Tragedi banjir di Rua, Ternate, bukan kali pertama. Bencana ini sebelumnya sudah terjadi pada 23 September 2017. Meski tidak menelan korban jiwa, namun dampak banjir tersebut merusak fasilitas umum dan mengancam nyawa warga.
“Banjir tahun 2017 itu tidak ada korban jiwa. Tapi berdampak parah pada fasilitas dan ruangan SD 66 Rua, dipenuhi lumpur setinggi lutut orang dewasa,” ucap Asmadin Oktar, mengenang banjir di Rua 7 tahun silam, kepada kieraha.com, Senin 26 Agustus 2024.
Mantan Kepala SD 66 Rua itu menyesalkan, peristiwa banjir ini kembali berulang pada Minggu dinihari kemarin, sekitar pukul 02.50 Waktu Indonesia Timur karena menelan korban jiwa.
“Yang kedua ini parah. Saat warga sedang tidur, banjir datang, memakan korban dan sebagian lainnya terluka,” lanjutnya.
Asmadin masih tak menyangka bencana banjir tersebut terjadi dengan begitu ganas.
Pemerintah Kelurahan Rua mencatat, dampak banjir yang terjadi pada Minggu, 25 Agustus itu menyebabkan 19 orang kehilangan nyawa. Jumlah itu sebagian besarnya perempuan dan 6 orang masih anak-anak.
Korban meninggal juga ditemukan dalam kondisi tertimbun bersama sedimentasi tanah bercampur bebatuan yang terbawa banjir di daerah kalimati kawasan aliran sungai setempat.
Dedi Arif, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Maluku Utara menyebutkan, secara geologi, daerah Rua termasuk dalam fasies (batuan gunung) Gamalama Tua. Di lokasi itu, kata Dedi, pernah menjadi tempat muntahan material vulkanik akibat letusan gunung api tersebut.
“Bencana yang terjadi itu disebabkan oleh material sedimen vulkanik lama yang tererosi turun dari hulu, memicu terjadinya banjir,” katanya.
Menurut Dedi, untuk daerah hulu (kawasan aliran sungai di perbukitan) tidak ditemukan perubahan landscape atau bukaan lahan secara masif yang menyebabkan banjir.
“Fenomena ini terjadi karena curah hujan yang tinggi menyebabkan material vulkanik di hulu yang tidak lagi mampu menahan beban, akhirnya turun melalui anak sungai dengan diameter lebih kecil hingga menyebabkan banjir,” lanjutnya.
Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela menyatakan, bencana banjir di Rua disebabkan karena landscape di kawasan hulu telah dibuka.
“Ini terjadi karena tekanan air dari atas (belakang kampung Kelurahan Rua) sangat kuat makanya langsung jebol ke bawah. Tekanan air menjadi sangat kuat karena kawasan hutan di wilayah atas dialihfungsikan,” ucapnya.
WALHI juga menemukan adanya daerah aliran sungai (DAS) yang berjarak tidak jauh dari belakang Kampung Rua sudah terbelah dua bagian. Bahkan pada kawasan ini ditemukan proses pendangkalan di dalam bantaran kalimati akibat sedimentasi material vulkanik.
“Material ini apabila tidak ada lagi filter atau penahan (hutan maupun pepohonan) maka saat hujan (dengan intensitas tinggi) akan terbawa air, turun secara lepas ke wilayah hilir. Kondisi ini yang menyebabkan DAS di wilayah Rua terpisah menjadi dua bagian,” ujarnya.
Faisal menjelaskan, seharusnya banjir yang terjadi pada daerah dengan kemiringan kontur tanah di atas 40 derajat itu perlu diproteksi sejak dini.
“Mestinya kontur dengan kemiringan di atas 30-40 derajat di daerah DAS itu penting untuk dibuat tanggul maupun daerah resapan,” katanya.
Faisal menyatakan, bencana banjir di Ternate akan terus menjadi ancaman serius bagi warga, karena alih fungsi lahan secara masif terjadi di kawasan dataran tinggi.
“Banjir di Rua kan sama dengan banjir yang terjadi di Akehuda (Ternate Utara). Karena selama ini Pemerintah hanya bikin jalur evakuasi tetapi tidak bikin larangan yang bersifat warning di daerah-daerah rawan bencana, makanya bencana banjir terjadi dengan ganas dan memakan korban. Juga karena proses pelepasan kawasan hutan semakin hari semakin naik ke puncak dan tidak diiringi dengan proteksi dari Pemerintah,” sambungnya.
Pemkot Ternate Lalai
Bencana banjir di Kota Ternate sudah terjadi berulangkali. Banjir serupa pernah menelan korban jiwa di Kelurahan Tubo, Dufadufa dan Akehuda, Kecamatan Ternate Utara. Bencana itu kemudian terjadi lagi di Kelurahan Maliaro dan Toboko, Ternate Selatan.
Banjir yang muncul saat hujan dengan intensitas tinggi itu sebelumnya pun merusak puluhan rumah warga, menelan korban jiwa dan lainnya dinyatakan hilang.
“Bencana banjir yang terjadi secara berulang ini justru bisa dikatakan karena faktor kelalaian. Karena soal bencana di Ternate sudah banyak hasil riset yang dikeluarkan. Terutama terkait erupsi dan daerah DAS. Ini mestinya Pemerintah Kota melakukan evaluasi dan mendorong kebijakan terhadap perlindungan di wilayah-wilayah yang menjadi ring satu, tapi ini tidak dilakukan,” jelasnya.
Adanya banjir yang terus terjadi, lanjut Faisal, justru menjawab bahwa model pengaturan sistem drainase di Kota Ternate bermasalah.
Mestinya pada kontur dengan kemiringan di atas 30-40 derajat di daerah DAS itu penting untuk dibuat daerah resapan, sehingga ini tidak menjadi beban air saat hujan melanda.
“Kenapa sampai buangannya lepas satu kali ke hilir karena tidak ada proses penahan laju kecepatan air. Sepanjang tidak dibuat penahan maka dampaknya tetap akan sampai ke daerah pesisir. Seperti di Rua, kalau dilihat itu kan karena tidak ada proses penahan kecepatan air di daerah DAS atau kalimati wilayah setempat,” ujarnya.
Bagi WALHI, alam ini tidak akan memberikan bencana kalau tidak ada proses yang hilang.
“Meskipun kontur lahan berada di kemiringan di atas 55 derajat, kalau kondisi ekologinya masih bagus maka fungsinya masih akan tetap bertahan,” lanjutnya.
Yang Harus Dilakukan
WALHI menilai, sejak dua tahun terakhir, langkah Pemerintah Kota Ternate dalam hal mitigasi dan adaptasi bencana masih di level kebijakan. Ini dilihat dengan hanya melakukan diskusi akademik dan proses-proses penyusunan roadmap (peta jalan).
“Padahal action lapangan sebenarnya yang paling penting, karena mitigasi bencana itu harus mencapai pada level bawah. Kebijakan disusun sebaik mungkin tapi kalau tidak ada implementasi, tidak ada pengetahuan yang diberikan kepada warga maka sama saja. Artinya dalam situasi ini kita tidak bisa menyalahkan warga jika ada aktivitas proses bukaan lahan atau alih fungsi kawasan untuk kepentingan pemukiman dan lain-lain,” jelasnya.
Karena seiring perkembangan pembangunan yang tidak lazim dan tidak bisa dinafikan, kata Faisal, upaya yang harus dilakukan Pemerintah Kota Ternate adalah dengan menyampaikan informasi yang benar dan baik kepada warga di level kelurahan, pemasangan rute rawan bencana di kawasan rawan bencana, dan normalisasi daerah DAS atau kalimati.
Proses normalisasi itu diantaranya dengan pembuatan cekdam atau penahan laju kecepatan air, pembuatan daerah resapan, dan pengaturan sistem drainase yang baik.
WALHI mendesak, Pemerintah Kota Ternate segera melakukan proteksi penentuan lokasi-lokasi rawan bencana berdasarkan situasi bencana yang terjadi di Ternate saat ini.
“Karena dengan bencana yang terjadi berulang kali itu seharusnya sudah menjadi bahan evaluasi atau dasar analisis untuk segera dilakukan proteksi di areal tersebut,” tutupnya.
Kieraha.com masih melakukan konfirmasi ke Pemerintah Kota Ternate. *