Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ini terungkap dalam seri diskusi via zoom yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI dalam rangkaian kegiatan HUT ke 27, Selasa 3 Agustus 2021.
Kegiatan yang bertajuk Mengenali dan Melawan Kekerasan Berbasis Gender Online ini dimulai pada pukul 12.00 dan berakhir pukul 14.00 WIT. Diskusi ini menghadirkan pembicara dari Dewan Pers, SAFEnet, Lembaga Bantuan Hukum atau LHB APIK Jakarta, dan AJI.
BACA JUGA Laut Masih Jadi Tempat Akhir Sampah di Ternate
Mengawali pembicaraan, Ellen Kusuma, dari SAFEnet menyampaikan bahwa KBGO bukan hanya terjadi ketika terhubung dengan internet saja. Namun ketika kekerasan berbasis gender difasilitasi oleh ragam teknologi digital.
“Baik hardware (perangkat keras) berupa handphone, laptop, dan flash disk. Maupun software (perangkat lunak) yakni berbagai aplikasi seperti sosial media, chatting dan game,” tuturnya.
Sementara itu, menurut Tuani Sondang Rejeki Marpuang dari LBH APIK, menyebutkan bahwa ketersediaan instrumen hukum yang belum memadai menyebabkan penanganan kasus KBGO mengalami kendala, seperti penentuan yurisdiksi atau tempat terjadinya tindak pidana sampai keterbatasan ahli untuk mengaitkan KGBO dan UU ITE.
Menurut catatan LBH APIK, lanjutnya, dalam rentang waktu 2020 sampai 2021 telah terjadi peningkatan jumlah kasus KGBO di Jakarta. Mengacu kepada hotline pengaduan dari 2 November 2020 – 25 Juni 2021, LBH APIK menerima 133 pengaduan dengan jenis KBGO, atau terbanyak kedua dari 143 laporan KDRT.
Ia menyatakan, peningkatan kasus ini dari tahun ke tahun karena minimnya pengetahuan tentang keamanan digital dan privasi, serta minimnya pemahaman gender dan seksualitas di publik. Sementara itu, katanya, aparat penegak hukum juga belum memiliki perspektif korban, dan belum tersedianya payung hukum untuk korban KBGO.
“Fitur report (sistem pelaporan) dalam platform media sosial belum tanggap dan sigap, serta koordinasi antar layanan belum maksimal,” katanya.
Kondisi di Maluku Utara
Pemerhati Perlindungan Perempuan dan Anak, Yulia Pihang menyatakan, kekerasan jenis KBGO juga telah terjadi di Maluku Utara. Pemahaman patriarki yang kental membuat korban KBGO sebagian besar didominasi oleh perempuan. Kejadian tersebut marak terjadi kepada perempuan remaja dan dewasa yang telah menggunakan teknologi.
“Saya sendiri bahkan pernah mengalami kejadian serupa,” aku perempuan yang akrab disapa Uli, ketika dikonfirmasi kieraha.com, melalui telepon, di Ternate, Selasa 3 Agustus.
Perempuan yang aktif dalam isu-isu perlindungan perempuan dan anak ini mengaku, pengalamannya dalam mengawal kasus yang sama di Halmahera Utara. Pelaku melakukan aksinya dengan mengancam akan menyebarkan foto-foto korban jika tidak menuruti kemauannya.
Pentingnya Saling Mengedukasi
Widia Primastika, Devisi Gender Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia mengemukakan, dirinya pernah terlibat dalam riset yang dilakukan oleh AJI di Jakarta pada 2020. Dalam riset tersebut, ditemukan sebagian besar jurnalis perempuan pernah mengalami hal serupa. Berasal dari rekan-rekan dan narasumber. Kejadiannya di kantor dan juga di lapangan.
“Biasanya berbentuk chat bernuansa seks maupun doxing (ancaman menyebarkan informasi pribadi secara publik),” lanjut Tika dalam diskusi HUT AJI ke 27.
Selain itu, menurut Tika, terkadang tanpa disadari jurnalis juga menjadi pihak yang melakukan KBGO dengan mengekploitasi tubuh seseorang dalam melakukan pemberitaan. Hal ini diakibatkan minimnya pemahaman jurnalis yang berbasis jender. Seperti penggunaan diksi dalam penulisan berita yang kerap merugikan objek pemberitaan.
“Sebagai jurnalis kita harus sadar bahwa kita punya etika. Serta, mampu mengajak masyarakat agar tidak takut untuk melaporkan ke Dewan Pers dengan pemberitaan (yang mengandung unsur KBGO) kayak begitu,” ujarnya.
BACA JUGA Anak Muda yang Memilih Jadi Petani di Halmahera Sukses Raup Belasan Juta per Bulan
Hal yang sama disampaikan oleh Agung Dharmajaya, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers. Pada diskusi tersebut, Agung menyebutkan, hal ini menjadi tanggungjawab bersama. Maka harus ada upaya untuk saling mengedukasi kepada pewarta, aparat penegak hukum, dan stakeholder yang bersinggungan dengan persoalan tersebut.
“Dewan pers akan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk. Namun, hanya pada ranah etik,” tambahnya.