Opini  

Lelaki dan Perempuan dalam Seleksi Panwascam di Maluku Utara

Avatar photo
Putri Nurdiana Jailan. (kieraha.com)

Dari data hasil akhir seleksi Panwascam yang diumumkan ini tentunya mengabaikan kaum perempuan dalam hal menjadi penyelenggara Pemilu 2024. Padahal di era digital dan era 4.0 dengan masyarakatnya yang semakin maju menuju masyarakat era 5.0 ini, kaum perempuan dalam ruang publik sudah setara dengan kaum lelaki.

Putri Nurdiana Jailan, M.Si
Jurnalis dan Akademisi Universitas Bumi Hijrah Tidore

Pesta demokrasi di Tanah Air akan segera berlangsung pada tahun 2024. Untuk Pemilu dilaksanakan pada tanggal 14 Februari dan Pilkada pada 27 November.

Pemilu Serentak yang pertama kali digelar di Indonesia dan Maluku Utara pada khususnya ini tahapannya sudah berjalan sejak beberapa bulan terakhir.

Awal memulai pesta demokrasi ini biasanya dalam regulasi Pemilu dikenal dengan pra tahapan. Ini salah satunya perekrutan penyelenggara ad hock baik di lembaga KPU maupun Bawaslu.

Perekrutan penyelenggara ini telah menuai hasil melalui seleksi Panwascam dari enam nama menjadi tiga nama. Nama yang akan dilantik ini telah diumumkan oleh Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu di 10 kabupaten kota wilayah Provinsi Maluku Utara.

Komposisi Pengawas Kecamatan yang terpilih ini pun terbangun wacana bahwa masih jauh dari yang diamanahkan UU Pemilu. Salah satunya tentang hasil akhir dari seleksi ini yang dinilai tidak mengakomodir kuota keterwakilan 30 persen perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu atau partai politik harus menjadi perhatian utama. Tentunya dengan memperhatikan kapasitas dan loyalitas yang sama antara kaum lelaki dan perempuan.

Indikator dari perekrutan Panwascam seharusnya berdasar pada kemampuan dan integritas seseorang dan bukan karena dia lelaki atau perempuan atau karena kedekatan dengan golongan tertentu. Karena kaum perempuan saat ini sudah sangat maju dan setara dalam bidang apapun bisa mengambil peran. Apalagi hanya sebagai penyelenggara Pemilu. Sehingga pada Pemilu 2024 sudah seharusnya kuota keterwakilan perempuan wajib diterapkan sebagaimana bunyi Pasal 10 Ayat 7 dan Pasal 92 Ayat 11 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Pada pasal ini harus dimaknai bahwa kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu wajib mencapai 30 persen. Tidak ada alasan untuk berargumentasi bahwa frasa ‘memperhatikan’ dimaknai sebatas imbauan.

Amanah UU ini perlu diterapkan hingga ke seleksi penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. Baik di tingkat Kecamatan, Desa maupun Kelurahan hingga ke tingkat PPS.

Sangat disayangkan karena kuota keterwakilan perempuan pada hasil akhir seleksi Panwascam di wilayah Maluku Utara pada Oktober 2022 ini mengabaikan kuota 30 persen. Hasil akhir dari seleksi Panwascam yang diumumkan di 8 kabupaten kota minus Sula dan Taliabu itu mencapai 294 orang, yang terdiri dari jumlah penyelenggara kaum lelaki 254 orang dan perempuan 40 orang.

Jumlah itu meliputi Kota Tidore Kepulauan 22 penyelenggara laki-laki dan 2 orang perempuan; Kota Ternate 23 laki-laki dan 1 perempuan; Pulau Morotai 17 laki-laki dan 1 orang perempuan; Halmahera Barat 24 laki-laki dan 3 perempuan; Halmahera Selatan 82 laki-laki dan 8 perempuan; Halmahera Tengah 20 laki-laki dan 10 perempuan; Halmahera Timur 23 laki-laki dan 7 perempuan; serta Halmahera Utara 43 penyelenggara laki-laki dan 8 orang perempuan.

Data hasil akhir seleksi Panwascam di 8 kabupaten kota itu menunjukkan, komposisi yang memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan hanya di Kabupaten Halmahera Tengah, yaitu dari total 30 orang; perempuan berjumlah 10 orang dan laki-laki 20 orang. Sedangkan hasil akhir untuk 7 kabupaten kota lainnya tidak mencapai kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Padahal, jika dilihat dari jumlah pendaftar perempuan yang diseleksi dari tes tertulis ke tes wawancara tercatat cukup banyak, misalnya di Kota Ternate hasil tes tertulis ke tes wawancara untuk jumlah perempuan mencapai 4 orang dan laki-laki 44 orang. Namun yang lolos seleksi wawancara dari 6 menuju 3 besar hanya 1 perempuan yang diloloskan. Kemudian di Kota Tidore Kepulauan, peserta perempuan yang mengikuti tes wawancara mencapai 7 orang dan laki-laki 41 orang. Namun, hasil akhirnya justru penyelenggara laki-laki yang masih mendominasi.

Dari data hasil akhir seleksi Panwascam yang diumumkan ini tentunya mengabaikan kaum perempuan dalam hal menjadi penyelenggara Pemilu 2024. Padahal di era digital dan era 4.0 dengan masyarakatnya yang semakin maju menuju masyarakat era 5.0 ini, kaum perempuan dalam ruang publik sudah setara dengan kaum lelaki. Bahkan dari Data Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia menunjukkan, kenaikan dari 71,39 persen pada 2016 menjadi 71,74 persen pada 2017, perempuan dapat memainkan peranan aktif dalam kehidupan ekonomi maupun politik.

Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tingkat pendidikan perempuan rata-rata saat ini lebih tinggi dari lelaki. Bahkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan justru nyaris sebanding dengan laki-laki yakni hanya di angka 55 persen sebagaimana data Kemenko PMK RI Tahun 2019.

Dari data ini sudah seharusnya seleksi penyelenggara Pemilu di Maluku Utara pada khususnya lebih memperhatikan kuota keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen sebagaimana amanah UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dan dengan hasil akhir seleksi ini biarkan masyarakat yang menilai terhadap proses perekrutan penyelenggara Pemilu tahun ini. Apakah sudah sesuai amanah UU ataukah hanya sebatas formalitas semata dalam mewakilkan kepentingan kelompok tertentu? *

==========

Penulis adalah Jurnalis dan Editor di kieraha.com. Ia juga seorang akademisi di Universitas Bumi Hijrah Tidore.