Ada empat spesies tuna dengan nama latin Thunnus spp di perairan Maluku Utara. Semuanya memiliki keturunan yang sama. Ini berdasarkan kajian dari sejumlah peneliti melalui analisis filogenetik ikan tuna yang menunjukkan terdapat empat clade yang berbeda, namun tidak terdapat perbedaan genetik yang signifikan di antara spesies itu.
Para peneliti ini masing-masing Nebuchadnezzar Akbar, Irmalita Tahir dan Abdurrachman Baksir (Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Ternate), Muhammad Aris dan Muhammad Irfan (Program Studi Budidaya Perairan Universitas Khairun, Ternate), Surahman (Program Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Khairun, Ternate), Hawis H Madduppa (Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB, Bogor) dan Raismin Kotta (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ternate). Penelitian ini dengan judul Filogenetik ikan tuna (Thunnus spp) di Perairan Maluku Utara, Indonesia.
Di perairan Indonesia terdapat beberapa jenis tuna di perairan Indonesia. Empat jenis tuna yang dijadikan sampel penelitian adalah tuna mata besar (Thunnus obesus atau Bigeye), tuna sirip kuning (Thunnus albacares atau Yellowfin), tuna alalunga (Thunnus alalunga atau Albacore) dan cakalang (Katsuwonus pelamis atau Skipjack).
BACA JUGA
Deretan ‘Spot Diving’ yang Wajib Dikunjungi di Ternate
Perairan Maluku Utara secara geografis terletak di bagian timur Indonesia yang dibatasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Halmahera, dan Laut Seram. Kedudukan ini menyebabkan perairan tersebut dipengaruhi oleh massa arus lintas Indonesia (Arlindo).
Melalui Arlindo terjadi rute pertukaran gen antara organisme tropis di Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik yang terus berlangsung hingga saat ini.
Arlindo merupakan aliran arus antarsamudra yang melewati Indonesia dan memiliki peranan yang penting dalam system sirkulasi massa air yaitu menyuplai massa air ke Samudra Hindia.
Gordon (2005) melaporkan perairan Maluku Utara dilewati arus termoklin Pasifik Selatan dan termoklin Pasifik Utara. Pembentukan arus ini akan membantu ikan khususnya tuna dalam beruaya dan bertemu antarpopulasi.
Ikan tuna merupakan spesies pelagis yang beruaya jauh. Menyebar secara luas dan beruaya mengikuti pola arus perairan.
Hal ini memberikan peluang ikan bertemu dengan populasi yang lain di perairan. Arus laut ini dapat memengaruhi persebaran populasi dan struktur genetik ikan.
Penelitian filogenetik ikan tuna telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Seperti Chow & Kishino (1995), Finnerty & Block (1995), Elliott & Ward (1995), Bremer et al. (1997), Chow et al. (2003) yang melihat hubungan filogenetik diantara spesies tuna dengan menggunakan genom mitokondria dan nuclear.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat di antara spesies tuna dan terjadi pengelompokan yang berbeda antarspesies.
Penelitian ikan tuna sendiri di Indonesia dilakukan oleh Permana et al (2007) yang mengkaji variasi genetik ikan tuna sirip kuning. Penelitian lainnya dilakukan Suman et al (2013) yang melihat struktur genetik ikan tuna pada spesies tuna mata besar.
Adapun kajian filogenetik ikan tuna di Indonesia sendiri, hingga sekarang belum terpublikasi dan ditemukan.
Analisis hubungan filogenetik ikan tuna menggunakan teknik DNA sequencing. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan informasi genetik dan metode untuk memperoleh urutan basa nukleotida pada molekul DNA.
DNA sekuensing merupakan satu-satunya metode untuk mengidentifikasi pasangan basa dengan tepat antara individu yang berbeda dan memungkinkan untuk menyimpulkan hubungan evolusi. Selain itu, teknik ini sangat mudah, cepat, efisien sehingga banyak digunakan sebagai aplikasi dasar.
Ilmu filogenetik dapat memperkirakan evolusi yang terjadi pada masa lalu dengan membandingkan sekuen DNA atau protein. Filogenetik dapat menunjukkan hubungan evolusioner suatu organisme yang disimpulkan dari data morfologis dan molekuler.
Hasil penelitian Thunnus spp di Perairan Maluku Utara, “Secara umum dapat dijelaskan bahwa spesies tuna berasal dari satu keturunan dan secara filogeografi tidak memiliki batas distribusi yang nyata.” Demikian kesimpulan para peneliti yang dimuat dalam Jurnal Iktiologi Indonesia (2018). **