Sekretariat Just Energy Transition Partnership atau JETP meluncurkan draf Comprehensive Investment and Policy Plan pada awal November 2023 lalu, mendapat tanggapan miring dari sejumlah pihak.
Communication Specialist 350.org Indonesia Firdaus Cahyadi menyatakan, Comprehensive Investment and Policy Plan atau CIPP yang peluncurannya sempat terlambat ini, belum mencerminkan keadilan iklim.
“Sayangnya dokumen CIPP itu belum mencerminkan keadilan iklim,” ujar Firdaus, di Jakarta, Rabu 8 November 2023.
Ia menjelaskan, penyusunan CIPP merupakan syarat pendanaan dalam skema JETP kepada Indonesia, setelah berhasil menggalang dukungan negara-negara industri maju untuk proyek transisi energi, dalam KTT G20 di Bali tahun lalu.
Skema pendanaan tersebut, lanjutnya, demi mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca atau GRK, sebagai penyebab krisis iklim dari sektor energi.
Bagi Firdaus, salah satu poin yang tidak mencerminkan keadilan iklim tersebut tampak dari tidak adanya skema pendanaan bagi pengembang energi terbarukan berbasis komunitas. Padahal, dengan kesempatan tersebut bisa membuka akses warga miskin di daerah terpencil terhadap listrik.
“Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan lainnya, hak atas energi adalah bagian dari hak atas pembangunan, dan konsekuensi dari hak itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya,” tuturnya.
Sementara Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice atau IGJ mengemukakan, ketidakadilan itu pun tercermin dari komposisi pendanaan JETP yang masih didominasi oleh hutang luar negeri.
Menurut Maulana, hal ini merupakan jebakan baru bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan dalih transisi energi.
“Karena negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) dominan memberikan pendanaan dalam bentuk hutang sebesar USD 6.936,5 million sementara dana hibahnya hanya sebesar USD 292 million,” katanya.
BACA JUGA Aktivis Lingkungan Pertanyakan Komitmen Penanganan Krisis Iklim Para Capres
Ini artinya, lanjut Maulana, hanya terdapat komposisi hibah sebesar 2,5 persen dan 97,5 persen adalah hutang. Sehingga secara terang-terangan negara-negara maju tidak serius dalam melakukan transisi energi yang berkeadilan.
“Indonesia sebagai negara penerima dana JETP seharusnya berhati-hati terhadap mekanisme pendanaan JETP,” tambahnya.*