Warga Desa Tolak Pengembangan Permukiman dalam RDTR di Weda Halmahera

Avatar photo
Aksi menolak pembangunan dalam RDTR. (Supriyadi Sawai)

Lahan seluas 3.826,82 hektare bakal dijadikan wilayah pengembangan permukiman dan pertanian. Dari luas lahan tersebut sebanyak 647,38 hektare akan dilakukan pengembangan permukiman dalam RDTR, di Desa Sagea dan Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah.

“Data peta lampiran pengembangan permukiman ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja industri perusahaan tambang nikel,” kata Supriyadi Sawai, warga Sagea, usai menggelar aksi bisu menolak rencana pembangunan dalam RDTR, di Tanjung Uli, depan pintu perkantoran kawasan industri nikel, Senin 11 Januari.

BACA JUGA

Bocah Perempuan 6 Tahun di Halmahera Barat Jadi Korban Perkosaan

2 Geopark Maluku Utara Diantara Tambang Raksasa dan Bayang-Bayang Reklamasi

Sayangnya, kata Supriyadi, pembahasan dan konsultasi publik terkait Rencana Detail Tata Ruang yang dilakukan ini hanya melibatkan pemerintah daerah, kades, camat dan ormas.

“Sementara masyarakat desa tidak dilibatkan sama sekali, padahal masyarakat lah yang paling terdampak dari rencana pengembangan pembangunan ini,” lanjutnya.

Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN Maluku Utara itu menyebutkan, hingga saat ini pemerintah daerah juga tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

“Padahal, seharusnya pemerintah melakukan dialog dengan mengedepankan prinsip HAM sebelum membuat rencana yang akan berdampak besar bagi masyarakat,” katanya.

Ia mengatakan lokasi yang direncanakan menjadi kawasan permukiman itu masuk areal perkebunan pala masyarakat, yang selama ini menjadi sumber penghidupan.

“Selain itu ada juga kawasan Mangrove, di mana di lokasi ini juga berada di antara kawasan Gua Bokimoruru dan Danau Legaelol,” katanya.

Selain akan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat, lanjut Supriyadi, rencana pembangunan ini akan mengubah kehidupan kultural masyarakat setempat.

“Ini akan merusak ekosistem penyangga Geowisata Gua Bokimoruru dan Danau Legaelol yang menjadi wisata kebanggaan Halmahera Tengah,” tambahnya.

Maka dari itu, sambung Supriyadi, masyarakat Sagea dan Kiya secara tegas menolak rencana ‘Kota Industri’ pengembangan permukiman dalam RDTR di Kabupaten Halmahera Tengah.

Supriyadi menilai, RDTR ini syarat dengan kepentingan investor tambang nikel dibanding kepentingan masyarakat.

“Sebaliknya, kami menuntut pemerintah agar serius mengembangkan kawasan Geowisata Bokimoruru yang akan diusulkan sebagai Geopark Nasional. Artinya, ekosistem aliran sungai, hutan dan karst di wilayah ini harus dilindungi dan dibebaskan dari berbagai konsesi izin tambang yang berada di hulu Sungai Sagea,” tutupnya.

Adanya aksi warga menolak rencana pengembangan permukiman dalam RDTR ini, kieraha.com berusaha menghubungi Pemda Halmahera Tengah melalui Bagian Humas dan Protokoler. Namun konfirmasi lewat telepon ini belum bersambut. **

Sahrul Jabidi