Konvensi Keanekaragaman Hayati atau CBD COP16 di Cali, Kolombia, berakhir dengan seember tugas yang setengah selesai. Komitmen negara-negara dalam menyelamatkan ragam kaya hayati global ini nyaris menemukan jalan buntu, menyusul sejumlah poin penting tak dapat disepakati.
Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolombia, Susana Muhamad, menangguhkan COP16 pada 2 November 2024 lalu, usai kuorum negara untuk mengambil keputusan tak cukup.
Hanya ada 44 dari 196 delegasi negara peserta konvensi yang menyerahkan Strategi dan Rencana Aksi Biodiversitas Nasional (NBSAP) pada akhir pertemuan ke-16 ini. Alasannya, pemerintah kekurangan waktu dan dana untuk menyiapkan NBSAP mereka.
Selama berlangsungnya COP16, negara-negara tidak membuat kemajuan yang memadai menuju target keanekaragaman hayati, yang diadopsi dari COP15 di Montreal, Kanada pada Desember 2022 lalu.
Penghapusan subsidi berbahaya dan memobilisasi pendanaan masih menjadi tantangan berat. Demikian tulis laporan Climate Focus berjudul, Biodiversity and Climate Change: From Cali to Baku.
Hubungan antara perubahan iklim dan krisis biodiversitas menjadi isu utama dalam COP kali ini. Perubahan iklim memperburuk tekanan manusia terhadap alam, keanekaragaman hayati dan kesejahteraan, serta tekanan gabungan dari konversi lahan dan perubahan iklim mendorong hilangnya spesies. Butuh kebijakan bersama untuk mengatasi persoalan itu.
“Pada gilirannya, hilangnya keanekaragaman hayati melemahkan ekosistem dan menyebabkan hilangnya ketahanan, yang mengganggu penyampaian layanan ekosistem dan mitigasi iklim seperti penyerapan karbon,” ujar Charlotte Streck, penulis laporan.
Untuk alasan itu, Kerangka Kerja Biodiversitas Global atau GBF COP15 Kunming-Montreal diadopsi demi serangkaian target keamanan Hayati yang lebih spesifik dan terukur. Serta, berupaya menyelaraskannya dengan Paris Agreement.
Meskipun keduanya memiliki perbedaan sifat dan ruang lingkup, karena GBF tidak memiliki kekuatan hukum Perjanjian Paris, namun GBF menawarkan panduan implementasi yang jelas kepada para pihak melalui indikator dan targetnya.
Kerangka ini, lanjut Charlotte, dapat memandu pembuat kebijakan dalam mengambil tindakan yang diperlukan demi memastikan kehidupan manusia selaras dengan alam pada tahun 2050.
Selanjutnya, GBF pun menuntut komitmen negara-negara untuk memulihkan 30% ekosistem yang terdegradasi. Serta, menempatkan setidaknya 30% kawasan konservasi daratan, laut, dan pesisir di bawah perlindungan yang efektif pada tahun 2030.
Sementara, dalam aspek pendanaannya GBF menargetkan pembiayaan dari semua sumber dengan total mencapai USD 200 miliar per tahun untuk implementasi NBSAP pada 2030. Target tersebut mencakup USD 20 miliar per tahun untuk negara-negara berkembang pada 2025, lalu meningkat setidaknya USD 30 miliar per tahun pada 2030.
Namun, menurut ODI Global, pada tahun 2020, pihak negara maju hanya menyediakan USD 10,95 miliar atau 55% dari target, dan cuma tiga negara yang memberikan bagiannya. Bahkan ketika USD 20 miliar terpenuhi, kata Charlotte, ini hanya bagian kecil dari kesenjangan pembiayaan.
“Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pembiayaan adalah batu sandungan utama di Cali,” jelasnya.
Sementara, pembiayaan dari sektor swasta dengan sistem biokredit menuai perdebatan. Charlotte bilang, beberapa orang keberatan dengan kredit biodiversitas ini, mereka melihat gagasan tersebut semata-mata memberikan nilai ekonomi kepada alam. Serta, mereka juga menolak sertifikasi alam untuk diperdagangkan.
Alternatif yang Dicapai
Meskipun sebagian besar negara gagal dalam pengajuan NBSAP penuh pada akhir COP16, tapi 199 negara ini telah mengajukan target nasional mereka berdasarkan GBF untuk dikembangkan menjadi NBSAP.
Di samping itu, Charlotte menyebutkan untuk pertama kalinya negosiasi internasional ini menghasilkan mekanisme pendanaan yang seluruhnya didukung dana swasta.
Para pihak di COP16 menyepakati mekanisme pendanaan bagi perusahaan swasta untuk membayar informasi genetik tumbuhan dan hewan. Semua perusahaan besar di sektor farmasi, agribisnis, kosmetik dan suplemen makanan, yang menggunakan DNA atau CSI organisme liar secara komersial diwajibkan menyumbangkan 1% keuntungan mereka ke Cali Fund.
Pemerintah pun diharuskan mengambil langkah hukum yang relevan untuk menuntut kontribusi perusahaan di yuridiksinya, ke Cali Fund. Dana tersebut, kemudian dialokasikan khusus untuk pendanaan Kehati nasional masing-masing.
“Untuk pertama kalinya, perusahaan harus berpartisipasi dalam manfaat global, berbagi dan memastikan bahwa sumber daya yang mereka gunakan mendapat manfaat dari eksploitasi ekonomi,” beber Charlotte.
Kedudukan masyarakat adat dan masyarakat lokal juga tak luput dari pembahasan COP16. Dalam paragraf 21, katanya, pendanaan pihak swasta yang memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar juga harus menyisihkan setengahnya untuk kebutuhan masyarakat adat dan komunitas lokal, termasuk perempuan dan pemuda.
Selain itu, COP16 menghasilkan kesepakatan tentang keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal untuk COP mendatang. Hal ini, karena mereka dianggap memainkan peran penting dalam melestarikan kehidupan di bumi.
Keterlibatan komunitas masyarakat ini diharapkan untuk menemui tiga tujuan utama CBD, yaitu konservasi keanekaragaman hayati, penggunaannya yang berkelanjutan, dan pembagian manfaat secara adil dan merata.
Charlotte menambahkan, keputusan itu memberi pengakuan kepada kelompok masyarakat tersebut sebagai protagonis sejati dalam konservasi keanekaragaman hayati di seluruh dunia, sehingga partisipasi penuh mereka demi mencapai tujuan pelestarian.*