Opini  

Dari Kelangkaan Sagu hingga Lebih Banyak Orang Memilih Bekerja di Tambang

Avatar photo
Sukarsih Muhdar. (kieraha.com)

Produksi pangan dari tanaman sagu (metroxylon spp) ini merupakan salah satu bahan baku pangan penting nonberas untuk penduduk di kawasan timur Indonesia. Sagu menjadi salah satu sumber pangan tradisional yang hingga saat ini masih terus dikonsumsi masyarakat di beberapa wilayah di Maluku Utara.

Sukarsih Muhdar
Penulis

Singkong atau kasbi adalah salah satu komoditi andalan masyarakat Maluku Utara. Selain kopra, hampir setiap desa di provinsi kepulauan ini menjadikan kasbi sebagai mata pencaharian mereka.

Dari bahan kasbi ini yang kemudian diolah menjadi sagu lempeng dan sagu papeda. Yang rata-rata dari penduduk lokal di Maluku Utara ini menjadikan sagu sebagai pangan untuk konsumsi harian.

BACA JUGA Gejala Otoritarianisme dalam Menyembunyikan Kontroversi RUU KUHP

Produksi pangan dari tanaman sagu (metroxylon spp) ini merupakan salah satu bahan baku pangan penting nonberas untuk penduduk di kawasan timur Indonesia. Sagu menjadi salah satu sumber pangan tradisional yang hingga saat ini masih terus dikonsumsi masyarakat di beberapa wilayah di Maluku Utara. Diantaranya Tidore, Ternate, Bacan, Jailolo, Gebe, Patani, Morotai, Makean dan Buli.

Sebagian besar warga masyarakat lokal yang ada di pulau-pulau ini memproduksi pangan tersebut dan mendistribusikan hasil produksinya hingga ke Kota Ternate dan pusat kota lainnya untuk dijual.

Seperti salah satu pasar yang ada di Bastiong, Ternate Selatan yang sering menerima stok sagu lempeng dan papeda dari beberapa wilayah di Maluku Utara ini. Dalam penelusuran penulis menemukan pada 2012 harga sagu lempeng yang dijual ke Pasar Bastiong ini berkisar 10 lempeng Rp 10 ribu dengan papeda Rp 2.500 per mangkok. Selanjutnya pada 2015, jumlah sagu lempeng dikurangi menjadi 8 lempeng Rp 10 ribu dengan harga papeda Rp 3 ribu per mangkok. Pada tahun 2021, jumlah sagu lempeng kembali dikurangi menjadi 4 lempeng Rp 10 ribu dengan papeda Rp 5 ribu per mangkok. Hingga pada awal Februari 2022 kemarin, jumlah sagu lempeng yang dijual terus berkurang menjadi 3 lempeng Rp 10 ribu dan dengan harga papeda Rp 15 ribu untuk 2 mangkok.

Pedagang di Pasar Bastiong ini menuturkan bahwa pengurangan jumlah sagu lempeng ini terjadi karena mereka adalah produsen kedua yang menerima sagu yang didatangkan tersebut. Pedagang ini mengambil sagu lempeng dan papeda dari bahan kasbi melalui produsen pertama dengan harga yang dipasok Rp 10 ribu per enam lempeng dan papeda Rp 250.000 per setengah kantong kresek besar.

Oleh karena itu, pedagang di Ternate ini dengan terpaksa mengurangi jumlah sagu lempeng dengan mempertahankan harga yang sama. Ini untuk melariskan dagangan para pedagang tersebut.

Selain faktor ini, juga ditemukan diantaranya karena beberapa desa produksi sagu di Halmahera sudah jarang menanam singkong dan memproduksi sagu. Salah satunya yang penulis temukan di Pulau Halmahera, yaitu di Desa Wama, Kecamatan Oba Selatan, wilayah Kota Tidore Kepulauan.

Masyarakat di Desa Wama sudah mulai jarang memproduksi sagu lempeng dan papeda. Jika produksi pun hanya sebatas dikonsumsi, dan jika dijual pun hanya di wilayah desa setempat.

Dari studi kasus ini yang kemudian bisa saja mempengaruhi harga barang di Pasar Bastiong, apalagi dengan perubahan aktivitas ekonomi masyarakat di pedesaan saat ini yang sudah jarang bertani. Tentunya, ini menjadi faktor kelangkaan produksi sagu tersebut. Faktor lain bisa kita lihat adalah meningkatnya populasi penduduk. Data statistik BPS menyebutkan, Maluku Utara pada tahun 2021 memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.299.177 jiwa. Jumlah ini meningkat dari tahun 2019.

Thomas Robert Malthus (1766-1834) menyatakan bahwa manusia berkembang lebih cepat dibanding pertumbuhan produksi hasil-hasil petani untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka suatu ketika akan terjadi malapetaka. Jika ini dikontekskan dengan kondisi di Maluku Utara ini maka bisa saja faktor kelangkaan bahan pangan sagu akibat pola komsumsi masyarakat yang semakin tinggi, dan di sisi lain sumber daya alam yang tersedia semakin berkurang. Apalagi di provinsi kepulauan ini marak terdapat perusahaan pertambangan yang semakin subur dan terus tumbuh dan bertambah.

Keberadaan perusahaan tambang ini yang kemudian ikut merubah pola aktivitas masyarakat, dari yang semula bertani, saat ini lebih memilih untuk menjadi karyawan di perusahaan tambang.

Dengan kondisi tersebut maka semestinya pemerintah harus hadir untuk mengontrol kembali hasil produksi tanaman pangan lokal di Maluku Utara. Ini karena dengan hasil pagan sendiri mampu mendorong perekonomian masyarakat tanpa harus merusak lingkungan dan lain sebagainya. Wallahualam. **

==========

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unkhair Ternate.