Rehabilitasi Mangrove Memerlukan Strategi yang Tepat

Avatar photo
Hutan Mangrove pelindung Pulau Ternate yang dilindungi di Kawasan Pantai Kelurahan Manggadua semakin terdesak dengan proyek reklamasi. (Hairil Hiar/Kieraha.com)

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, yaitu 3.496.768 hektare yang tersebar dari pesisir Aceh hingga Papua. Luas hutan mangrove ini mencakup 22.4 persen mangrove dunia. Namun, pada saat yang sama, Indonesia merupakan penyumbang kerusakan hutan mangrove tertinggi di dunia, salah satunya di Kota Ternate, Maluku Utara.

Fenomena ini menarik perhatian luas berbagai kalangan. Banyak aksi dilakukan untuk memperbaiki kerusakan ekosistem mangrove yang ada. Namun, permasalahan kerusakan mangrove seolah tak kunjung selesai. Selain dukungan, rehabilitasi dan restorasi ekosistem mangrove memerlukan srategi yang tepat.

BACA JUGA Riwayat Matinya Mangrove Ternate

Beberapa laporan menemukan adanya kegagalan dalam rehabilitasi mangrove di Tanah Air. Salah satu penyebabnya adalah paradigma bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove. Padahal, program rehabilitasi memerlukan langkah-langkah yang matang, dimulai dari perencanaan hingga evaluasi.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Yasser Ahmed melihat perlunya pendampingan pada program rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh beberapa pegiat CSR di Indonesia. Perbaikan ekosistem mangrove tidak semudah membalikan telapak tangan, menanam bibit, kemudian ditinggal.

Rehabilitasi ekosistem mangrove, kata Yasser, memerlukan intensitas dan keterlibatan beberapa pihak, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan rehabilitasi.

BACA JUGA Mereka yang Terancam di Pulau Ternate

“Kerusakan mangrove bersangkutan dengan aktivitas manusia, terutama masyarakat sekitar, sehingga perbaikannya pun harus melibatkan mereka,” ujarnya, Jumat 23 Juli.

Aspek Penting Penanaman Mangrove

Yasser menyebutkan, penanaman mangrove harus memperhatikan 3 aspek penting, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara ekologi, pemulihan mangrove perlu memperhatikan kondisi lahan dengan kesesuaian jenis mangrove yang ditanam, sehingga bibit mangrove dapat bertahan dan beradaptasi di lokasi tanam. Hal ini disebut dengan zonasi mangrove. Indonesia memiliki kekayaan jenis mangrove tertinggi di dunia. Namun, ketika jenis mangrove tertentu ditanam bukan pada habitatnya, walau masih pada ekosistem mangrove, maka mangrove yang ditanam tidak akan tumbuh maksimal, bahkan mati.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

Secara sosial, pelibatan masyarakat sekitar pada kegiatan rehabilitasi mangrove menjadi penting. Pegiat CSR harus menempatkan masyarakat sebagai subyek sekaligus mitra untuk mencapai tujuan bersama. Dari awal, semua pihak harus memilik mindset bahwa tanggung jawab dan keberhasilan harus ditanggung dan dirasakan bersama, lanjut Yasser.

BACA JUGA Air Danau Galela Halmahera Utara Tercemar

Terkait aspek ekonomi, program rehabilitasi mangrove dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budi daya perikanan, ekowisata, dan pengelolaan buah mangrove menjadi kuliner khas daerah setempat. Area rehabilitasi mengrove yang berhasil dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata oleh Yayasan KEHATI antara lain, Desa Pandansari Brebes di Jawa tengah, Desa Binanga Kabupaten Majene Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lain yang sedang dalam proses pengembangan.

BACA JUGA  Waspada Peningkatan Aktivitas Gunung Gamalama di Ternate

“Secara garis besar, ketepatan dalam mengonsepkan program rehabilitasi mangrove merupakan kunci sukses keberhasilan rehabilitasi mangrove. Ini dimulai dari penyusunan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi program rehabilitasi dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi,” tutup Yasser. *

Putri Ways
Editor