Peneliti: Kenaikan Permukaan Laut yang Lebih Ekstrem akan Makin Sering Terjadi

Avatar photo
Pasir putih di Daga Kepulauan Widi Halmahera. (Kieraha.com/Hairil Hiar)

Banjir besar seratus tahun sekali yang belakangan terjadi di sebagian wilayah pesisir dunia, diperkirakan akan menjadi agenda tahunan atau lebih sering lagi di masa mendatang.

Selama beberapa bulan terakhir pemberitaan di seluruh dunia telah dipenuhi dengan kabar bencana iklim dan perubahan cuaca yang mengerikan. Kejadian seperti suhu panas tertinggi yang tercatat di wilayah Barat Laut Pasifik hingga Pulau Sisilia, banjir di Eropa Utara dan bagian timur Amerika Serikat, kebakaran hutan dari Prancis ke Siberia hingga Yunani, menjadi deretan peristiwa langka pada beberapa dekade lalu, namun kini terlihat seperti peristiwa biasa.

Sekarang, pada sebuah penelitian terbaru yang terbit dalam Jurnal Nature Climate Change edisi 30 Agustus, memprediksi bahwa akibat meningkatnya suhu bumi, kenaikan permukaan laut yang ekstrem di sepanjang garis pantai di seluruh dunia akan terjadi 100 kali lebih sering pada akhir abad ini. Hal itu diprediksi bakal terjadi di setengah dari 7.283 lokasi yang dijadikan penelitian.

BACA JUGA Misteri Laut Maluku Utara Berubah Warna dan Matinya Ikan-Ikan

Dengan begitu, naiknya permukaan laut ekstrem sebagai dampak dari kenaikan suhu bumi yang semula diprediksi terjadi setiap 100 tahun sekali, kini akan lebih sering terjadi hingga lebih dari satu kali setiap tahun di sepanjang akhir abad ini.

Meski para peneliti mengatakan ada banyak ketidakpastian mengenai iklim di masa depan, namun kemungkinan terbesar pola kenaikan permukaan laut ini akan terus terjadi bersamaan dengan meningkatnya suhu global menjadi 1,5°C atau 2°C dibandingkan dengan temperatur bumi pada masa pra-industri.

Para peneliti memperkirakan suhu tersebut sebagai situasi terparah yang mungkin terjadi akibat pemanasan global. Dan perubahan itu kemungkinan akan terjadi lebih cepat lagi di akhir abad ini, dengan banyaknya lokasi yang mengalami peningkatan kenaikan permukaan laut 100 kali lipat dari yang pernah diprediksi terjadi sebelum tahun 2070.

Peta Dampak dari Setiap Lokasi

Profesor Roshanka Ranasinghe dari IHE Delft and Deltares (Belanda) melakukan rancangan studi pertama di dunia ini bersama penulis utama Dr. Claudia Tebaldi dari Laboratorium Nasional Pacific Northwest National Department of Energy AS. Studi ini menyatukan tim peneliti internasional dari Amerika Serikat, Belanda, Italia, dan Australia, yang pernah memimpin penelitian besar sebelumnya tentang permukaan laut ekstrem dan efek kenaikan suhu permukaan laut.

Tim tersebut mengumpulkan data dan memperkenalkan metode sintesis baru, dengan melakukan perkiraan alternatif, untuk memetakan kemungkinan efek kenaikan suhu mulai dari 1,5°C hingga 5°C yang dibandingkan dengan masa pra-industri – sebuah kisaran suhu yang belum pernah terjadi dalam penelitian sebelumnya.

Para ilmuwan menemukan hal yang tidak terduga, bahwa dampak dari naiknya air laut pada frekuensi permukaan laut yang ekstrem akan terasa paling parah di wilayah tropis dan umumnya di garis lintang yang lebih rendah dibandingkan dengan garis lintang utara. Lokasi yang paling mungkin terkena dampak besarnya adalah belahan bumi selatan, daerah di sepanjang Laut Mediterania dan Semenanjung Arab, Pantai selatan Pasifik Amerika Utara termasuk Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.

Sedangkan wilayah yang tidak terlalu terpengaruh kenaikan permukaan air laut adalah wilayah bagian garis lintang yang lebih tinggi, seperti Pantai Pasifik utara Amerika Utara, dan Pantai Pasifik Asia.

“Salah satu pertanyaan utama kami yang mendorong penelitian ini adalah: seberapa tinggi pemanasan suhu bumi untuk membuat dampak yang biasanya terjadi 100 tahun sekali menjadi bencana tahunan? Jawaban kami adalah tidak lebih dari apa yang telah terdokumentasikan saat ini,” ujar Profesor Ranasinghe, yang mencatat bahwa dunia telah menghangat sekitar 1,1°C dibandingkan dengan masa pra-industri. Ini disampaikan sesuai rilis yang diterima kieraha dari Indonesia CERAH, Selasa 31 Agustus 2021.

Studi baru ini selaras atau mencerminkan pernyataan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini (https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/#SPM), yang menyatakan bahwa peristiwa naiknya permukaan air laut ekstrem akan menjadi jauh lebih sering dan meluas di seluruh dunia pada akhir abad ini karena dampak pemanasan global.

“Ini bukanlah sebuah kejutan dan tidak mengherankan bahwa pada pemanasan suhu 1,5°C akan memiliki efek substansial pada frekuensi dan besarnya kenaikan permukaan laut yang ekstrem,” kata Profesor Ranasinghe.

“Studi ini memberikan gambaran yang lebih lengkap di seluruh dunia daripada yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan menggabungkan beberapa set data, kami dapat melihat rentang tingkat pemanasan yang lebih luas dengan detail spasial yang sangat halus.”

Skenario terbaik dan terburuk yang diajukan oleh para penelitian ini bervariasi. Hal itu dikarenakan banyak kemungkinan yang disajikan oleh para peneliti yang dicatat dengan sangat rinci. Dalam satu skenario misalnya, pada kemungkinan yang sangat pesimistis, 99 persen dari lokasi yang diteliti akan mengalami peningkatan kejadian ekstrem 100 kali lipat pada tahun 2100 dengan pemanasan 1,5°C.

Di sisi lain, pada kemungkinan yang lebih optimis, sekitar 70 persen lokasi tersebut terlihat tidak akan mengalami banyak perubahan bahkan dengan kenaikan suhu 5°C.

Para peneliti ini berharap akan ada banyak studi lebih lanjut untuk memahami lebih tepat bagaimana perubahan akan mempengaruhi komunitas tertentu. Mereka menegaskan bahwa perubahan fisik yang dijelaskan dalam studi mereka akan memiliki dampak yang bervariasi pada skala lokal, tergantung pada beberapa faktor, termasuk fitur geomorfologi lokal, kerentanan daerah tersebut terhadap kenaikan air, kesiapan masyarakat wilayah itu untuk menghadapi perubahan.

BACA JUGA Cara Warga Kalaodi Tidore Menjaga Pangan dan Hutan

Selain Dr. Tebaldi dan Prof. Ranasinghe, penulis jurnal ini termasuk di antaranya Michalis Vousdoukas dari European Joint Research Center di Italia; D.J. Rasmussen dari Universitas Princeton; Ben Vega-Westhoff dan Ryan Sriver dari University of Illinois di Urbana-Champaign; Ebru Kirezci dari Universitas Melbourne di Australia; Robert E. Kopp dari Universitas Rutgers; dan Lorenzo Mentaschi dari Universitas Bologna, Italia. **