Rumah Woloan Penangkal Roh Jahat di Minahasa

Avatar photo

Deretan rumah panggung berbahan kayu berjejer rapi di jalan utama, menghubungkan Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Disamping kiri-kanan jalan itu beranekaragam bunga warna-warni terlihat mekar dan tumbuh subur.

Kawasan itu adalah Kelurahan Woloan, menjadi salah satu tempat yang menjual rumah panggung adat masyarakat Minahasa. Rumah yang kini mulai diperdagangkan hingga ke luar negeri dan dikenal dengan sebutan rumah panggung wale atau bale.

“Dalam bahasa Minahasa artinya rumah kehidupan berkeluarga,” kata Steven Waori, tokoh masyarakat Minahasa saat berbincang-bincang dengan KIERAHA.com, di salah satu warung kopi, bilangan Sario, Kota Manado, Sulawesi Utara.

Lelaki 43 tahun itu menceritakan, secara historis rumah woloan merupakan rumah hasil desain arsitektur turunan kaum Malesung atau Minahasa yang terdiri dari suku Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Bantenan, Tonsawang, Bantik pada 1590.

“Suku ini mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol di dataran China. Jika dilihat dari fisik bangunan, rumah woloan mempunyai ciri khas pada dua anak tangga di depan rumah memiliki 16 sampai 18 tiang penyangga utama. Rumah ini mempunyai emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores), dan kamar-kamar yang bagi masyarakat Minahasa diyakini sebagai penangkal roh jahat,” kata Steven.

Bagian-bagian rumah itu dimaknai sebagai lambang keterbukaan kehidupan masyarakat Minahasa. Sementara dua anak tangga yang berada di depan rumah diartikan sebagai simbol adat saat proses lamaran atau pinangan.

Saat lelaki ingin melamar gadis Minahasa diwajibkan menaiki terlebih dahulu tangga samping kiri, dan jika lamaran diterima, lelaki tersebut harus turun di tangga kanan. Jika ditolak maka akan kembali turun melalui tangga kiri,” ucap Steven.

Dia mengatakan, dari cerita rakyat, rumah woloan merupakan rumah desain dari kaum bangsawan suku mongol.

Berdasarkan catatan sejarah, kata dia, kontruksi rumah woloan atau rumah panggung adat
Minahasa, sebenarnya telah mengalami perubahan kontruksi bangunan  sejak tahun 1500 dan dibagi dalam empat periodesasi masa.

Pertama adalah pada periode tahun 1500-1800. Periode ini kontruksi bangunan rumah woloan masih dirancang untuk bisa menampung sedikitnya 7-9 kepala keluarga atau 20-30 orang. Tiang penyangga rumahnya pun masih berjumlah 18 tiang dengan panjang rumah mencapai 22 meter. Tinggi bangunan mencapai 2,50 meter.

Di masa ini karakteristik ruang dalam rumah hanya terdapat ruangan bangsal untuk kegiatan penghuninya. Pembatas ruangan adalah sebuah rotan yang dipasang menjalar, dengan arah rumah ditentukan tetua adat yang mendapatkan pentunjuk empung wallian wangko – bagi masyarakat adat Minahasa sebagai Tuhan/Dewa.

Kedua periode 1845. Pada masa ini kontruksi bangunan rumah woloan mulai berubah dari sebelumnya untuk menampung 7-9 kepala keluarga menjadi 4-5 kepala keluarga. Diperiode ini tinggi bangunan mulai  diperpendek menjadi 2 meter. Perubahan itu dilakukan akibat bencana gempa bumi dengan skala besar di tahun itu. Pada masa ini arah rumah masih ditentukan tetua adat.

Ketiga periode 1980-1945 atau dikenal periode pasca gempa bumi. Dimasa ini, rumah woloan mulai dibangun hanya diperuntukan untuk menampung 1-2 kepala keluarga atau 15 orang. Luas bangunannya pun mulai diperkecildan tidak lebih dari 225 meter persegi dengan tinggi bangunan mencapai 1,70 meter. Yang menarik pada periode ini rumah woloan mulai dirancang mengunakan sekat kamar dengan dinding dan konstruksi jendela.

Keempat periode 1945-hingga saat ini. Dimasa ini, konstrulsi rumah woloan mulai dikenal dengan mengunakan system knock-down atau bongkar pasang dengan bangunan mulai dirancang hingga satu kamar dengan luasan hanya 80 meter persegi. Pada periode ini rumah woloan mulai mengunakan seng yang mengantikan daun rumbia sebagai atap.

“Yang tidak berubah hingga saat ini adalah dua tangga didepan rumah. Karena bagi masyarakat Minahasa itu sebagai keyakinan penangkal roh jahat, dua tangga bahkan sudah menjadi wujud lambang keterbukaan bagi masyarakat Minahasa,” ucap Denni Pinontoan pemerhati sejarah Minahasa.

Meskipun mengalami perubahan konstruksi bangunan, ketenaran rumah woloan tetap tinggi. Mulanya pada 1942 kala seorang tokoh masyarakat Minahasa, Paulus Tiow yang bekerja sebagai tenaga adminitrasi pada kolonial belanda menjual rumah panggungnya pada seorang serdadu Jepang.  Model rumah ini kemudian menarik perhatian petinggi militer Jepang dan memerintahan untuk membuat rumah tersebut dalam jumlah besar.

Dan pada 1960, pemasaran rumah woloan mulai berkembang, dan lambat laun menjadi sumber ekonomi masyarakat Tomohon. Rumah ini kemudian mulai dipasarkan hingga luar Tomohon dan kemudian tahun tahun 1985 dipamerkan di Taman Mini Indonesia Indah,  Jakarta. Hasilnya  pemasarannya mulai merambah daerah seperti Jawa, Bali dan Sumatera.

“Dan sekarang sudah menembus pasar luar negeri seperti Belanda, Prancis dan Jepang. Modelnya juga masih sama, tetap mengunakan dua tangga,” tutur Johanis salah satu perakit rumah woloan.