Rencana meningkatkan produksi nikel oleh empat raksasa tambang pada tahun 2028, diperkirakan memicu meningkatnya penciptaan 38,5 juta ton karbon dioksida atau CO2. Keempat perusahaan ini terdiri dari PT Aneka Tambang atau Antam, Trimegah Bangun Persada (Harita), PT Vale Indonesia, dan PT Merdeka Battery Materials (MBMA).
Lonjakan CO2 ini, karena adanya ketergantungan terhadap batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU pada operasi produksi nikel. Begitu tulis laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis atau IEEFA berjudul Indonesia’s Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production.
Ekspansi empat raksasa penghasil nikel Indonesia ini menyumbang 51 persen produksi tambang global. Menurut laporan ini, pada tahun 2023 keempatnya memproduksi 353.000 ton nikel dan menghasilkan 15,3 juta ton emisi gas rumah kaca atau GRK.
PT Antam menduduki posisi paling buncit dalam penciptaan GRK, yaitu 69,9 ton CO2 per ton nikel (tCO2/tNi). Selanjutnya, Harita dengan 68,4 tCO2/tNi, kemudian disusul MBMA 56,9 tCO2/tNi, dan Vale 28,7 tCO2/tNi.
Alasan jejak GRK Vale menjadi terendah karena, mereka memiliki tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 365 megawatt, sementara perusahaan lainnya menggunakan tenaga batubara.
Ghee Peh, Analis Keuangan Energi IEEFA, menyebutkan produk nikel Indonesia sebagai penyokong ekonomi global terus meroket setiap tahun. Baik Antam, MBMA, Harita, dan Vale, telah meningkatkan produksi nikel mereka dari 130.600 ton pada tahun 2021 menjadi 353.000 ton pada 2023.
Dari jumlah hasil produk nikel tahun 2023 tersebut, keempatnya mendulang pendapatan sebanyak 6,8 miliar dollar AS dan laba bersihnya 996 juta dollar AS.
“Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 3-5 tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batubara,” kata Ghee, yang juga penulis laporan ini.
Perihal rencana keempatnya dalam meningkatkan produksi nikel menjadi 1,05 juta ton pada 2028, angka ini bertambah 197 persen dibandingkan tahun 2023. Perkongsian ini pun telah melakukan penambahan kapasitas sekitar 470.000 ton, yang akan rampung pada 2026 mendatang.
Ghee memperkirakan dari total 530.000 ton kapasitas nikel baru itu, ada 51 persen feronikel emisi tinggi atau sekitar 60 juta tCO2/tNi, yang bertumpu pada tenaga panas batubara. Sementara, 49 persen adalah MHP emisi rendah, yakni 13 ton emisi GRK per ton nikel, menggunakan proses HPAL berbasis kimia.
“Jika ada ketergantungan yang berkelanjutan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil, emisi GRK akan memiliki bahaya lingkungan yang signifikan,” kata Ghee.
Menghadapi peningkatan produksi produk nikel keempat perusahaan ini, IEEFA memperkirakan emisi yang dihasilkan dalam dua skenario. Pertama, intensitas GRK perusahaan-perusahaan ini tetap berada pada level 2023. Kedua, empat perusahaan mencapai standar Vale sebesar 28,7 tCO2/tNi yang diproduksi menggunakan proses smelter.
Para peneliti menghitung total emisi di bawah skenario pertama yang mungkin terjadi adalah sebesar 38,5 juta ton, jumlah ini setara dengan 4,5% dari emisi Indonesia pada tahun 2023. Namun, jika keempatnya menggunakan standar Vale dengan penciptaan emisi hanya 28,7 tCO2/tNi, maka para ilmuwan berpendapat bahwa secara kolektif perusahaan-perusahaan ini dapat mengurangi emisi sebesar 16,2 juta ton karbon dioksida
Smelter feronikel baru Antam yang diproduksi sejak 2023, akan menambah 13.500 ton dari kapasitas saat ini sebesar 27.000 ton. Intensitas GRK untuk tahun 2023 sebanyak 69,9 tCO2/tNi.
Pada tahun 2028, MBMA berencana meningkatkan produksi menjadi 90.000 ton MHP, 50.000 ton matte, dan 88.000 ton feronikel. Dengan begitu, sebut IEEFA, intensitas GRK untuk feronikelnya adalah 56,9 tCO/tNi, sedangkan nikel matte yang dihasilkan memiliki tingkat emisi 2 ton karbon dioksida per ton matte.
Sementara, rencana Harita memperluas produksi matte dan feronikel menjadi 305.000 ton pada 2025, akan menghasilkan emisi GRK sebanyak 68,4 ton karbondioksida per ton nikel.
Begitupun dengan Vale, yang bakal meningkatkan kapasitas produksi MHP menjadi 180.000 ton pada 2026 dan feronikel 73.000 ton pada 2025. Proyeksi produk MHP yang berbasis pengolahan limbah dan daur ulang (hidrometalurgi) ini, menurut perhitungan IEEFA, menciptakan emisi sebesar 13,4 ton karbondioksida per ton nikel.
Transisi ke Energi Bersih
Harita menggunakan proses berbasis kimia untuk menghasilkan nikel dalam bentuk MHP, yang kurang intensif GRK pada 13,4 ton karbondioksida per ton nikel. Rencana mereka tahun 2028 adalah untuk memperluas produksi menjadi 1,05 juta ton, di mana 420.000 ton adalah produk nikel dengan intensitas GRK yang lebih rendah dari proses HPAL. Namun, ada 507.000 ton feronikel dan 120.000 ton matte yang merupakan produk dengan intensitas GRK lebih tinggi.
IEEFA menulis, pada November 2023 Antam mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menggunakan pembangkit listrik tenaga batubara dan akan menutup pembangkit listrik tenaga batubara saat PLN memasuki Pomalaa. Mereka juga berencana untuk mendapatkan listrik dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas PLN untuk fasilitas feronikelnya di Kalimantan Timur.
Sedangkan, Harita menargetkan pemasangan 300MW tenaga surya mereka pada akhir 2025, untuk mengurangi batubara di fasilitas smelter. Dengan begitu, akan menghasilkan intensitas GRK yang mirip dengan Vale dengan tiga PLTA berkapasitas 365MW.
Sementara, MBMA menyebutkan transisi pasokan energi akan memanfaatkan panel surya. Dalam Laporan Keberlanjutannya, MBMA mengemukakan sekitar 5% penggunaan energi mereka bersumber dari energi terbarukan, khususnya biodiesel.
“Laporan tersebut menyatakan komitmen untuk berinvestasi dalam energi terbarukan menggantikan ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi tidak memberikan rincian lebih,” tanggap IEEFA terhadap laporan MBMA.
Perusahaan nikel harus menggunakan lebih banyak energi terbarukan. Menurut analisis IEEFA, total emisi GRK keempat perusahaan ini mencapai 15,3 juta ton, dari hasil primer 353.000 ton nikel pada tahun 2023.
“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” tegas Ghee.*