Opini  

DPD dan Fungsi Legislasi yang Setengah Hati

Avatar photo
Ilustrasi. (Hukum Online)

Keberadaan DPD ini harus lebih diperhitungkan karena fungsi legislasi yang belum seimbang dalam upaya menciptakan mekanisme checks and balances.

Anan Mujahid
Penulis

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kehadiran lembaga Dewan Perwakilan Daerah atau DPD diperlukan untuk mengakomodasi aspirasi daerah dan memberi peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dari Pemerintah Pusat. Yang tentunya ini berkaitan dengan penyaluran kepentingan agar dapat mengatasi kesenjangan.

Sebelum pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik membuat beberapa daerah merasa tidak puas, sehingga terjadi konflik yang menggangu stabilitas negara.

Untuk mencegah hal yang sama terjadi, sesudah perubahan UUD 1945 dengan spirit reformasi, dibentuklah DPD yang anggotanya dipilih langsung dari setiap Provinsi melalui Pemilu lima tahun sekali.

Gagasan awal pembentukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, didasari oleh keinginan antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memperbaiki hubungan kerja. Ini tentunya merupakan upaya melaksanakan mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara cabang kekuasaan lain, maupun kekuasaan legislatif itu sendiri.

Berdasarkan UUD 1945, kewenangan DPD terdapat dalam Pasal 22C dan 22D yang berjumlah 8 butir ayat dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam UU P3, UU MD3 dan peraturan DPD tentang tata tertib.

Secara garis besar, dapat diketahui bahwa fungsi legislasi yang dimiliki DPD, antara lain mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah; memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan tentang anggaran pendapatan dan belanja negara; rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; pembentukan dan pemekaran suatu wilayah; serta hal-hal lain yang berkaitan dengan daerah.

Dalam menjalankan fungsi legislasi, kewenangan yang dimiliki DPD tentunya masih sangat terbatas, karena hanya membahas RUU pada tahapan awal dan tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan atau mengesahkan. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 Ayat 1 dan 2 UUD 1945, kekuasaan legislatif untuk membentuk UU tidak berada di tangan DPD.

Dari fungsi legislasi DPD yang masih sangat terbatas, tentu belum sepenuhnya mencerminkan gagasan awal tentang pembentukan lembaga ini. Karena posisi DPD menjadi subordinat terhadap fungsi legislasi DPR atau disebut juga sebagai co-legislator.

Sebenarnya, upaya DPD untuk mencari keadilan agar lebih berperan aktif dalam merumuskan hingga menetapkan suatu peraturan undang-undang sudah pernah dilakukan. Dengan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU MD3 (UU Nomor 27 Tahun 2009) dan UU P3 (UU Nomor 12 Tahun 2011). Permohonan tersebut diterima oleh kepaniteraan MK pada tanggal 14 september 2012, berdasarkan akta penerimaan berkas permohonan Nomor: 320/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam registrasi perkara Nomor: 92/PUU-X/2012.

Atas pengujian tersebut MK menyimpulkan beberapa pokok persoalan konstitusional DPD, yakni; Kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur dalam Pasal 22D Ayat 1 UUD 1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari presiden dan DPR; Kewenangan DPD ikut membahas RUU bersama DPR dan presiden, DPD memiliki kewenangan memberi persetujuan atas RUU yang disebut dalam pasal 22D UUD 1945; Keterlibatan DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) yang menurut DPD sama dengan keterlibatan Presiden dan DPR; dan Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebut pada pasal 22D UUD 1945.

Pasca putusan MK Nomor: 92/PUU-X/2012, DPD menjadi setara dengan DPR dan Presiden di bidang legislatif sehingga DPD berwenang mengajukan RUU yang akan dibahas dan ditanggapi oleh DPD dan Presiden. Hasil dari putusan ini adalah terciptanya legislasi model trikameral (DPR – DPD – Presiden).

Meskipun hasil dari putusan ini menciptakan proses legislasi model trikameral, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa DPR lebih banyak berperan dalam proses legislasi, dan terlihat jelas bahwa fungsi yang dimiliki DPD dapat dikatakan masih setengah hati. Karena dalam proses legislasinya, DPD masuk dalam kamar legislasi DPR dan model legislasi trikameral menjadi bikameral.

Olehnya itu, keberadaan DPD ini harus lebih diperhitungkan karena fungsi legislasi yang belum seimbang dalam upaya menciptakan mekanisme check and balances.

Tentu yang diharapkan ialah kewenangan DPD kedepannya harus lebih diperkuat melalui ketentuan yang baru. Bahkan jika perlu dengan kebutuhan negara meskipun terdengar sangat mustahil dan akan menghabiskan waktu yang cukup lama, UUD harus diamandemen untuk yang kelima kalinya. **

==========

Penulis adalah Mahasiswa Semester VII Fakultas Hukum UMMU Ternate.