secara hukum.
“Selebihnya mendapatkan rekomendasi dari aparat kelurahan yang menjelaskan keluarga yang akan dibantu benar-benar kelompok keluarga tak mampu, dan telah lulus dari supervisi tim yang dibentuk Ikatan Keluarga Tidore. Standar nilai ini diberlakukan dengan tujuan agar program barifola benar-benar tepat sasaran dan bisa dirasakan keluarga yang membutuhkan,” kata Rizal Marsaoly, Sekretaris IKT Maluku Utara.
Dia mengatakan untuk membangun satu unit rumah keluarga tak mampu, IKT melibatkan sedikitnya 30 orang tenaga kerja yang terdiri dari 5 orang tenaga tukang dan 25 orang tenaga lapangan. Semuanya merupakan tenaga kerja sukarela yang merupakan masyarakat Tidore dan tidak diberi upah dalam berkerja.
“Semuanya melakukannya secara sukarela. Hanya saja tuan rumah diwajibkan menyediakan teh dan kopi untuk tukang. Selebihnya seperti makan disiapkan kelompok ibu-ibu dari ikatan keluarga Tidore. Jadi semuannya murni gotong royong,” kata Rizal.
Ketua IKT Maluku Utara Burhan Abdurahman menceritakan awal mulanya gerakan tradisi barifola, dari gagalnya program ekonomi kerakyatan yang digagas pada 2007. Kala itu program yang dilakukan adalah koperasi sembilan bahan pokok untuk membantu keluarga miskin. Dalam perjalanannya koperasi cenderung mengalami kerugian dan membutuhkan pembiayaan cukup besar. Gerakan koperasi pun tidak berlangsung lama.
“Karena gagal, pada 2008 itulah digagas model gerakan sosial yang memiliki nilai manfaat tinggi seperti tradisi barifola. Sebagai langkah awal, dilakukanlah penggalangan dana dengan nama gerakan cala moi atau seribu rupiah yaitu gerakan untuk mendorong masyarakat Tidore di Ternate untuk saling berbagi antar sesama. Hasilnya, dana yang terkumpul sebesar Rp 17 juta,” kata Burhan.
Dari hasil penggalangan dana itu, pengurus IKT kemudian mengunakannya sebagai biaya bangun rumah tak layak huni milik salah satu keluarga di Kelurahan Santiong. Dana itu dipakai membeli material bangunan seperti semen dan kayu. Dalam pembangun ada donatur yang menyumbangkan material berupa batu dan pasir.
“Jadi inti dari tradisi barifola adalah beramal, ajang silaturrahim dan membangkitkan budaya gotong-royong yang mulai ditinggalkan masyarakat kita saat ini,” katanya.
Sejak dicetuskan pada 2008, tradisi barifola kini sukses membangun 180 rumah tak layak huni milik keluarga tak mampu di Tobelo, Morotai, Bacan dan Ternate. Dana yang digunakan untuk pembangunan ratusan rumah tersebut lebih dari Rp 10 miliar yang setiap unit rumah dibangun dibutuhkan dana Rp 60-80 juta.
Uniknya semua dana merupakan sumbangan IKT di Ternate. Pengelolaannya pun dilakukan secara mandiri, tanpa konsultan maupun staf pengelola keuangan layaknya lembaga profesional.
“Jadi setiap dana terkumpul langsung pakai habis untuk membangun rumah, tidak ada dana yang mengendap dalam waktu lama. Kalau sudah cukup untuk satu rumah maka langsung digunakan habis. Dan beruntung sampai sekarang tidak ada penyalahgunaan anggaran,” tutup Burhan.