Apakah tesis yang mengatakan adanya wakil perempuan di dunia politik akan mengubah wajah politik!
Benarkah demikian?
Sayangnya, kehadiran perempuan sebagai respresentasi tersebut hanya turut menyusui maskulinitas. Bahkan tak jarang praktek-praktek politik itu dilahirkan sendiri dari rahim kebijakannya.
Sejak dilantik akhir tahun 2019, para nyonya rakyat di Maluku Utara sepertinya ‘jetleg’. Terkesan gagap dalam menyikapi berbagai ketidakadilan yang dialami kaumnya.
Pada tahun 2018, di salah satu media online, saya pernah menulis opini dengan judul Akankah Nukila Kembali Dilahirkan dari Rahim Perempuan Maluku Utara?. Artikel yang mengulas kiprah sultanah di negeri kesultanan Moloku Kie Raha (sebutan lain Maluku Utara) ini mungkin banyak diantara kita yang masih latah menyebutnya taman, tempat mendinginkan kepenatan, hingga tempat bertukar kasih sayang. Namun, seberapa banyak yang mengunjunginya sekedar berekreasi dari pada berkunjung karena penghormatan?
Neonukila
Sejarah kadang tak adil ketika dicatat. Selalu berperspektif laki-laki serta mengabaikan kontribusi perempuan.
Demikian, ketika kita mencari jejak-jejak Sultanah Nukila. Begitu sukar ditemukan bahkan dalam jurnal maupun ulasan ilmiah, hanya sedikit penulis yang meninggalkan jejak. Dan dari situ lah saya menemukan fakta mencengangkan tentang Nukila atau Neonukila.
Jika di Pulau Jawa memiliki Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan, maka di Maluku Utara jauh sebelumnya (abad 16) telah memiliki Nukila yang turut mengangkat senjata untuk mengusir Kolonialisme. Tidak mengglorifikasikan sejarah, namun dalam sosio–kultur dan tradisi yang begitu paternal sultanah Nukila membuktikan gerilya politiknya. Inilah mengapa perempuan Maluku Utara seharusnya tak kehilanggan panutan dan tumpuan ketika berada dalam ruang publik.
Gerbang era distrupsi akan terbuka lebar dan mendorong agar semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi hajat hidup masing-masing, tak terkecuali perempuan. Namun corak perjuangan tak selalu mengikuti arah petunjuk barat atau pun hegemoni negara lainnya. Sebab perjuangan kita akan berdasar dari kondisi dan realitas yang berbeda. Untuk itu, kita butuh Neonukila (baca Nukila baru) yang hadir menjadi spirit atau harapan bagi perempuan Maluku Utara dalam menentukan setiap pilihan hidupnya.
Neonukila tak perlu lahir dari lingkaran kesultanan, apalagi tumbuh dari feodalisme dan hierarki kekuasaan. Neonukila adalah milik semua perempuan, sebab Neonukila bukan simbol atau pun standar menjadi perempuan.
Neonukila adalah sebuah cara bereksistensi menjadi otentik dalam menjalani kutukan untuk terus bebas. Seperti kata filsuf Jean Paul Sartre ‘J seus condemn arte libre/man are condemned to be free’ atau ‘Manusia dikutuk untuk bebas’. Artinya dalam kehidupan ini ada begitu banyak pilihan terbentang bagi perempuan, entah menjadi ibu rumah tangga, perempuan yang berkarir, bahkan menjadi apapun adalah kemungkinan yang harus diperjuangkan perempuan sesuai potensi dan kapasitas dirinya.
Neonukila sudah saatnya menjadi Gerakan Bersama dalam merebut subjektifitas perempuan Maluku Utara, sebagai bentuk dekonstruksi terhadap tatanan yang begitu massif, yang menempatkan perempuan sebagai esensi bahkan perempuan menjadi gubuk bersarang segala akumulasi ketidakadilan.
Fakirnya political will
Political will atau komitmen dewan perempuan patut diragukan dan dipertanyakan.
Sejak awal saya sudah berhipotesis, bahwa perempuan hanya dijadikan alat untuk meloloskan partai politik dari seleksi administrasi. Hipotesis ini muncul dan terbaca dari setiap visi dan misi calon legislatif perempuan yang tak satu pun memuat komitmen kesejahteraan perempuan hingga melindungi dan melawan segala bentuk penjajahan.
Bahkan, jika dilihat dari track record (rekam jejak) para calon nyonya rakyat tersebut hanya menggunakan opsi lain, dan itu bukan pemahaman dan konsep keadilan gender. Lainnya, dapat dilihat dari komposisi perempuan di kursi Dewan Perwakilan Rakyat, corak yang sama terulang.
Banyak perempuan yang lolos memiliki ‘privilege’ diantaranya istri bupati, anak pejabat, serta yang memiliki irisan dengan elite politik. Selain itu, tak ada yang benar-benar lahir dari kesadaran politik yang luhur untuk memperjuangkan hak kaumnya.
Kesadaran semu terdampak pada setiap aktivitas politik. Berapa banyak diantara mereka yang lantang menyuarakan kesejahteraan perempuan Maluku Utara?
Berapa diantara mereka yang secara sigap sadar tentang rong-rongan predator seksual dengan meregulasikan dalam peraturan daerah? Berapa banyak diantara mereka yang paham tentang Gender Buggeting? atau berapa banyak dari mereka yang menggawasi pembangunan yang mendatangkan kemajuan bagi perempuan (ekonomi, pendidikan, politik, kesehatan, dll)?
Jawabannya hampir tidak ada. Miris!
Fakta lainnya, ketika tambang begitu menjamur di Maluku Utara, tak ada satu pun diantara Nyonya Rakyat yang turun untuk menolak bahkan meregulasikan peraturan daerah yang melindungi perempuan. Padahal, kita selalu percaya bahwa perempuan adalah pencipta peradaban. Lalu apa jadinya jika air dan tanah tercemar oleh limbah-limbah tambang?
Bahkan beberapa hari belakangan ini, publik ketakutan karena berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya mati di Perairan Ternate dan Pulau Makean. Dimulai dari damselfish, tumpetfish, goatfish, scorpio fish, gurita dan pontohs aapygmy seahorse. Di sini pun terlihat betapa tak pedulinya nyonya rakyat, bukankah sebagian besar penduduk Maluku Utara menjadikan ikan sebagai pangan? Yang secara topografi luas wilayah laut Provinsi Maluku Utara mencapai 68,08 persen atau 113.796,53 km2, artinya kehidupan masyarakat di sini bergantung pada laut.
Nyonya rakyat di mana? Apakah kekurangan bahasa publik untuk menceritakan keresahan dan kegundahan masyarakat? Lihat kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi, pemerkosaan hingga pembunuhan terus diwartakan. Dimana nyonya rakyat yang terhormat? Adakah upaya untuk memperjuangkan Maluku Utara yang ramah bagi perempuan?
Sepertinya, jika nyonya rakyat yang terhormat terus diam, maka gerakan non electoral harus menjadi resistensi yang masif untuk mewujudkan pembangunan yang setara. Sebab nyonya rakyat tak lebih dari bunga yang mewarnai ketimbang memberi warna dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan melepaskan jeratan kemiskinan bagi kaumnya.
Mereka bukan Nukila bahkan jauh dari Neonukila!!! *
==========
Penulis adalah Perempuan Loloda. Aktivis dan mahasiswi asal Halmahera, Maluku Utara.