Tak jarang kita mendengar seorang terdakwa atau keluarganya yang mengeluh besarnya biaya dalam proses hukum, hingga menjual rumah dan harta bendanya untuk bisa keluar dari permasalahan hukum yang dialami.
Penanganan perkara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP pada akhir-akhir ini dirasakan semakin banyak kebutuhan keadilan yang tidak terakomodir, khususnya menyangkut aspek kepastian hukum yang menjadi tuntutan masyarakat atau pun para pencari keadilan. Meski beberapa ketentuan dalam hukum acara pidana telah dianulir untuk mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam proses beracara melalui proses uji materiil Mahkamah Konstitusi, yang antara lain menyangkut ruang lingkup praperadilan dan masih banyak norma baru yang terkait pelaksanaan hukum acara pidana yang dianggap menghambat pencarian keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Selain aspek perundang-undangan sebagai sebuah sistem yang perlu diperbaiki, aspek struktur adalah yang paling utama, yaitu unsur aparat atau lembaga yang merupakan pelaksana dari undang-undang yang membutuhkan reformasi struktural seperti revolusi mental, berupa tekad (political will) yang kuat dan mendasar yang bersifat paradigmatik, berani mengadakan perubahan mendasar dalam paradigma berhukum tidak sekedar civil service tetapi lebih ke judicial service.
Perubahan paradigma dan pelayanan yang berkualitas adalah dua dari enam bagian perubahan yang dikenal dalam program pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) serta Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) sebagai aspek manajemen perubahan.
Keadilan pertama
Asas peradilan cepat, murah, dan sederhana merupakan keadilan prosedural yang pertama bagi pencari keadilan, masih menjadi hal yang sulit diwujudkan dalam praktek, mengingat masih saja kita mendengar orang berurusan dengan hukum khususnya perkara pidana, baik yang sampai ke pengadilan dan divonis maupun yang tidak sampai ke pengadilan, yang begitu lama sehingga mereka harus bolak-balik ke Aparat Penegak Hukum dan tentunya makin banyak biaya yang dikeluarkan.
Tak jarang kita mendengar seorang terdakwa atau keluarganya yang mengeluh besarnya biaya dalam proses hukum, hingga menjual rumah dan harta bendanya untuk bisa keluar dari permasalahan hukum yang dialami.
Demikian juga fakta yang masih saja terjadi hingga saat ini yang kita dengar dari pelapor maupun terlapor, baik yang sudah memiliki status tersangka atau belum mengalami proses hukum yang tidak berkepastian dengan berbagai argumentasi hukum sebagai dasar hukum. Berbagai argumentasi yang dijadikan alasan pembenar adalah belum adanya alat bukti yang cukup untuk menaikkan penyidikan atau belum cukup bukti untuk menetapkan sebagai tersangka atau pun juga terjadi alasan berkas bolak-balik dari kejaksaan dengan alasan belum cukup bukti untuk perkara yang sudah diberkaskan dan sudah diserahkan ke kejaksaan (tahap 1).
Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kita taat pada asas peradilan cepat, murah dan sederhana. Karena dengan berlarut-larutnya penanganan perkara, asas peradilan cepat (speedy trial) ini menjadi mandul.
Lambatnya penyelesaian penanganan perkara yang menurut pengalaman dan data ketika penulis menjadi Koordinator pada Bidang Tindak Pidana Orang dan Harta Benda pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI yang memantau penanganan perkara seluruh Indonesia, terdapat penyidikan perkara yang mencapai 1 tahun hingga 5 tahun bahkan lebih tanpa kepastian hukum.
Fakta ini merupakan pelanggaran hak asasi, baik tersangka, korban atau pelapor maupun pihak lain yang terkait yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan sewenang-wenang aparatur karena pada prinsipnya penyidik dan penuntut umum juga telah diberikan kewenangan atributif oleh undang-undang untuk menghentikan perkara dan dapat dibuka lagi jika ditemukan bukti baru sebagaimana diatur dalam Pasal 109 KUHAP.
Kepastian hukum proses penyidikan
Penanganan perkara pidana dimulai sejak adanya laporan pidana oleh korban atau pelapor yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan oleh pihak Polri sebagai aparat yang berwenang melakukan penyidikan perkara pidana.
Dalam tulisan berupa telaahan ini, khusus menelaah perkara pidana yang sudah dikirimkan SPDP-nya ke Kejaksaan saja yang artinya sudah dilakukan penyidikan dan tidak menelaah yang masih berupa laporan dan penyelidikan karena belum menjadi ranah hukum kejaksaan sesuai undang-undang. Penyidikan yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum akan menjauhkan nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sebagai tujuan utama penegakan hukum (pidana).
Penyidikan yang berlarut-larut tidak saja merugikan pencari keadilan, tetapi juga berdampak pada kualitas pembuktian dalam proses pembuktian di pengadilan yang nantinya jaksa penuntut umum atau JPU lah yang harus mempertanggungjawabkannya di persidangan.
Kualitas alat bukti, baik saksi, surat, ahli dan keterangan tersangka serta barang bukti akan berkurang, bahkan menjadi tidak bernilai alat bukti bila perkara tersebut memakan waktu yang sangat lama. Seorang saksi atau pun ahli tentu mempunyai daya ingat yang terbatas, sehingga ketika di persidangan saksi dapat saja mengatakan sesuatu yang disampaikan di BAP dipersidangan menjadi lupa atau tidak tau, bahkan risiko saksi sudah tidak dapat ditemukan lagi karena pindah atau bahkan meninggal dunia.
Lamanya proses hukum yang biasanya dalam tahap penyidikan juga membuat saksi saksi serta ahli dalam perkara pidana menjadi terganggu dalam aktivitasnya karena tidak ada kepastian kapan akan hadir di pengadilan untuk menjadi sakasi atau ahli, padahal mereka selalu diwanti-wanti untuk datang menjadi saksi di pengadilan, karena ketidakhadiran mereka juga dapat diancam pidana Pasal 159 KUHAP. Demikian juga barang bukti yang disita mungkin saja terdapat barang milik pihak ketiga atau yang tidak akan dirampas atau dimusnakan, akan merugikan korban dan pemilik barang bukti karena selama belum ada vonis tidak dapat dipergunakan dengan bebas, termasuk menjual meski merupakan hak milik.
Dalam KUHAP, berapa lama proses penyidikan itu dilakukan tidak diatur, meskipun secara tersirat lamanya waktu penyidikan itu sama dengan lamanya masa penahanan tersangka, yaitu maksimal 120 hari. Namun dalam beberapa kasus terdapat perkara yang tidak dapat ditahan dan atau tersangka tidak dilakukan penahanan sehingga tidak ada batas waktu harus menyelesaikan penyidikan dan melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan. Alasan tidak ditahannya tersangka ini tentunya tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mematuhi prinsip speedy trial karena semua proses hukum termasuk penyidikan harus dilakukan dengan cepat, murah, dan biaya ringan.
Salah satu dampak hukum yang dapat merugikan penegakan hukum akibat lambatnya proses penyidikan (bertahun-tahun) adalah terkait gugurnya hak melakukan penuntutan karena kadaluwarsa. Ini bisa menjadi celah hukum yang dapat menggugurkan penuntutan perkara pidana demi hukum yang tentunya merugikan pencari keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Filosofi dari lembaga daluwarsa adalah adanya kemungkinan ingatan-ingatan saksi-saksi akan kejadian telah hilang akibat lamanya penyidikan serta akan semakin sulit mencari alat bukti seiring lamanya waktu berjalan.
Dalam Pasal 77 KUHP tersebut diatur daluwarsa 6 tahun untuk kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, 12 tahun bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, dan 18 tahun bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Sedangkan untuk pelanggaran daluwarsanya 2 tahun dan untuk tindak pidana di bidang percetakan 5 tahun. Daluwarsa mulai menghitung sejak tindak pidana dilakukan atau sejak diketahui.
Kewajiban penyidik kepolisian untuk menyampaikan SPDP kepada kejaksaan sebenarnya merupakan mekanisme pengawasan horizontal sebagai bentuk kontrol check and balances, namun apakah ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas perkara yang dikenal dengan tahap 1 ke kejaksaan menjadi kewenangan penyidik. Beberapa kasus yang SPDP-nya sudah diterima kejaksaan kemudian disusul dengan pemberitahuan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan).
SOP penanganan perkara pidana
Proses beracara dalam perkara pidana selain diatur dalam KUHAP dan undang-undang tertentu, teknis pelaksanaannya diatur dalam SOP penaganan perkara tindak pidana umum Kejaksaan RI telah diatur jangka waktu antara penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang dikenal dengan SPDP, dibatasi hingga 90 hari, dengan terlebih dahulu kejaksaan memberikan permintaan perkembangan penyidikan sebelum SPDP dikembalikan dan dihapus dalam register perkara kejaksaan.
Terdapat kekosongan hukum dalam proses ini, karena pengembalian SPDP bukan merupakan syarat penghentian penyidikan, sehingga penyidik tidak terpengaruh dengan pengembalian SPDP tersebut, dan kapan saja penyidik dapat mengirim lagi SPDP tersebut dan kejaksaan tidak dapat menolak. SOP terbaru di kejaksaan, penyidik wajib membuat Sprindik baru dan SPDP yang baru atas perkara SPDP-nya telah dikembalikan.
Berlarut-larutnya perkara juga dapat terjadi pasca penyerahan tahap 1, dikarenakan jaksa peneliti perkara mengembalikan berkas perkara untuk dilengkapi formil dan materilnya yang dikenal dengan istilah P.19 dalam bentuk tertulis dan selanjutnya apabila penyidik juga belum memenuhi berkas perkara dilanjutkan dengan berita acara koordinasi hingga tercapai kesepakatan, apakah petunjuk yang diberikan dapat dipenuhi atau tidak oleh penyidik untuk menjadi dasar Jaksa Peneliti berkas Perkara menyatakan lengkap atau tidak berkas perkara tersebut. Terdapat juga perkara pidana yang sudah dinyatakan sudah lengkap yang dikenal dengan istilah P.21 tapi tidak kunjung dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti oleh penyidik ke kejaksaan yang dikenal dengan penyerahan tahap 2, dengan berbagai alasan antara lain tersangka sudah dinyatakan DPO.
Pelanggaran hak asasi manusia
Kepastian hukum adalah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang paling asasi, khususnya masyarakat yang terlibat dalam permasalahan hukum (pidana) untuk menjamin hak-hak tersangka, korban, dan para pihak yang terkait dalam proses hukum, dan juga menghindari stigmatisasi masyarakat pada pelaku yang belum tentu dugaan sebagai pelaku tindak pidana itu terbukti atau tidak di pengadilan, serta menjamin hak-hak keperdataan yang bersangkutan yang dibatasi akibat adanya proses penyidikan. *
==========
Penulis adalah Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Putra Sulawesi Selatan yang lahir di Tanah Toraja ini pernah menjadi Penuntut Umum selama 9 tahun 6 bulan di KPK.