Persipura, Piala Dunia, dan Nasionalisme Kita

Saat ini, euforia jagat sepakbola akan terfokus di Rusia. Negara kita Indonesia, meski sama sekali tidak terlibat dalam perhelatannya, namun antusiasme menyambut Piala Dunia yang digelar empat tahun sekali itu sangat besar. Di beberapa daerah, bendera negara-negara peserta Piala Dunia yang menjadi favorit mereka, telah berkibar di halaman rumah seperti sedang menyambut bulan Agustusan.

Fanatisme dan militansi dalam sepakbola Indonesia memang begitu tinggi. Tak berlebihan kiranya jika falsafah “mas que un club” (lebih dari sekedar klub), yang diusung oleh El Barca, terlihat jelas ada dalam kelompok suporter klub liga yang memiliki tradisi panjang dalam persepakbolaan Indonesia. Sebutlah Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, atau the black pearl Persipura Jayapura.

Untuk klub terakhir yang saya sebut, adalah klub paling pojok di Indonesia yang secara historis telah mengakar menjadi identitas kebangsaan orang asli Papua, etnis Melanesia.

Saya beberapa kali hadir di Stadion Mandala melihat Persipura berlaga.

Pada suatu sore duduk di tribun Liverpool dan pada sebuah malam berikutnya di bulan puasa berada di tribun utara, menyaksikan Persipura melumat Madura United 6 gol tanpa balas. Mata saya kerap tertuju pada beberapa orang asli Papua yang memberikan dukungan sembari memakai atribut gelang dan kaos dengan gambar bendera Bintang Kejora.

Tak jauh dari mereka duduk, polisi dan tentara berdiri menjadi pengaman dalam stadion. Jika di setiap pertandingan El Barca di Camp Nou bendera Katalunya selalu berkibar, di Mandala sudah pasti penjara adalah tempat bagi para pengibar bendera Bintang Kejora.

Kondisi ini serupa yang dikatakan Franklin Foer, lewat karyanya Memahami Dunia Lewat Sepakbola. Foer ketika berada di Camp Nou menggambarkan bagaimana warga Katalunya berteriak dan mencaci maki rezim penguasa dalam bahasa asli mereka yang dilarang. Ia mengutip sebuah kalimat dari novel Barcelona berjudul offside yang ditulis oleh penulis kontemporer Spanyol, Manuel Vazquez Montalban, bahwa Barca adalah: senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara. Kemenangan-kemenangan El Barca ibarat kemenangan warga Athena atas Sparta.

Memang secara kasatmata, militansi pendukung orang asli Papua terhadap Persipura tak nampak dalam layar kaca tv-tv Jakarta atau saat laga home di Stadion Mandala, jika dibandingkan dengan klub besar lainnya di tanah Jawa. Namun secara ideologis, Persipura bagi mereka adalah representasi dalam upaya melawan bayang-bayang penghisapan, penindasan, dan ketidakadilan sentralisme kekuasaan di Indonesia.

Ketegangan-ketegangan politik yang menganeksasi Papua dengan skema Pepera ke dalam Indonesia di tahun 60-an, masih tertanam kuat dalam memori mereka. Sehingga apa yang disebut Montalban sebagai “kemenangan sebuah bangsa tanpa negara”, ada dalam benak orang asli Papua.

Maka tak heran ketika Anda menyaksikan Boas Salossa berlaga untuk timnas Indonesia, mulut sang kapten akan terkunci saat nasional anthem Indonesia Raya dikumandangkan. Bagi mereka yang termakan oleh dogmatisme NKRI harga mati tentu akan mempertanyakan nasionalisme kaka Bochi, panggilan akrab Boas Salossa.

Namun justru pada moment ini, Boas sedang menarasikan ekspresi yang lain dalam sepakbola, tentang kegetiran yang terjadi di tanah para leluhurnya.

Seperti diketahui, dalam sepakbola tidak melulu soal permainan 2X45 menit. Lebih dari itu, sebagaimana ditulis oleh Foer, sepakbola kerap kali dipakai sebagai titik pangkal untuk menjelaskan bagaimana kondisi sosial politik, perekonomian global dan bahkan persoalan agama. Yang terbaru lihatlah bagaimana kondisi Argentina yang dituduh telah melakukan diskriminasi terhadap agama.

Sebelum kick-off Piala Dunia 2018, para pemain Argentina direncanakan menggelar pertandingan pemanasan terakhir melawan Israel sebelum Lionel Messi Cs menuju Rusia. Laga kedua negara tersebut dalam rangka perayaan 70 tahun pendudukan negara Yahudi itu. Namun desakan dan protes dari Kedutaan Besar Palestina di Argentina yang begitu gencar menyebabkan partai tersebut urung digelar.

Akan tetapi Israel tidak tinggal diam. Lewat promotor pertandingan itu, mereka melapor ke FIFA dan meyakinkan agar Argentina dicoret dari pagelaran Piala Dunia 2018 dengan tuduhan diskriminasi agama, tentu saja sembari menyebut kerugian yang mereka alami akibat pembatalan laga tersebut.

Yang menarik adalah respon dari Claudio Tapia, Ketua Asosiasi Sepakbola Argentina (AFA) bahwa, “Football goes beyond religions, sexes, and has nothing to do with violence”, (sepakbola melampaui agama, jenis kelamin, dan tidak dilakukan dengan kekerasan). Para pemain Argentina pun sepakat dengan pembatalan itu dengan alasan kemanusiaan. Yang oleh Gonzalo Higuain dianggap sebagai keputusan tepat. Sebab akan aneh rasanya ketika mereka menghibur puluhan ribu pasang mata di Jerusalem, namun disaat bersamaan mayat-mayat orang Palestina mati di ujung bedil tentara Israel.

Dalam sepakbola juga kerap menghadirkan hal-hal yang dianggap absurd. Fenomena Mohamed Salah adalah sebuah contoh terkini, dimana fans Liverpool menyatakan ingin masuk Islam setiap Salah mencetak gol.

Di Indonesia, absurditas itu terlihat ketika seratusan orang di Jakarta berencana melakukan aksi bertajuk “Bela Salah”, saat pria asal Mesir itu mengalami cedera dan tak melanjutkan pertandingan pada laga final Liga Champion. Seolah ingin mengulang cerita aksi bela Islam berjilid-jilid tempo hari dengan tuntutan “meng-Ahok-an” Sergio Ramos. Meskipun kita tahu bersama aksi tersebut batal dilaksanakan.

Seperti halnya fenomena Salah, saya mendugaPiala Dunia 2018 yang ingar-bingarnya sampai ke pelosok-pelosok kampung, akan menjadi ruang bagi absurditas baru di Indonesia. Terlebih ketika melihat kondisi politik dalam negeri Indonesia saat ini yang terpolariasi dalam dukungan-dukungan menggunakan tagar: #GantiPresiden2019 vs #DiaSibukKerja.

Saya curiga akan ada berbagai macam taktik dan strategi mengkaitkan Piala Dunia 2018 dengan intrik politik kampanye pemilihan Presiden 2019.

Belum lagi bagaimana membayangkan para pengusung politik sektarian di Indonesia dalam mendukung negara peserta Piala Dunia berdasarkan agama mayoritas yang mereka anut. Seperti Salah dengan Mesir-nya, misalkan.

Akan sangat menarik menunggu bagaimana kaum reaksioner itu melakukan aksi bela Islam di Piala Dunia Rusia 2018.

Namun yang lebih menarik adalah melihat bendera-bendera setiap negara peserta Piala Dunia berkibar di ujung tiang-tiang depan halaman rumah atau di pojok tembok. Sebab, barangkali senada dengan apa yang disampaikan Claudio Tapia, ini menunjukkan bahwa sepakbola melampaui rasa nasionalisme.

Jadi, naturalisasilah sebanyak-banyaknya pemain di Timnas Indonesia demi Piala Dunia impian!

Karena indoktrinasi ‘NKRI Harga Mati’ hanyalah nasionalisme semu yang digembar gemborkan oleh militer dan politisi-politisi chauvinis. ***