Opini  

Politik Identitas dalam Arus Sejarah

Avatar photo
Ilustrasi politik identitas. (kieraha.com)

Atmosfer konstelasi politik Pemilu 2024 akan dipenuhi hiruk-pikuk dan bising-ribut para kandidat, elit kekuasaan dan partai politik, tak ayal oligarki serta kaum pemodal turut serta ambil bagian…

Syauki Subhan S Lemasa
Penulis

Memasuki tahun 2024 beberapa purnama mendatang, suhu tropis dalam dunia politik berpotensi meningkat, sebab pelan tapi pasti, satu persatu mesin politik sudah mulai dipanaskan demi menjaga temperatur relasi agar tak mendingin seperti sikap dia ke kamu, dingin dan arogan.

Atmosfer konstelasi politik akan dipenuhi hiruk-pikuk dan bising-ribut para kandidat, elit kekuasaan dan partai politik, tak ayal oligarki serta kaum pemodal turut serta ambil bagian untuk meramaikannya. Dengan demikian, kita mesti mempersiapkan suasana kebatinan yang tak mudah Baper ketika menghadapi pelbagai kondisi yang acap kali panas dingin.

Sebagai contoh, satu dari sekian banyak isu yang kerap dibincangkan, ditakuti dan dikhawatirkan, adalah politik identitas (political identity), dimana elit memainkan preferensi suku dan agama sebagai komoditas politik yang sering dianggap sebagai momok karena dapat memantik sentimen irasional, disebabkan oleh isu primordial yang coba dibentur-benturkan macam permainan lato-lato, mestinya dalang politik berjalan maju menuju arah yang lebih rasional, berdasarkan kinerja dan prestasi misalnya atau keberpihakan kepada kepentingan umum.

Melansir dari Wikipedia (11/5/2023), politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas akan dipolitisasi sedemikian rupa untuk menangkap simpati orang-orang agar merasa ‘sama’ baik secara ras, suku, budaya, agama dan sebagainya.

Istilah politik identitas pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam, Barbara Smith dan Combahee River Collective pada 1974. Politik ini berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang sejak dahulu selalu mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis dari perbedaan. Sederhanya, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, gender atau agama tertentu beraliansi dan membentuk kelompok secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.

Senada dengan bahasan di atas, penulis coba menggiringnya dalam konteks Sejarah Islam. Namun, sebelumnya perlu digaris bawahi bahwa tulisan ini tidak akan mengorek-ngorek keimanan dan keyakinan dalam islam, melainkan hanya akan dikerucutkan pada sejarah politik Umat Islam sebagai (jika bisa dibilang) pelajaran untuk kita.

Kondisi geografis Arab yang dikelilingi padang pasir yang tandus dan curah hujan yang terbilang sangat rendah, memaksa setiap orang dalam masyarakat Arab tak bisa hidup individualistik, itu sebabnya kebanyakan orang di tempat ini selalu menjalani kehidupan secara berkabilah, bersuku-suku, saling bergantung satu sama lain dalam suku masing-masing. Lambat laun ketergantungan itu menumbuhkan kefanatikan yang teramat besar pada akhir mampu menciptakan kotak demi kotak identitas berbeda, dengan ego kesukuan yang begitu tinggi. Di antaranya kabilah Himyar, Khajraz, Aus, Kinanah, Quraisy dan banyak lagi.

Dalam periode ini, banyak perang terjadi akibat dari keinginan menguasai kota Makkah. Quraisy dengan Abdul Muthalib sebagai orang yang dituakan, kala itu, mampu menguasai kota ini dan mengefektifkannya menjadi pusat perdangangan. Sesempit pemikiran penulis, inilah muasal politik identitas itu lahir yang meski ketika Muhammad bin Abdullah menjadi kepala negara di Yastrib, selanjutnya dikenal sebagai negara Madinah. Ia sukses membersikan praktek politik identitas, berikut menegakkan tonggak egalitarianisme serta demokrasi dalam sebuah konsensus yang diberi nama piagam Madinah pada tahun 1 H/622 M, pada akhirnya praktek politik banal mencipta perpecahan ini kembali muncul, sejenak setelah mangkatnya Muhammad.

Di sebuah balai yang dikenal dengan Saqifah, berkumpul orang-orang berpengaruh dari kaum Anshar dan Muhajirin yang dalam hemat penulis, di sini lah bibit-bibit politik identitas itu tumbuh kembali. Dalam suksesi kepemimpinan ini, kaum Ansar merasa bahwa mereka lebih berhak atas suksesi tersebut, sebaliknya kaum Muhajirin pun merasa demikian, belum lagi orang-orang yang mencintai ahlul bait (baca; Syi’ah–meski belum mendeklarasikan sektenya) mengklaim bahwa yang paling berhak atas kepemimpinan adalah Ali bin Abi Thalib yang secara tidak lansung masih memiliki hubungan darah dengan Muhammad. Beruntung setelah Abu Bakar as-Siddiq keluar sebagai Khalifah, berikut dibai’at (dilantik) meski ada mantik-memantik, namun potensi perpecahan itu dapat terhindarkan, sampai ketika wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, nilai kesetaraan itu masih terjaga dengan apik.

Politik identitas itu muncul kembali, setelah diangkatnya Utsman bin Affan sebagai Khalifah, pada enam bulan sebelum masa ke-Khalifaan-nya berakhir, dalam periode ini kabilah Umayyah seakan mendapat angin segar, sebab Utsman dengan otoritasnya mengangkat beberapa pejabat negara dari kalangan keluarganya sendiri, seperti Muawiyah bin Abu Sufyan menjabat sebagai Gubernur Syam, di Basrah diangkatnya Abdullah ibn Amir, Walid ibn ‘Uqbah di Kuffah dan beberapa kerabat lainnya. Hal ini, oleh kebanyakan masyarakat kala itu, dianggap sebagai tindakan nepotisme sehingga memicu gelombang demonstrasi besar-besaran yang pada akhirnya menyebabkan Khalifah ke tiga itu terbunuh dalam keadaan sedang membaca kitab suci.

Atmosfir politik yang carut-marut ini seakan menjadi pekerjaan rumah bagi Ali bin Abi Thalib, Khalifah ke empat yang menggantikan Utsman. Namun, ada beberapa sahabat yang enggan berbai’at pada Ali, diantaranya Muawiyah, karena permintaannya yang memaksa Ali agar menuntut balas (qisash) pada pembunuh Utsman. Tapi, Ali berniat mencopot jabatan Muawiyah sebagai langkah sterilisasi yang kemudian ditolak oleh Muawiyah sendiri sampai pada puncaknya meletuslah perang shiffin yang menyebabkan terpecah-belahnya umat islam menjadi tiga sekte, yakni Khawarij (yang keluar dari barisan Ali), Syi’ah (orang-orang yang setia pada Ali) dan kelompok pasukan Muawiyah.

Konflik antara Ali dan Muawiyah, bukan semata masalah penuntutan Muawiyah tadi, melainkan masalah identitas yang melekat kepada mereka berdua sebagai perwujudan dari kabilah Quraisy dan Umayyah yang sejak awal telah berseteru dalam rangka menguasai Makkah. Singkat cerita, setelah Ali dibunuh oleh sekte Khawarij, khalifah berlanjut di tangan Hasan bin Ali, putranya, tak lama kemudian Hasan undur diri dengan niat perpecahan di tubuh islam dapat teratasi. Otomatis dengan sendirinya ke-Khalifah-an beralih kepada Muawiyah bin Abu Sufyan dengan syarat ketika Muawiyah mangkat, kekuasaan akan dikembalikan ke tangan rakyat, dengan kata lain rakyatlah yang akan memilih pemimpin selanjutnya. Nahas, hal itu tidak dilakukan Muawiyah, dia malah mewariskan tahtanya kepada putranya Yazid bin Muawiyah yang lalu memecah konflik dan melahirkan perang Karbala, Husain bin Ali, adik Hasan terbunuh di perang ini.

Setelah berdirinya dinasti Umayyah, politik identitas itu terus berlanjut sampai pada saat munculnya dinasti Abbasiyah yang mengklaim sebagai ahli waris kekuasaan dikarenakan Abu Abbas as-Saffah adalah keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang memiliki garis nasab dengannya. Abbasiyah pada akhirnya berdiri sebagai satu dinasti besar yang ingin melenyapkan pengaruh dinasti Umayyah.

Melihat perjalanan sejarah ini, penulis ingin menukil Francis Fukuyama yang mengatakan bahwa politik identitas adalah “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi. Bagaimana tidak, demokrasi yang coba ditegakkan Muhammad dalam Piagam Madinah seakan hilang pengaruh dan kesakralannya sehingga konsep egaliter kembali menjadi konsep kabilah-kabilah (fanatisme kesukuan) yang turut melegitimasi politik identitas seperti pada masa Jahiliyah (Arab sebelum islam). “Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang kecil? Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kegagalan negara.” Peringatan Fukuyama. Silakan menyelam melawan arus, semoga dapat mengambil mutiara hikmah di relung paling dasar bahasan ini, aamiin. *

==========

Penulis adalah Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri Ternate.