Hashim S Djojohadikusumo, kepala delegasi Indonesia untuk COP29, di Baku, Azerbaijan, mengumumkan program baru senilai US$235 miliar yang mencakup pembangkitan 75 GW energi terbarukan dari sumber-sumber seperti panas bumi, tenaga air, dan energi nuklir.
Pemerintah juga mengemukakan komitmennya untuk bermitra dengan perusahaan-perusahaan multinasional dalam Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau CCS, yang menekankan potensi penyimpanan karbon Indonesia yang besar.
Hal itu mendapat tanggapan dari Ketua Tim 350.org Indonesia Sisilia Nurmala Dewi. Meskipun ia senang mendengar upaya pemerintah meningkatkan kapasitas energi terbarukannya, namun Sisilia khawatir rencana tersebut sebagai solusi palsu, karena bertumpu pada teknologi yang lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaatnya.
“Rencana untuk membangun pusat tenaga nuklir bukanlah pertanda baik, karena potensinya yang besar untuk membahayakan masyarakat sekitar serta lingkungan, seperti yang telah ditunjukkan oleh bencana nuklir di seluruh dunia,” tuturnya kepada kieraha.com, Rabu 13 November 2024.
Selain karena mahal, bagi Sisilia, rencana tersebut mendingan diarahkan untuk desentralisasi produksi sumber daya energi angin, matahari, dan mikrohidro yang telah terbukti bermanfaat bagi masyarakat, sekaligus menghasilkan kapasitas energi tambahan bagi Indonesia.
Sementara itu, katanya, CCS tidak terbukti berdampak pada pengurangan emisi, sekaligus telah lama terbongkar sebagai skema oleh perusahaan bahan bakar fosil untuk melanjutkan bisnis seperti biasa.
“Alih-alih menjaga bahan bakar fosil tetap ada, CCS memperpanjang umur industri bahan bakar fosil, dengan sebagian besar karbon yang ditangkap digunakan untuk mengekstraksi lebih banyak minyak melalui proses Enhanced Oil Recovery,” sebut Sisilia.
Tidak mengherankan jika raksasa minyak, seperti BP, Chevron dan ExxonMobil sedang berunding dengan pemerintah untuk pengembangan CCS. Katanya, hal ini sangat mengkhawatirkan karena Indonesia belum membuat komitmen yang jelas untuk menghapus bahan bakar fosil sebagai bagian dari tujuan iklim nasional, dan mengingat pengumuman terbaru pemerintahan Prabowo tentang perluasan eksplorasi minyak dan gas.
Sisilia mendesak pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030 secara adil. Ini berarti, lanjutnya, memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah untuk kepentingan rakyat.
Dia juga menolak memberikan dukungan terhadap proyek energi terbarukan skala besar yang merugikan masyarakat dan lingkungan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air dan bendungan PLTA yang besar.
“Kami menyerukan proyek energi terbarukan yang terdesentralisasi untuk mencapai kedaulatan energi masyarakat, memperkuat ketahanan energi nasional, dan memberikan tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim yang dibutuhkan dunia,” tutupnya.*